Pekalongan, IDN Times — Minuman kekinian ala millennial dan gen-Z saat ini beragam dari bentuk dan rasanya. Yang paling hits dikalangan mereka adalah minuman olahan menggunakan gula aren. Sebut saja kopi susu gula aren, dalgona kopi gula aren semut, dan minuman boba gula aren.
Rasa manis yang dihasilkan gula aren tidak bikin enek bahkan menjadi pilihan yang pas bagi kesehatan sebagai pemanis alami, karena dari sisi rasa tidak semanis gula pasir putih pada umumnya.
"Dalam Nutrisurvey tahun 2007, satu sendok makan atau 15 gram gula aren mengandung 14,5 gram karbohidrat yang setara dengan 59,4 kalori. Kalau gula putih mengandung 100 persen gula, gula aren hanya 78 persen gula karena sisanya zat gizi penting seperti vitamin B, kalium, kalsium, antioksidan, dan serat," kata dr Fiona Amelia melansir KlikDokter, Jumat, 9 April 2021.
1. Gula aren dan gula merah berbeda
Bagi sebagian orang, masih bingung membedakan antara gula aren dan gula merah. Yang paling mudah dilihat dari warna keduanya. Warna khas gula aren lebih terang, kekuningan dan kemerahan pekat, serta gelap daripada gula merah. Kemudian, tekstur gula aren lebih empuk sehingga mudah hancur.
Perbedaan lain dari bahan baku pembuatannya. Gula merah berbahan baku nira pohon Kelapa (Cocos nucifera) sedangkan gula aren dibuat dari nira pohon Aren (Arenga pinnata).
Pohon Aren mirip dengan kelapa, tidak berduri dan tidak bercabang. Sebagian besar populasi pohon tersebut bersemi secara alami dan subur di berbagai tipe hutan, termasuk di hutan hujan tropis dataran rendah Petungkriyono di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Mereka tumbuh alamiah dari feses Musang, yang sebelumnya memakan buah Aren. Biji buah--yang tidak hancur--dibawa hewan bernama latin Paradoxurus hermaphroditus itu kemudian dikeluarkan melalui kotoran sehingga berkecambah dan hidup liar di hutan tersebut.
2. Pohon Aren punya peran menjaga ekologi hutan Petungkriyono
Pohon Aren menjadi salah satu tanaman konservasi karena akarnya sedalam 6--8 meter efektif menarik dan menahan air. Karakter akar yang lebar mampu mencegah erosi, meningkatkan kondisi makro tanah, dan porositas.
Selain itu, daun dan batang pohon Aren yang tertutup lapisan ijuk efektif menahan air hujan langsung turun ke permukaan atau lapisan tanah.
"Pohon Aren menjadi tumbuhan penyeimbang ekosistem dan ekologi, melindungi sumber daya hutan Petungkriyono khususnya tanah. Akar serabutnya kokoh, dalam, dan tersebar sehingga mampu menahan erosi tanah juga mengikat air. Sangat membantu kelestarian lingkungan," ujar pakar primata (primatologist) yang juga sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Setiawan, 11 Februari 2021.
Perhutani--selaku pemilik sekaligus pengelola hutan Petungkriyono dibawah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pekalongan Timur melalui Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Doro--dan masyarakat desa di sekitar hutan, turut membudidayakan pohon Aren karena termasuk tanaman serbaguna dan kategori Multi Purpose Trees Species (MPTS). Yaitu jenis pohon yang menghasilkan kayu dan bukan kayu--seperti getah, daun, bunga, serat, buah, dan sebagainya--.
"Pohon Aren yang tumbuh bermanfaat bagi masyarakat sekitar (hutan), karena dapat menyerap air hujan dan menghasilkan oksigen (O₂). Akar pohon tersebut dapat menahan tanah dari terjangan air hujan. Pohon Aren multifungsi, bernilai ekonomi tinggi, sosial, serta berperan bagi ekologi hutan Petungkriyono," kata Administratur KPH Pekalongan Timur, Didiet Widhy Hidayat ketika ditemui IDN Times di kantornya, 11 November 2020.
3. Pemanfaatan HHBK sebagai sumber daya hutan Petungkriyono
Pohon Aren termasuk sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)--hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan hasil budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan--. HHBK diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.77/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Negara. Beberapa jenis HHBK yang diizinkan dipungut pada beleid tersebut antara lain berupa rotan, buah, madu, daun, getah, kulit, tanaman obat, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
"Masyarakat di sekitar (hutan) Petungkriyono menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan ekosistem hutan. Pengelolaan hutan sebagai penghasil HHBK menambah pendapatan mereka, dengan tetap memperhatikan faktor ekologi. Polanya berbagi (sharing) melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Mereka bisa memanfaatkan dan mengusahakan HHBK dengan tidak merusak hutan," jelas Didiet.
HHBK menjadi salah satu sumber daya hutan dengan keunggulan komparatif yang terbukti memberikan dampak positif terhadap penghasilan masyarakat desa di sekitar hutan Petungkriyono. Selain itu, juga berkontribusi menambah pendapatan Perhutani.
