TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo Desember 13, 2022

Laorensius Wadam Gebze, Pemburu yang Menjadi Petani

Negara:

Penulis:
Limbung Pangan1 Papua
Inggris

The food estate project has become a nightmare for indigenous peoples and the last tropical forest...

author #1 image author #2 image
Berbagai penulis
SECTIONS

Ketika hutan yang menjadi sumber hidupnya menghilang, Wadam mulai bertani untuk menyambung hidup. Dia satu-satunya pemuda Zanegi yang memilih jalan ini.


Laorensius Wadam Gebze di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Lahir dan besar di Kampung Zanegi yang dikelilingi hutan, Laorensius Wadam Gebze dididik sebagai pemburu sedari kecil. Dia juga tahu betul batang sagu yang telah bunting dan siap dipangkur. Ketika hutan yang menjadi sumber hidupnya menghilang karena ditebang perusahaan, dia pun memutuskan bertani untuk menyambung hidup.

Pagi di pertengahan November 2022, Kampung Zanegi, Distrik Animha, sekitar 100 kilometer dari pusat kota Merauke, Papua Selatan, sudah terasa panas. Namun, di belakang rumah Laorensius Wadam Gebze (37), terasa adem.

Aneka tanaman sayur tumbuh subur dan tampak terawat. Kacang panjangnya mulai berbuah, menjulur di para-para bambu. Demikian juga tanaman terong, peria, mentimun, dan cabai terlihat segar-segar. ”Semuanya tanpa pupuk atau obat-obatan," kata Wadam.

Beberapa bedengan terlihat baru saja disiangi, siap untuk kembali ditanami. ”Kemarin sudah panen sawi dan kangkung,” katanya.

Bertani dan berkebun ini saya kira bisa menjadi masa depan. Orang dari luar Papua saja bisa sukses di sini, kenapa kita tidak?

Sebagian hasil panen itu dijual ke tetangga, beberapa dibagikan kepada kerabat, dan sisanya untuk keperluan di rumah sendiri. Wadam belum menikah dan tinggal bersama kakaknya di rumah peninggalan orangtua.

Kacang panjang dijualnya Rp 10.000 per ikat. Kangkung seikat dan peria per biji masing-masing Rp 5.000. Dari panenan ini, Wadam bisa mengantongi Rp 300.000. ”Ternyata bisa dapat hasil dari berkebun. Dulu biasanya berburu baru bisa dapat uang, atau bekerja yang lain,” katanya.


Laorensius Wadam Gebze merawat sayuran kacang panjang di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Di tepian kebun itu, aneka tanaman tumbuh merimbun mulai dari mangga, jeruk nipis, hingga kelapa. Bahkan, ada juga tanaman sagu yang masih setinggi dua meteran. ”Hari ini mau tanam sagu lagi,” katanya.

Menyiangi, menanam, dan merawat tanaman telah menjadi rutinitas Wadam dalam enam bulan terakhir. Hampir tiap hari dia memeriksa tanamannya, untuk memastikan pertumbuhannya baik dan aman dari gangguan binatang. Saat kemarau, ia pun rutin menimba air dari sumur dan memanggulnya hingga ke kebunnya.

Setelah berkebun, Wadam juga semakin betah di kampung. Dia merasa tidak tenang jika pergi lama sebab selalu kepikiran dengan tanaman dan sayurannya, yang baru sekitar Juli 2022 lalu dirintisnya. Wadam sudah merasakan panggilan sebagai petani.

Belajar menanam

Sebagaimana rumah tangga masyarakat Marind-Anim lainnya, Wadam lahir di keluarga besar. Ia anak terakhir dari sepuluh bersaudara. Bersama saudara-sadarauanya yang lain, sejak kecil Wadam telah terbiasa tinggal berpindah-pindah di bivak di dalam hutan untuk mengumpulkan makanan.


Laorensius Wadam Gebze merawat bibit sagu di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Dia belajar untuk memancing ikan dan menombak buaya di rawa-rawa. Suku Marind-Anim dikenal sebagai pemburu buaya yang ulung. Terkadang, dia juga ikut berburu binatang lain di hutan.

Wadam memang lebih banyak menghabiskan waktu di hutan. Sekalipun demikian, dia berhasil menamatkan sekolah dasar. Sebagaimana mayoritas anak-anak di Zanegi, dia tak melanjutkan sekolah, karena sekolah menengah pertama hanya ada di kampung tetangga, yang membutuhkan banyak biaya.

Sekalipun lebih banyak menghabiskan waktu berburu dan meramu di hutan, orangtua Wadam juga menanam. ”Dulu bapak suka tanam keladi dan tebu. Mulai dari buat bedeng, sampai menanam saya yang biasa dipanggil untuk membantu. Itu pelajaran menanam pertama yang saya tahu,” ceritanya.


