TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Terjemahkan halaman dengan Google

Proyek November 23, 2021

Setelah Reformasi Politik di Indonesia, Suku Mapur Kehilangan Hutan Adatnya

Negara:

Penulis:

Suku Mapur adalah Suku Melayu tua di Pulau Bangka. Komunitas adat ini hidup di dalam hutan yang berada di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia. Selama masa Kesultanan Palembang dan pemerintahan kolonial Belanda, hutan milik Suku Mapur bebas dari penambangan timah dan perkebunan karet.

Pada masa pemerintahan Soeharto, muncul stigma negative terhadap Suku Mapur. Mereka disebut “orang lom”. Artinya orang yang belum hidup dalam peradaban modern dan memeluk agama yang diakui pemerintah Indonesia. Munculnya stigma ini diperkirakan dampak hadirnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menghilangkan wilayah dan hutan milik komunitas adat.

Sekitar tahun 1980-an-1990-an, pemerintah Indonesia memindahkan sebagian Suku Mapur dari hutan, dan ditempatkan pada sejumlah dusun di Kecamatan Belinyu dan Riau Silip. Mereka memeluk agama yang diakui pemerintah Indonesia. Sebagian mengaku “terpaksa” memeluk agama tersebut.

Seusai reformasi politik di Indonesia pada 1998, sekitar 13.565 hektar hutan milik Suku Mapur yang dikuasai negara dijadikan perkebunan sawit milik sebuah perusahaan. Ribuan hektar menjadi lokasi tambang timah, baik legal maupun illegal.

Pada saat ini hutan yang tersisa terus terancam perkebunan sawit, pertambakan udang, dan pariwisata.

Hutan bagi Suku Mapur selain sebagai sumber obat-obatan, pangan, air bersih, ekonomi, juga tradisi dan kepercayaan.

Sejumlah tokoh adat Suku Mapur, akademisi dari Universitas Bangka-Belitung [UBB], pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka-Belitung dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], saat ini tengah berupaya mencari cara untuk mengembalikan dan mempertahankan hutan yang tersisa.