TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Artikel Publication logo Desember 22, 2020

Jejak Para Pembalak Liar

Negara:

Penulis:
Deforestation in Indonesia
Inggris

This report was carried out by Pontianak Post journalists with the support of a grant from the...

SECTIONS
Illegal logging in East Kalimantan
Aerial monitoring showed that logs were seen in the Tanjungpura University Education forest area in Peniti Dalam II Village, Segedong District, Mempawah, showing evidence of encroachment activity. ARIEF NUGROHO / PONTIANAK POST

Hutan Pendidikan Untan Terusik Illegal Logging

Hutan Pendidikan Universitas Tanjungpura seluas 19.622 hektare yang membentang di Mempawah, Kubu Raya dan Landak mulai terusik aktivitas perambahan hutan. Pontianak Post menelusuri jejak para pembalak hutan di kawasan itu dan menggali lebih dalam persoalan yang terjadi. Berikut laporannya.

ARIEF NUGROHO, Segedong

SERBUK gergaji belum sepenuhnya hilang. Balok-balok kayu, jalan sarad serta pondok para penebang juga belum pindah dari tempatnya. Semua menjadi bukti pembalakan liar di kawasan hutan Pendidikan Untan itu.

Hari masih pagi saat Pontianak Post tiba di sana. Lokasinya berada di hulu Sungai Kenak, Desa Peniti Dalam II, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah, atau sekitar 50 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.

Bersama tiga orang pemandu, Yoga, Riyanto dan Irwan, kami menumpang perahu milik Ahin, warga lokal dari desa itu. Butuh waktu dua jam setengah untuk tiba di sana.

Jalur sungai yang sempit dan berkelok tak jarang membuat perahu terhambat. Sesekali harus turun dari perahu, mendorong dan membersihkan baling-baling mesin yang tersangkut akar kayu.

Tempat pengolahan kayu (sawmill) menjadi pemandangan selama perjalanan sebelum memasuki areal hutan. Namun, tidak ada satu pun yang beraktivitas. Tempat itu tampak sepi. Kayu sisa olahan juga tidak terlihat. Yang ada hanya serbuk gergaji yang menggunung.

Menurut Ahin, aktivitas pengolahan kayu terhenti sejak adanya operasi pengamanan hutan pada Juni lalu. Operasi itu menyegel beberapa sawmill yang diduga mengolah kayu hasil perambahan hutan. Petugas juga mengamankan sejumlah penebang kayu, baik dari masyarakat sekitar maupun masyarakat luar.

Tak terasa perahu yang kami tumpangi memasuki areal hutan. Pemandangan beralih pada vegetasi alam yang hidup di sana.

Sepintas, kawasan ini mencirikan hutan rawa gambut. Tanaman yang tumbuh didominasi jenis teki-tekian dan paku-pakuan. Tumbuhan itu juga tumbuh subur di antara pohon-pohon rawa lainnya seperti, jelutung, ramin, bintangur, meranti dan rengas.

Selain aneka tumbuhan, hutan ini juga menjadi habitat beranekaragam satwa, seperti, burung, trenggiling, kucing hutan, dan beberapa satwa lainnya. “Orangutan juga pernah dijumpai di sini,” kata Yoga.

Perahu mendadak berhenti. Kami tiba di salah satu lokasi yang diduga dijadikan areal pembalakan. Di lokasi itu terdapat puluhan kayu gelondongan yang belum diolah. Ada juga yang sudah berbentuk rakit.

Sekitar lokasi juga tampak sejumlah pondok milik penebang. Kondisinya sudah tidak utuh lagi. Atap yang terbuat dari terpal sudah koyak. Sebagian kayu penyangganya juga sudah roboh.

Perahu kembali meluncur, menyusuri sungai menuju lokasi selanjutnya. Setengah jam kemudian, tiba di lokasi kedua. Tempat itu lebih mirip perkampungan. Pondok penebang dibangun saling berhadapan, dan dipisahkan jalan.

Jalan itu terbuat dari papan kayu mirip dengan rel kereta. Orang-orang mengenalnya dengan jalan sarad, jalan yang biasa digunakan para penebang untuk mengangkut kayu hasil tebangannya.