Nikolaus Samkakae meninggalkan bivak di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Warga mencari kayu dari hutan yang saat terbuka di Kampung Zanegi yang telah bersalin rupa menjadi hutan industri. Warga mengumpullkan tumpukan dahan dan ranting yang oleh orang perusahaan di sebut leles. Satu kubik tumpukan leles dihargai Rp 80.000. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Keterampilan bertani Wadam kian terasah saat dia merantau ke Distrik Kurik, mengikuti sang kakak perempuannya yang menikah dan tinggal di sana. Kurik dikenal sebagai daerah transmigrasi yang mayoritas bekerja sebagai petani.

Wadam muda bekerja pada tetangga kakaknya, seorang Jawa. Tugasnya yaitu membersihkan dan menyiram tanaman di kebun. Dia juga kerap diminta merawat aneka sayuran, seperti kacang panjang, mentimun, kangkung, dan sawi.

Dari situlah Wadam mempelajari cara pembuatan bedeng, penyemaian, serta penanaman. ”Dibayar secukupnya, kadang makan dan rokok, tetapi saya dapat banyak tahu. Bagaimana perawatan, kangkung itu ditanam seperti apa, kalau sawi itu disemai dulu baru ditanam,” ujarnya.

Baca Juga: Limbung Pangan dari Kalimantan hingga Papua

Setelah beberapa tahun merantau, dia akhirnya kembali ke kampung untuk merawat sang ibu yang sakit-sakitan. Di waktu senggang, ia lebih banyak berburu untuk kebutuhan harian dan dijual. Rusa, kanguru hutan, burung kasuari, serta buaya adalah hewan buruan utamanya.

Namun, semakin lama, dia merasakan makin berat menjadi pemburu. Binatang semakin berkurang seiring wilayah hutan yang juga kian berkurang.

Kehilangan hutan

Perubahan lingkungan di Zanegi itu terjadi mulai 2010, saat sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) mendapat konsesi untuk menebang hutan alam dan menggantinya dengan tanaman monokultur. Program ini merupakan bagian besar dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.


Batas tebangan hutan di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Sebagian hutan di Zanegi telah bersalin rupa menjadi hutan industri, khususnya akasia dan eukaliptus. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Di awal masuknya perusahaan, Wadam sempat tergoda mendaftar sebagai karyawan. Namun, dia hanya diterima sebagai buruh harian lepas. Pekerjaannya mulai dari mengupas kulit pohon, membersihkan, hingga menanam.

Pekerjaan itu dijalaninya selama dua tahun. Karena dirasakan tak bisa memenuhi kebutuhan hidup, Wadam kembali berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, menjadi pemburu dirasakannya makin sulit. Jika dulu ia bisa memanggul tiga ekor rusa ke kampung setiap berburu, belakangan maksimal hanya satu ekor, bahkan sering tanpa hasil.

Hutan di sekitar kampung yang menyusut, menyebabkan binatang buruan pun menghilang. Mencari ikan di rawa dekat kampung juga sama. Jika ingin mendapatkan hasil yang banyak, harus berjalan jauh ke bagian hulu. Wadam mulai terpikir, alam tak lagi bisa menopang jalan hidup sebagai pemburu dan peramu.

Baca Juga: Ironi Proyek Lumbung Pangan di Tanah Marind Anim

Sebagian besar warga Zanegi kini bekerja sebagai pemungut ranting dan dahan, sisa tebangan alat berat, untuk kemudian dijual ke perusahaan. Pekerjaan ini biasa disebut leles.

Wadam sesekali ikut juga bekerja sebagai leles, tetapi dia tak merasa puas. Selain hasilnya tak seberapa, dia merasa tak merdeka.


Bonifasius Gebze (kanan, bertopi) duduk bercengkerama dengan warga di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Foto oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2020.

Hingga akhirnya, sekitar enam bulan lalu, Wadam bertemu dengan Bonifasius Gebze (62), tokoh adat Kampung Zanegi, yang kemudian memberinya aneka benih sayuran dan bibit tanaman. ”Sejauh ini hanya Wadam yang mau serius bertani, padahal benih ini sudah saya tawarkan kepada banyak anak muda di sini, tapi tidak mau,” kata Boni, yang mendapatkan bantuan bibit dari Perkumpulan Petrus Vertenten Missionariorum Sacratissimi Cordis (MSC) Merauke.

Melalui bertani, Wadam mulai merasa menemukan jalan hidupnya. ”Bertani dan berkebun ini saya kira bisa menjadi masa depan. Orang dari luar Papua saja bisa sukses di sini, kenapa kita tidak?” katanya.

Walaupun ladangnya masih kecil, Wadam memiliki mimpi besar untuk bisa memenuhi kebutuhan sayur di kampungnya. Selama ini warga Zanegi menggantungkan kebutuhan sayur pada ”pakde sayur” dari kampung-kampung transmigran, yang tiap hari berjualan di sana.

”Saya tidak pernah punya cita-cita ini, tapi sekarang saya percaya diri jadi petani!” ujar Wadam.

Biodata

Laorensius Wadam Gebze

Zanegi, 18 Desember 1985

Pendidikan: SD St Aloysius Gonzaga Zanegi

Pekerjaan: Petani muda

RELATED CONTENT