Bercerita tentang enam desa di pedalaman Jambi yang berhasil menembus pasar perdagangan karbon dunia. Mereka berhasil memulihkan deforestasi hutan dan memperoleh kompensasi imbal jasa lingkungan atau yang dikenal dengan Carbon Trade dengan skema REDD+. Desa-desa ini berhasil mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial. Lima desa di Dusun Laman Panjang Kecamatan batin Tiga Ulu Kabupaten Bungo, mendapat pengakuan pemerintah untuk hutan adat mereka. Selain itu, yang juga membuat mereka beroleh miliaran rupiah dari perdagangan karbon ialah menjaga hutan lindung.
Sementara Desa Durian Rambun di Kabupaten Merangin, berhasil memperjuangkan hak kelola hutan desa setelah berpuluh tahun kawasan itu dikuasai perusahaan hingga masa izinnya habis. Kini roda ekonomi masyarakat bergulir tanpa harus merambah dan mengeksploitasi hutan. Dari dana perdagangan karbon yang diperoleh, kelompok masyarakat Desa Durian Rambun mengelola kebun kopi, kulit manis, bahkan berhasil ber-swasembada pangan di tengah pandemi.
Perdagangan karbon bukanlah hal baru di Indonesia. Prakteknya sudah berlangsung setidaknya sejak lima tahun terakhir meski ketiadaan regulasi yang mengaturnya. Selain enam desa di Jambi berbasis komunitas, perdagangan karbon juga dilakukan oleh perusahaan. Memang tidak banyak, sebut saja seperti PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah dengan projectnya bernama Katingan Mentaya, PT Restorasi Ekosistem Indonesia atau REKI, dan Muller Karbon Capital Indonesia.
Ketiga perusahaan tersebut berbisnis karbon dengan konsep izin restorasi ekosistem, yang menguasai izin lahan sampai seluas ratusan ribu hektar. Ketiganya melayani perusahaan-perusahaan pembeli karbon melalui skema offside atau kompensasi perusahaan penghasil emisi karbon yang melebihi ambang batas.
Inilah yang kemudian juga dikritik oleh para pegiat lingkungan. Dengan kemampuan finansial yang kuat, perusahaan besar tetap bisa mengumbar emisi karbonnya bahkan melebihi batas. Mereka lantas cukup membayar kompensasi yang tidak seberapa.