TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo April 29, 2021

Reforestasi berbasis masyarakat di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Negara:

Penulis:
Mount Bromo with smoke, with Mount Batok in the foreground, and Mount Kursi and Mount Gunung Semeru in the background, volcano, in Bromo Tengger Semeru National Park. Image courtesy of Shutterstrock. Indonesia, date unknown.
bahasa Indonesia

Konsep reforestasi ini bukan semata-mata tujuan fisik yaitu hutan tumbuh kembali namun ada proses...

SECTIONS

Lumajang, JAWA TIMUR. Di atas ketinggian lebih dari 2.500 mdpl, Suwandi (37) bersama anaknya Sofian (12) menata bibit tanaman di sepeda motornya di depan green house. Tiga unit green house yang dibangun lima tahun silam untuk menumbuhkan benih tanaman penghijauan itu sudah tak utuh lagi. Namun semangat itu tetap ada, masih sama seperti ketika mereka memulai.

Sepeada motor itu mengangkut sekitar 150 batang bibit tanaman menuju Jemplang, salah satu titik reforestrasi. Di sana sudah menungu beberapa relawan untuk membantu menanam. Bahkan, teman-teman Sofian dari pondok pesantren yang kebetulan libur karena Covid-19 ikut membantu menanam.


Sofian santri ponpes membantu ayahnya menanam.

Sejumlah remaja belasan tahun itu semangat menanam bibit tanaman di pinggir jalan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semereu (TNBTS).

“Sudah sering membantu bapak untuk menanam. Teman-teman senang, pas libur juga. Biar hutannya tidak rusak lagi.”

Sofian, warga Desa Ranu Pani

Alasannya sederhana, ia hanya ingin melihat tempat bermain dan lingkungan sekitar rumahnya, hijau kembali.

Di Pondok Pesantren Salafiyah Nurul Huda Pajaran, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang Sofian dan teman-teman juga mendapatkan pelajaran tentang pentingnya hutan bagi kehidupan. Bagi Sofian, pelajaran itu tak sekadar teori sebab Sofian melihatnya dalam keseharian.

Sofian melihat hutan TNBTS yang hijau, kemudian habis terbakar menyisakan arang ribuan hektar luasnya. Kebakaran terjadi hampir tiap tahun. Terakhir, kebakaran yang cukup besar terjadi tahun 2019. Pun melihat bagaimana ayahnya berjibaku menanami hutan di antara kesehariannya merawat tanaman kentang di ladang keluarga mereka.

Video oleh Titik Kartitiani dan Prasto Wardoyo

Awalnya Suwandi atau lebih dikenal sebagai Wandi, bekerja sebagai tenaga lepas untuk program reforestasi lahan yang didanai oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dan dilanjutkan oleh JICS (Japan International Cooperation System).

“Awalnya saya diajak mas Andi untuk membuat bibit. Saya bersama lima orang teman. Itu tahun 2015,” kata Suwandi, warga Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

“Saya memang tidak berharap bahwa kesadaran itu total untuk semua peserta. Katakan 5-10 orang saja yang memiliki kesadaran untuk menanam swadaya, bagi saya sudah merupakan keberhasilan.”

Andi Zulkarnain, pendamping masyarakat Desa Ranu Pani

Namun ketika program tersebut berakhir, Wandi dan beberapa rekannya masih terus menanam secara swadaya. Ketika ditanya, mengapa, Wandi tidak bisa menjawab dengan lancar.

“Biar hutannya kembali. Ada banyak burung-burung lagi,” katanya.

Sedangkan alasan beberapa temannya berhenti, Wandi hanya mengatakan mungkin mereka kini sudah memiliki kesibukan. Bertanam kentang dan mengurus lahan sudah menyita tenaga mereka. Beberapa dari mereka tetap menanam dalam diam.

Desa Ranupani ini terletak di ketinggian 2.200 mdpl dengan luas 8.293,087, berpenduduk 1.487 jiwa.

Setahun pertama, mencari info tumbuhan lokal

Andi berkisah, reforestasi hutan TNBTS yang ia kerjakan bermula dari proyek TNBTS bekerjasama dengan JICA-REKA mulai tahun 2010 dan berakhir 2015. Kemudian dilanjutkan dengan program serupa di lokasi yang berdampingan bekerjasama dengan JICS hingga Maret 2020.

Setelah program itulah, masyarakat dengan swadaya melanjutkannya restorasi ekosistem. Meski lembaganya berbeda, namun programnya sama.

“Dulunya belum mengenal kata restorasi ekosistem, yang umum kita dengar adalah reboisasi. Mulai tahun 2010 kata restorasi ekosistem mulai digunakan,” kata Andi, yang juga koordinator program JICA-REKA di TNBTS.