Oleh karena itu, HHBK menjadi bagian penting melindungi ekosistem hutan, sehingga dampaknya bisa dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, baik hasil ataupun jasa lingkungannya (ecosystem services) oleh manusia dan lingkungan sekitar.
"Masyarakat mengandalkan hidup dari sektor kehutanan, dengan mengambil dan mengelola HHBK sebagai bagian dari livelihood (mata pencaharian). Karena HHBK memang dikhususnya untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sehingga pengelolaan hutan dapat bermanfaat untuk kelestarian dan kemakmuran mereka," ucap Wawan, sapaan Arif Setiawan.
4. Populasi burung yang semakin langka menjadi tanda hutan rusak
Pohon Aren tumbuh dengan baik di hutan Petungkriyono meski berada pada ketinggian 500--800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pohon yang masuk suku Arecaceae (pinang-pinangan) itu berjenis tanaman tahunan. Tinggi pohon bisa mencapai 15--20 meter dengan diameter batang rata-rata 65 sentimeter.
Adapun batang pohon Aren terlihat kotor karena banyak ditumbuhi tanaman jenis paku-pakuan. Sementara tajuk daun pohon tersebut melambung ke atas batang dengan rimbun.
Hampir seluruh bagian fisik dan hasil produksi pohon Aren bisa dimanfaatkan karena mempunyai nilai ekonomi. Mulai dari akar untuk obat-obatan, kemudian batang dibuat ijuk, batang muda diambil sagunya, sementara batang tua dijadikan bahan furnitur. Lalu, daun pohon Aren menjadi bahan pembuatan atap, bunga untuk nira sebagai dasar pembuatan gula aren, dan buah diolah makanan seperti manisan kolang-kaling.
Penggunaan nira sebagai bahan baku pengolahan gula aren dimanfaatkan Damuri, petani aren satu-satunya yang masih eksis dari Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Ia sebelumnya seorang pemburu satwa dan kayu di hutan Petungkriyono. Aktivitas ilegal itu sudah dijalani sejak 1998.
Damuri menjaring burung sekaligus menebang pohon yang dijual berdasarkan pesanan orang. Burung yang sering ia buru adalah jenis Cucak hijau (Chloropsis sonnerati) dan Trucuk (Pycnonotus goiavier).
Kala itu, Damuri mampu meraup bayaran Rp2 ribu per balok kayu berukuran 4 meter yang ditebang dan Rp1 juta sampai Rp2 juta untuk penjualan setiap ekor burung tersebut.
"Dulu berburu, berangkat dari rumah jam 8 pagi. Tapi lama kelamaan merasa burung kok jadi langka karena jarang dapat, akhirnya saya berhenti (berburu). Karena saat itu tidak tahu, ternyata apa yang saya lakukan merusak hutan secara tidak langsung," jelas pria berusia 52 tahun itu kepada IDN Times.
Damuri kemudian berhenti total dari aktivitas berburu pada 2017. Ia belajar menjadi petani Aren dari mertua--orangtua sang istri--yang sampai saat ini nyaman dijalani. Ia tidak menyesal meski penghasilan dari berburu lebih besar dibandingkan profesinya saat ini sebagai petani Aren.
"Apa yang saya perbuat dulu menyalahi aturan, jadi sadar setelah direnungkan. Alhamdulillah jadi petani (Aren) seperti ini enak, pikiran ringan dan bisa menikmati hidup. Kalau dibilang cukup ya cukup, bisa bersyukur, dan perasaan nyaman. Kalau berburu tenaga dan pikiran berat karena fokus mencari terus mencari bahan buruan, bisa stres," jelas Damuri.
5. Hutan yang terjaga berpengaruh terhadap kualitas nira pohon Aren
Pekerjaannya sebagai petani mengharuskan Damuri menyadap nira langsung dari tandan bunga jantan pohon Aren di hutan Petungkriyono. Nira merupakan cairan bening hasil menyadap atau menderes air tandan bunga pohon Aren. Karakter nira berbau wangi, rasa manis, dan tidak berwarna.
Jumlah tandan pohon yang produktif menghasilkan nira mencapai 4--6 tandan dengan masa sadap 3--5 bulan. Adapun per tandan mampu menghasilkan 900--1.800 liter nira. Sehingga, satu pohon Aren bisa disadap 8--18 bulan.
Dalam satu hari, bapak tiga anak itu menyadap dua kali, pada pukul 06.00 WIB dan 15.00 WIB, di empat sampai lima pohon Aren di hutan Petungkriyono. Berkualitas atau tidaknya nira dipengaruhi oleh umur dan kesehatan pohon seperti panjang tandan, jumlah ruas tandan, serta kesuburan, juga keadaan tanah, termasuk iklim setempat.
Kualitas tersebut memengaruhi hasil produk gula aren karena yang ideal untuk diolah adalah jenis nira yang berair dibandingkan yang berlendir.