Biasanya, para penebang menggunakan sarana angkut seperti gerobak atau sepeda yang sudah didesain khusus, seperti mengganti roda dengan ukuran besar. Sehingga kokoh digunakan untuk mengangkut kayu.

Di sisi lain, kayu balok beragam ukuran, mulai dari yang kecil, sedang, hingga ukuran besar tersusun rapi di sana. Masing-masing panjangnya sekitar empat meter. Jumlahnya diperkirakan ratusan batang. Di atasnya melintang garis polisi. “Mereka menampung kayu-kayu itu di sini. Sebagian sudah diangkut untuk barang bukti,” jelas Yoga.

Di balik tempat penampungan kayu itu juga terdapat jalan sarad yang diduga menghubungkan titik lokasi pembalakan dengan tempat penampungan kayu tersebut. Dengan berjalan kaki, kami menelusuri jalanitu.Panjangnya lebih dari  tiga kilometer.

Sisa aktivitas penebangan masih terlihat di sana. Serbuk gergaji, tunggul kayu, papan dan balok, masih belum bergeser dari posisinya. Bagian lain terdapat bukaan lahan yang tidak beraturan.

Langkah kaki terhenti. Jalan yang kami susuri bercabang.Kami mencoba melakukan pengamatan menggunakan pesawat nirawak, untuk mencari tahu arah dan lokasi jalan sarad tersebut.

Gambar yang tampakdari pesawat nirawak itu menunjukkan bukaan yang tak merata di sepanjang jalur angkut kayu. Terlihat juga pohon-pohon yang tumbang tak beraturan. “Dari pantauan drone, cabang jalan mengarah ke lahan seluas 60 hektare itu,” kata Yoga.

Lahan seluas 60 hektare yang dimaksud adalah lahan yang dihibahkan seorang warga bernama Endang Kusnadi kepada Komando Militer Daerah Tanjungpura.

Motif di Balik Hibah 

Sejak awal, sosok Endang Kusnadi sudah menjadi sorotan. Dia pernah diperiksa penyidik kehutanan atas dugaan perambahan hutan, aktivitas pengolahan kayutanpa izin dan peredaran kayu olahan tanpa dokumen kehutanan. Endang diperiksa pada 31 Januari 2020 sebagai saksi.

Dalam dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dimiliki Pontianak Post, Endang menjelaskan aktivitas penebangan kayu di kawasan hutan itu. Menurutnya, yang melakukan penebangan kayu adalah masyarakat pemilik lahan, yang menguasakan lahannya kepadanya.

Endang juga menyebut, dasar kepemilikan lahan masyarakat adalah surat keterangan tanah (SKT) dan surat adat yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Desa Peniti Dalam II, tahun 1987. Sedangkan surat adat dikeluarkan oleh Wedana Kecamatan Siantan tahun 1954-1958.

Jumlahnya sekitar 27 persil yang berlokasi di Sungai Peniti Besar sebelah kanan dan kiri, dari Air Mati hingga Sungai Mentarum.

Paska pemeriksaan oleh penyidik kehutanan, nama Endang Kusnadi kembali mencuat. Ia diketahui menyerahkan hibah lahan seluas 60 hektare kepada Kodam Tanjungpura. Surat “hibah” diserahkan kepada seorang perwira menengah berpangkat mayor pada 20 Februari 2020.

Ada anggapan hibah lahan tersebut hanya akal-akalan, sebagai motif untukmemuluskan aktivitas illegal logging di kawasan itu.

Pontianak Post berhasil mewawancari Endang Kusnadi. Endang membantah anggapan itu. Menurut Endang, apa yang dituduhkan kepada dirinya tidak benar.

Menurut dia, penyerahan hibah lahan seluas 60 hektare dengan aktivitas perambahan di kawasan hutan pendidikan tersebut tidak ada kaitannya. “Tidak ada hubungannya. Kebetulan saja waktunya hampir bersamaan,” katanya kepada Pontianak Post.

Dikatakan Endang, lahan yang dihibahkan merupakan milik keluarga ahli waris bernama H Hasan bin H M. Saleh yang kemudian menunjuk dirinya sebagai pemegang kuasapenyerahan hibah lahan tersebut.

