Kerusakan hutan mangrove di Sumatera Utara mengancam kehidupan nelayan tradisional dan lingkungan pesisir.
Hutan mangrove di Desa Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara perlahan berubah menjadi area pertambakan, kebun kelapa sawit, dan dialihkan menjadi area pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Nelayan tradisional gigit jari setelah ratusan hektare hutan mangrove lenyap.
Sebagian besar masyarakat di desa ini dulunya adalah nelayan. Hasil tangkapan merupakan sumber penghidupan masyarakat.
Seiring waktu, kehidupan nelayan tradisional semakin sulit karena alih fungsi hutan mangrove.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Tak sedikit nelayan tradisional yang beralih profesi menjadi buruh bangunan. Selebihnya, pasrah dengan keadaan.
Pantauan di lapangan, hutan mangrove di sekitar desa ini terlihat masih dalam kondisi baik dari luar.
Namun saat masuk ke dalam, ternyata hutan mangrove sudah terbuka, pohon ditebangi untuk lahan tambak dan kelapa sawit. Ada pula yang diduga untuk dijadikan kawasan wisata mangrove.
Kepala Kelompok Kerja Rehabilitasi Mangrove (Pokja RM) Wilayah Sumatera, Giri Suryanta mengatakan, selama ini yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di antaranya peralihan fungsi menjadi tambak, perkebunan, dan perambahan.
Dilihat dari target indikatif percepatan rehabilitasi mangrove (PRM), hutan mangrove Sumatera Utara selaus 57.490 hektar sedangkan luas hutan mangrove potensial atau yang rusak seluas 29.417 hektar.
Tahun 2022, provinsi ini punya target rehabilitasi seluas 13.357 Hektar namun baru terealisasi 373 Hektar.
Giri mengatakan, dalam pemetaan, istilah eksisting untuk menunjukkan kawasan mangrove yang masih ada vegetasinya baik rapat, sedang maupun jarang.
"Sementara tipologi potensial, itu kawasan yang sudah tidak ada mangrovenya dan wujud penggunaannya sudah beralih fungsi misalnya tambak, tanah terbuka, pemukiman, dan lain sebagainya. Jadi mangrove mengalami kerusakan, terabrasi. Itu kita kategorikan potensial mangrove," katanya.
Selama ini, memang program rehabilitasi mangrove dianggarkan dari APBN. Namun Giri meyakini, anggaran tidak akan cukup untuk merehabilitasi hutan seluas 13.357 hektar.
"Kita yakin, itu nggak cukup seluruhnya dengan APBN. Kita tidak menutup diri dengan sumber pendanaan lain non APBN. Ini sedang di-arrange untuk dana asing, dari Bank Dunia, yang akan masuk sedang proses," katanya.
Giri menambahkan, Sumatera Utara termasuk dalam 9 provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove bersama dengan Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat yang difasilitasi Badan Rehabilitasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Untuk diketahui, Pokja RM bertanggung jawab untuk mengelola dan merehabilitasi ekosistem mangrove di Indonesia.
Pokja rehabilitasi mangrove terdiri dari berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat pesisir yang berkepentingan dengan konservasi dan restorasi mangrove di bawah koordinasi BRGM.
Soal deforestasi mangrove
Beberapa waktu lalu, saat diwawancara di Medan, pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal., PhD mengatakan, berbicara deforestasi mangrove bisa dimulai dari massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Usaha pertambakan udang dan ikan itu mulai meredup seiring munculnya penyakit/hama dan sulit dikendalikan bahkan hingga kini.
"Nah setelah tambak, yang menjadi penyebab deforestasi di hutan mangrove ini adalah perkebunan kelapa sawit. Kita bisa lihat sendiri di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai sampai Labuhanbatu, yang dulunya tambak berubah jadi sawit. Ada juga yang dulunya hutan mangrove, dibabat jadi kebun sawit. Tekanan lainnya adalah arang bakau," katanya.
Onrizal sudah banyak menulis hasil penelitian tentang mangrove selama bertahun-tahun.
Fungsi hutan mangrove sangat banyak dan manfaatnya dirasakan tak hanya manusia tetapi juga bagi keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut.
Banyak biota yang hidupnya tergantung pada kualitas mangrove. Secara ekologis, mangrove ini menjadi pelindung pantai dari abrasi, kemudian menjadi habitat berbagai jenis hewan, serta tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora.
"Kalau rusak, maka kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Dan kita sudah melihat kerusakan itu di mana-mana, siapa yang paling merasakan kerugian, tak hanya nelayan tradisional dan masyarakat sekitar, kita semua pun rugi besar. 2/3 biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove," katanya.