"Nira yang berlendir itu tidak bagus, yang bagus yang berair. Kalau dibuat gula aren yang cetak atau yang semut tidak jadi, kualitasnya jelek. Musim penghujan di hutan Petungkriyono berpengaruh pada banyak tidaknya nira. Makanya kualitas nira juga tergantung sama kualitas hutannya, bagus atau tidak, terjaga atau tidak," ujar Damuri.
6. Produk gula aren hutan Petungkriyono bernilai jual tinggi
Nira hasil sadapan Damuri dimasak Damari--Ibu mertua yang tinggal satu rumah--menjadi gula aren dalam bentuk gula cetak dan gula semut. Gula semut merupakan jenis gula berbentuk serbuk atau kristal yang berwarna kuning kecokelatan sampai coklat. Adapun gula semut terdapat dua varian rasa, original dan jahe.
"Mereka jual gula aren hanya cetak saja. Karena sering lenyet dan harga anjlok, akhirnya mereka kami sarankan untuk berinovasi diolah menjadi gula semut. Dengan begitu ada nilai jual, ada value-nya. Memang prosesnya ribet tapi hasilnya lumayan. Sekarang produk mereka sebulan bisa 60 kg, kalau sehari rata-rata 2 kg, tergantung ada Matahari untuk pengeringan atau tidak dan jumlah nira juga," ungkap Wawan yang juga pendiri Swaraowa.
Gula semut merupakan diversifikasi produk untuk mendapatkan penghasilan tambahan karena sebelumnya mereka hanya berfokus pada gula cetak. Harga gula cetak per kilogram (kg) Rp25 ribu sementara gula semut untuk original Rp50 ribu per kg dan rasa jahe Rp70 ribu per kg.
"Enak. Baru kali ini nyobain pertama kali, berbeda rasanya. Gula cetak sama gula jahe-nya khas hutan," ungkap seorang pembeli, Miftah Qudsi ketika berbincang dengan IDN Times di rumah Damari.
Seluruh proses pembuatan dilakukan dengan tradisional. Mulai dari memasak menggunakan api kayu bakar sampai proses pengeringan memanfaatkan cahaya Matahari, tanpa mesin pengering atau alat modern lainnya. Oleh karena itu, gula aren buatan mereka bernilai jual tinggi karena tanpa kandungan bahan pengawet juga bahan kimia, prosesnya organik, dan awet alias tahan dalam waktu lama.
"Nate ngagem gas masake, ngagem oven kagem nggaringke, malah gulane mboten sae, mblenyek, mambu gas, mboten saged garing gula semute. Menawi benter kathah, nggih saged sae garing. Tahan dangu, mpun dicobi. Menawi mboten wonten srengenge, nggih lajeng pripun? Ngeten mawon pun sae kaleh alami raosipun (red: Pernah memasak menggunakan gas, pakai oven untuk pengering, malah gula jadi tidak bagus kualitasnya, kental, berbau gas, tidak bisa kering gula semutnya. Kalau panas Matahari banyak, ya bisa bagus kering. Kadaluarsanya lama, sudah dieksperimenkan. Tetapi kalau tidak ada cahaya, mau bagaimana lagi?)," kata Damari yang sudah menggeluti pembuatan gula aren 7 tahun terakhir.
7. Regenerasi menjadi tantangan pemanfaatan HHBK pohon Aren
Pengembangan produk gula aren masih terkendala beberapa faktor meskipun sudah berjalan lebih dari lima tahun. Seperti belum adanya alih teknologi pangan yang bisa menggantikan seluruh tahapan proses pengolahan gula aren. Kemudian pasokan serta kuantitas produk yang dihasilkan cukup terbatas karena bergantung terhadap hasil nira pohon Aren hutan Petungkriyono dan cuaca khususnya cahaya Matahari untuk proses pengeringan gula semut.
"Produksi gula aren tidak mematok harus target produksi harus berapa dalam sehari. Kalau ada nira banyak dan bagus, bisa dimanfaatkan dan diolah jadi gula aren. Kalau tidak ada Matahari, ya produksinya juga tidak bisa berjalan. Tapi itu bagian dari kearifan lokal, produknya benar-benar organik, dan menjunjung nilai-nilai konservasi, tidak eksploitatif," tandas Wawan.
Selain itu, regenerasi menjadi tantangan karena petani pohon Aren dan pengolah gula aren dengan rasa khas hanya mereka yang masih eksis sampai saat ini.
"Ya ini mau saya turunkan ke anak saya. Hanya kalau anak sekarang tidak gampang. Kalau mau ya tidak apa-apa, kalau tidak mau masak mau dipaksa. Harapannya juga ada penerusnya termasuk yang mengolah gula aren. Pelan-pelan sudah diajarkan juga ke anak cucu untuk berlatih. Kalau tidak ada regenerasi, pohon Aren lama kelamaan tidak bisa dimanfaatkan dan bisa ditebang dan jadi punah," aku Damuri.