Menurutnya, hibah lahan ituuntuk kepentingan masyarakat dan pemilik lahan yang selama ini menggarap lahan di kawasan hutan tersebut. “Hibah lahan itu sudah ada kesepakatan dari ahli waris,” kata Endang.

Dengan menyerahkan hibah lahan kepada TNI, ia berharap akan ada pembangunan jalan atau akses untuk mempermudah masyarakat melakukan aktivitas ke lahan mereka. “Ini murni untuk kepentingan bersama. Harapannya, masyarakat lebih mudah melakukan aktivitas di lahan mereka,” dalihnya.

Namun, berdasarkan data peta kawasan yang dimiliki Pontianak Post, lokasi lahan yang dihibahkan kepada institusi TNI AD itu berada di titik koordinat 109019’21,77’’BT, 0013’23,75’’ LU atau berada di kawasan hutan pendidikan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lokasi itu berada tepat di antara batas wilayah dua kabupaten, yakni Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Landak. “Kami tidak tahu batas-batasnya. Karena selama ini tidak ada sosialisasi,” bantah Endang.

Menurutnya, selama ini masyarakat Desa Peniti Dalam II membuka lahan pertanian, perkebunan, dan juga memanfaatkan hasil kayu di kawasan itu. Sejak kawasan itu diduduki PT. Inhutani II, selaku pemegang izin Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) pada 2009-2013, kata Endang, ruang gerak masyarakat semakin terbatas. Masyarakat perlahan meninggalkan lahan garapannya.

Padahal, kata Endang, masyarakat secara turun temurun menggarap lahannya di sana. Maka, lanjut Endang, tidak heran jika masyarakat yang merasa sebagai ahli waris pemilik lahan kembali ke lokasi itu dan menuntut haknya. “Di situ ada hak-hak masyarakat yang diabaikan. Mereka menuntut kembali haknya,” lanjutnya.

Terkait dugaan keterlibatan dirinya dalam aktivitas perambahan hutan yang digerebek tim gabungan pengamanan hutan pada Juni 2020, Endang membantahnya. Sebaliknya, ia mengklaim, jika dirinya yang melaporkan adanya aktivitas perambahan itu kepada aparat dan pihak KHDTK. “Tidak. Saya tidak terlibat. Justru saya yang melaporkan ada perambahan hutan itu. Ada buktinya,” akunya.

Namun, kata Endang, laporannya tidak langsung ditanggapi. Tetapi, sebaliknya, ia merasa sebagai pihak yang disudutkan dan dituduh sebagai aktor di balik perambahan hutan itu. “Nyatanya, justru saya yang disudutkan. Dituduh sebagai aktor perambah hutan,” bebernya.

Pontianak Post memiliki fotocopi dokumen surat pernyataan yang diduga sebagai salah satu dasar kepemilikan dan penggarapan lahan oleh masayarakat, seperti yang diungkapkan Endang Kusnadi dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Surat pernyataan tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Desa Peniti Dalam II, Muhamadiyah Saibe pada 2 Maret 1987. Dalam surat pernyataan itu juga menyebutkan nama, perkerjaan, kewarganegaraan, alamat pemegang surat pernyataan. Kebetulan, dokumen surat pernyataan yang dimiliki Pontianak Post, atas nama Aripin Hamad, usia 19 tahun warga Pontianak.

Surat pernyataan itu juga menyatakan bahwa pemegang surat mempunyai atau menggarap sebidang tanah negara atau bekas milik adat. Dalam surat itu juga menyatakan kepemilikan atau penguasaan tanah telah dilakukan secara berturut-turut sejak tahun 1973 hingga sekarang dengan luas 20 hektare.

Terpisah, Kepala Desa Peniti Dalam II Fauzani Abdullah mengaku ragu terhadap dokumen tersebut. Menurutnya, ada kejanggalan pada surat pernyataan itu. “Saya rasa perlu dicek kembali keabsahannya,” jelasnya singkat.