Meski sama-sama menanam pohon dan memulihkan hutan, antara restorasi ekosistem yang dilakukan dengan kerjasama JICA maupun JICS dan penghijauan (reboisasai) memiliki perbedaaan secara teknis pelaksanaan yaitu pemilihan jenis tanaman dan pemeliharaan tanaman yang melibatkan masyarakat.

Pertama tentang jenis tanaman. Ragam tanaman yang ditanam harus spesies setempat dan bukan kategori spesies invasif. Beberapa catatan penting bagi penghijauan Indonesia tentang spesies invasif ini misalnya penghijauan dengan akasia pada tahun 1980-an yang kini menjadi spesies invasif di Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

“Selain jenis tanaman setempat, bahan tanamannya pun berasal dari hutan setempat,” tambah Andi. Oleh sebab itu, keterlibatan masyarakat setempat menjadi penting.

Keterlibatan masyarakat setempat ini sebagai sarana kampanye peran aktif masyarakat di lingkungan hutan sehingga harapanya ketika program berakhir, masyarakat akan melanjutkan secara swadaya. Hanya saja, skema restorasi ekosistem dengan cara ini membutuhkan waktu lebih lama.

“Setahun awal hanya cari info, tanamanan native yang ada di Ranupani. Kita tanya ke orang-orang Tengger, namanya apa kemudian dicari nama ilmiahnya,” kata Andi.

Bersama penduduk lokal, Andi mencari pohon induk yang masih ada kemudian menandai lokasinya sembari mengamati tentang kemampuan benih berbiak, benih yang berserak, dan bibit yang mungkin tumbuh di sekitar pohon induk.

“Rata-rata pohon induk yang ada sudah berumur puluhan tahun, bahkan ada yang mungkin ratusan. Pohonnya besar-besar dan tak sedikit yang sudah langka karena kami hanya menemukan beberapa pohon saja,” tambah Andi.

Setelah pengumpulan dari hutan, dilakukan pengecambahannya di lokasi pembenihan. Sebuah pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu bertahun-tahun karena setiap benih memiliki karakter khas dan belum tercatat di buku tentang kehutanan.

Kolaborasi, pemberdayaan masyarakat untuk keberhasilan

TNBTS seluas 502,8km2 mengalami ancaman eksosistem baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia. Namun ancaman yang paling sering terjadi adalah kebakaran hutan, menurut plt Kepala Balai Besar TNBTS, Novita Kusuma Wardani.

“Sebagian besar terdegradasi karena kebakaran hutan. Kebakaran hutan penyebabnya karena kejadian alam dan kebakaran yang disengaja oleh manusia,” kata Novi.

TNBTS memiliki dua gunung api aktif yaitu Bromo dan Semeru. Pada periode tertentu, letusan gunung api besar yang didukung oleh faktor kemarau menyebkan kerusakan hutan yang mengancam keanekaragaman hayati TNBTS. Salah satu yang terbaru, erupsi Gunung Semeru (3676mpdl) 2020 menyebabkan kekeringan dan kebakaran di Curah Kobokan sehingga perlu direstorasi.

Selain faktor alam, perambahan hutan juga menyebabkan kerusakan ekosistem. Perambahan ini terjadi di wilayah garis batas kawasan yang bersinggungan dengan ladang penduduk. Meski kasusnya tidak sesering kebakaran hutan.

Penyebab lain yang tak kalah mengancam yaitu jenis tumbuhan invasif yang tumbuh di TNBTS. Menurut catatan C.G.G. J. van Steenis dalam Flora Pegunungan Jawa (1972 dan 2006), Belanda turut andil dalam kehadiran tumbuhan asing invasif di kawasan Bromo Tengger Semeru.

“Ketika Belanda masuk ke Indonesia, termasuk ke kawasan yang kini menjadi TNBTS, Belanda juga membawa jenis tumbuhan dari negerinya,” jelas Novi. Misalnya di savana ada tumbuhan adas (Foeniculum vulgare) yang dianggap tumbuhan asli sebenarnya dibawa masuk oleh Belanda. Juga kerinyu (Verbena brasiliensis) yang menutupi kawasan Oro-Oro Ombo dan mulai menyebar ke bawah juga menjadi ancaman serius.


Spesies invasif. Salah satu ancaman ekosistem TNBTS yaitu spesies invasif Verbena brasiliensis. Hamparan tanaman asing ini menutupi kawasan Oro-Oro Ombo (2.400 mdpl) yang dibersihkan oleh TNBTS secara berkala.

Proses restorasi ekosistem yang dilakukan oleh TNBTS bekerjasama dengan banyak pihak diharapkan dapat menekan laju kerusakan oleh sebab-sebab tersebut. Proses panjang dari restorasi ekosistem ini menuai hasil yang terbilang memuaskan. Keberhasilan restorasi ekosistem ini mencapai 83%. Angka keberhasilan ini diukur dari presentasi tanaman yang tumbuh setelah 3 tahun ditanam.