Ada beberapa hal penting yang menurutnya harus segera dilakukan. Pertama, hutan mangrove yang tersisa harus dipertahankan dan diperluas. Laju deforestasi harus dihentikan. Pemulihan juga harus dilakukan secara terintegrasi.
Berbagai kajian juga masih harus dilakukan begitu juga dengan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
"Kalau tidak dilakukan, tidak lama lagi kita akan semakin banyak kehilangan. Yang tersisa tinggal sedikit dan kritis," katanya.
Nelayan kehilangan tangkapan
Di Desa Sei Siur, seorang nelayan tradisional, Sazali Sinaga (62) berdiri di pinggir alur pasang sambil menyusun bambu kecil di perahunya. Nasi plus lauk ikan sambal, satu termos kecil air panas dan kopi serta gula sudah tersedia untuk bermalam di laut.
Hanya 15 menit dia sempat berada di rumahnya. Sebagian besar waktunya terpaksa dia habiskan di atas perahunya untuk mencari udang, kepiting, ikan yang semakin sulit didapat. Laut semakin tidak ada harapan.
Saat itu Sazali baru tiba di perahu setelah sejenak menjejakkan kaki di rumah menemui istri untuk menyerahkan hasil tangkapan yang sedikit. Bambu-bambu itu untuk jebakan udang yang dipasang saat air pasang.
Faktor usia dan tiadanya mesin di perahu membuatnya hanya bisa melipir di pinggiran. Beberapa tahun terakhir, hasil tangkapannya semakin menurun.
"Hanya 15 menit di rumah selebihnya di laut. Nggak gitu, nggak cukup lah. Sehari semalam aja dapatnya hanya Rp 125 ribuan," katanya.
Dia membandingkan kondisinya beberapa waktu lalu. Tanpa harus menghabiskan waktu sepanjang hari di laut dia bisa mendapatkan Rp 300.000-an dari menjual tangkapan ikan, udang dan kepiting.
Situasinya semakin berubah setelah adanya tambak dan kelapa sawit. Dengan umurnya yang sudah tua dia berharap kepada orang yang lebih muda untuk menyuarakan aspirasi agar ada perhatian lebih terhadap nelayan tradisional seperti dirinya.
"Wak ini sudah tua, umur entah berapa hari lagi. Jadi kalianlah yang muda, uruslah itu (masalah tambak dan sawit), kata dia udah nanti aku ke kantor desa kubilangkan sama kepala desa, hanya gitu aja," katanya.
Sementara warga lain bernama Dedi, dulunya adalah nelayan tradisional. Dia terpaksa beralih profesi menjadi buruh bangunan di Aceh karena hasil tangkapan ikan, udang, kepiting anjlok.
Dia menduga berkurangnya hasil tangkapan tidak lepas dari adanya pembangkit listrik tenaga uap yang beroperasi tak jauh dari wilayah tangkap nelayan tradisional.
"Dulu penghasilan saya alhamdulillah bisa mencukupi untuk dua keluarga saya sama anggota saya kenek lah seperti itu. Jadi semenjak adanya bangunan PLTU, kami ini nelayan kecil ini hancur. Penghasilan kami habis," katanya.
Sebagai nelayan tradisional, dalam satu hari dia dua kali berangkat. Dari pergi pagi pulang menjelang siang, kemudian usai makan siang hingga sore. Dalam sehari, penghasilannya mencapai Rp 1 juta, yang mana Rp 200 ribu diberikan kepada kenek-nya.
"Itu paling sedikit. Sekarang enggak usah kan kita Rp 800 ribu, dapat Rp 50.000 aja udah alhamdulillah. Nnggak usah untuk gaji kenek, untuk kehidupan keluarga sendiri saja gak cukup," katanya.
Selama 7 tahun terakhir, dia sudah beralih menjadi buruh bangunan. Lokasi bekerja tak hanya di Medan, Langkat, tetapi sampai ke Aceh. Dia mengaku rindu menjadi nelayan karena dilahirkan dari keluarga yang hidup dari hasil laut. Namun kondisi sekarang memaksanya harus menjadi buruh bangunan, meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan dengan penghasilan yang tidak lebih tinggi dari menjadi nelayan saat itu.
"Saya rindu sekali menjadi nelayan. Bahkan sudah beli usaha (perahu), harganya puluhan juta. Sia-sia karena tangkapannya nggak ada. Sejak tidak jadi nelayan, beralih profesi menjadi kuli bangunan, saya merantau meninggalkan anak istri karena saya memang sudah tak sanggup lagi di Pangkalan Susu ini menjadi nelayan," pungkas dia.