Operasi Pengamanan Hutan

Operasi pengamanan hutan yang digelar pada 23-24 Juni 2020, mengamankan 18 orang pembalak serta sejumlah barang bukti berupa gergaji mesin dan ratusan batang kayu berbagai jenis dan ukuran.

Pada operasi itu, tim gabungan yang terdiri dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Gakkum LHK wilayah III Pontianak, Polres Mempawah, Koramil Mempawah, serta Korem 121/ABW itu juga mencurigai adanya keterlibatan oknum TNI dalam aktivitas ilegal itu. Mereka diduga sebagai backing.

Indikasi itu semakin kuat saat tim gabungan mempergoki oknum TNI berbaju sipil keluar dari lokasi bersama para penebang kayu. “Mereka berada dalam satu perahu bersama para pelaku menuju arah keluar,” beber Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Prof Gusti Hardiansyah.

Kecurigaan itu telah dilaporkan kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) dan Den POM Kodam XII Tanjungpura. Atas laporan itu, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) menurunkan timnya ke Pontianak untuk menyelidiki dugaan keterlibatan oknum TNI itu. Tim yang dipimpin seorang kolonel itu juga melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi perambahan hutan, di Sungai Kenak, Desa Peniti Dalam II, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah. Pontianak Post berada di lokasi saat olah TKP dilaksanakan.

Satu per satu diperiksa. Dimintai keterangan, termasuk sejumlah oknum anggota TNI yang dicurigai sebagai backing pembalakan liar itu.

Namun, dalam perkembangan pemeriksaan, DenPOM Kodam XII Tanjungpura menyatakan, tidak menemukan adanya bukti-bukti keterlibatan oknum TNI dalam perkara perambahan hutan itu. Pernyataan Den Pom Kodam XII Tanjungpura tertuang dalam surat nomor B/319/IX/2020 tertanggal 9 September 2020.

Bantah Telibat

Komando Militer Daerah XII Tanjungpura membantah telah menerima hibah lahan seluas 60 hektare dari Endang Kusnadi. Bantahan itu disampaikan Kepala Penerangan Kodam XII Tanjungpura Kolonel Inf Aulia Fahmi Dalimunte.

Menurut Fahmi, Kodam XII Tanjungpura memang sedang mencari lahan untuk membangun Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Yon Arhanud). Bersamaan dengan itu, ada warga yang ingin menyerahkan lahan seluas 60 hektaree sebagai hibah yang berlokasi di Dusun Sungai Kenak, Desa Peniti Dalam II, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah.

Untuk memastikan status lahan tersebut, kata Fahmi, Kodam XII Tanjungpura membentuk tim pengkaji untuk mengecek kualitas, kuantitas dan kelaikan materiil hibah itu.

Menurut Fahmi, Kodam XII/Tanjungpura juga menurunkan tim pengkaji berjumlah 30 personel untuk melakukan survei ke lokasi untuk melihat kondisi riil di lapangan. Berdasarkan hasil kajian, lanjut Fahmi, Kodam XII Tanjungpura juga mengirimkan surat kepada Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah III perihal permintaan informasi status lahan/tanah tersebut sebagai bahan dari proses pengkajian. “Berdasarkan BPKH, lokasi hibah itu berada di areal kawasan hutan pendidikan yang dikelola Universitas Tanjungpura,” ungkap Fahmi.

Surat BPKH dan hasil survei menyatakan, lahan tersebut dalam pemanfaatan dan penggunaan Universitas Tanjungpura serta tidak layak digunakan sebagai pangkalan Batalyon Artileri Pertahanan Udara, karena kondisi lahan 100 persen lahan gambut.

Selanjutnya, kata Fahmi, pihaknya mengirimkan surat kepada Endang Kusnadi, selaku pihak yang menyerahkan hibah, yang isinya perihal penolakan dan tidak dapat menerima hibah lahan dikarenakan tanah tersebut tidak memenuhi standar kelaikan dan administrasi.

Fahmi mengatakan, dalam proses serah terima hibah lahan, Kodam XII Tanjungpura berpedoman pada Keputusan Kasad Nomor Kep/639/VII/2018 tentang Hibah barang dan/atau jasa di lingkungan TNI AD. (*)