Program restorasi ekosistem ini tidak hanya terkait penanaman, tapi terkait juga dengan pemberdayaan masyarakat. Bagaimana masyarakat lebih dilibatkan dalam pemulihan ekosistem itu. Pemeliharannya intensif, sehingga keberhasilan pertumbuhan tanaman sebanyak 83%

Novita Kusuma Wardani, plt Kepala Balai Besar TNBTS

Sekitar 110 hektar sudah ditanami dari 2.000 hektar zona rehabilitasi TNBTS yang membutuhkan pemulihan ekosistem. Menurut Novi ini termasuk program dengan keberhasilan tinggi dibanding di antara program penghijauan yang pernah dilakukan di TNBTS sebelumnya.

“TNBTS melakukan program pemulihan ekosistem mulai tahun 2003-an dengan berbagai program. Ada Gerhana (Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional), kemudian namanya menjadi GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Mulai tahun 2010, namanya pemulihan ekosistem. Kita lakukan di lokasi yang terdegradasi yang zonanya masuk ke dalam zona rehabilitas,” terang Novi.

Program pemulihan ekosistem sebelumnya terkonsentrasi pada reboisasi (penanaman kembali) hutan yang rusak tanpa dilengkapi dengan pemeliharaan yang intensif dan juga pemantauan pertumbuhan tanaman. Kebanyakan yang tercatat hanya jumlah pohon yang ditanam, namun pertumbuhan selanjutnya kerap kali tidak dicatat. Pun keterlibatan masyarakat lokal terbatas.

Pendanaan

“Program yang memantau restorasi ekosistem secara terus menerus hingga tanaman tumbuh besar juga memerlukan dana yang tidak sedikit,” kata Novi.

TNBTS melakukan pemulihan ekosistem dengan berbagai sumber pendanaan, menggunakan anggaran APBN dan kerjasama dengan pihak lain. Mulai penghijauan yang dilakukan oleh para relawan, percinta alam, pemerintah kabupaten, dan komunitas melakukan penanaman pada event tertentu, misal pada kegiatan rutin Bulan Menanam Nasional yang jatuh pada tanggal 28 November.

Sedangkan dengan lembaga, ada beberapa kerjasama terkait dengan penghijauan yaitu antara lain kerjasama dengan Sumitomo Forestry di daerah Pasuruan, kerjasama dengan PT. Tirta Investama di Pasuruan, dan kerjasama dengan JICA- JICS Jepang di Ngadas dan Ranupani.

Program restorasi ekosistem yang dilakukan oleh JICA dan JICS ini tak hanya menanam tapi juga monitoring hingga program habis dan dilanjutkan masyarakat secara swadaya.

“Kami paling hanya penyulaman. Mereka memonitor apa yang ditanam. Ketika ada permasalahan waktu itu misalnya erupsi Bromo sehingga abunya mengganggu pertumbuhan tanaman, pohon demi pohon dibersihkan dari abu,” kata Novi. Penyulaman merupakan penggantian tanaman yang mati yang dilakukan berkala oleh TNBTS sedangkan monitoring keseharian dilakukan oleh JICA dan JICS.


Gotong royong. Setiap 2 minggu sekali, sedikitnya 50-100 batang pohon ditanam oleh warga setempat. Lokasi penanaman merupakan zona rehabilitasi atas seizin pihak TNBTS.

Kisah mengecambahkan benih hingga keberhasilan menanam ini menjadi narasi menarik dari program ini. Berbagai cara dilakukan, mulai cara yang dicatat oleh C.G.G. J. van Steenis dalam Flora Pegunungan Jawa (1972 dan 2006) hingga cara yang dilakukan masyarakat lokal di Kawasan Tengger. Mulai dari melindungi tanaman dari embun beku dengan suhu minus 13 derajad Celcius hingga membersihkan semburan abu vulkanik dari Bromo dan Semeru.

Sejak program restorasi ekosistem yang didanai JICS berakhir pada bulan Maret 2020, masyarakat melanjutkan dengan swadaya. Suwandi dibantu dengan anaknya, Sofian masih melakukan pembititandan menanamnya setiap bulan. Sementara Andi yang tinggal di Kota Malang mengajak teman-temannya turut membantu Suwandi menanam pohon tersebut hingga kini.

“TNBTS tetap melakukan restorasi eksosistem hingga kini. Zona rehabilitasi masih luas. Selain program dari TNBTS yang menggunakan APBN, kami membuka kerjasama dengan pihak lain untuk sama-sama menanam,” tambah Novi.*


*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center

RELATED CONTENT