WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo April 19, 2022

Conflicts at the Location of Koperasi Minyak Atsiri Mentawai (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
A man cuts down a tree in Indonesia.
English

Mentawai Indigenous people are struggling to defend their last forest in North Pagai Island, West...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

Tumpukan balok kayu di Pantai Palimo Desa Silabu. Foto oleh Rus/Mentawaikita.com. Indonesia, 2022.

SILABU—Kehadiran perusahaan kayu di Mentawai kerap kali mengundang konflik antar masyarakat bahkan sesama klan atau ulayat karena kepemilikan tanah yang umumnya komunal. Tak jarang dalam satu klan bisa muncul pertikaian bahkan permusuhan.

Konflik inilah yang sekarang sedang dialami Rita Warti (53), seorang guru yang tinggal di Sikakap. Kini dia harus berselisih dengan adik kandung dan saudara sepupunya karena tak sepakat mengizinkan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai menebang kayu di hutan milik klannya di Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai.

Rita sejak awal menolak tanahnya dikelola Koperasi yang mendapatkan izin membuka kebun tanaman minyak atsiri seluas 1.500 hektar di Silabu.  Untuk membuka kebun, Koperasi mendapatkan izin pemanfaatan kayu non kehutanan dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat pada 2021. Pohon-pohon ditebang dan kayunya dijual keluar Mentawai. Masyarakat pemilik kayu hanya mendapat penggantian Rp25 ribu per kubik.

“Saat ini di Mentawai sudah minim kayu, sementara kita hidup harus memikirkan berkelanjutan, saya berharap kayu ini akan diolah anak cucu kita untuk rumahnya dan bisa dijual, bisa untuk sekolahkan anak-anak kita, mereka punya ilmu bagaimana mereka olah kayu nantinya,” kata Rita membeberkan alasannya menolak kepada Mentawaikita.com, Kamis (10/3/2022)

Rita merasa kayu-kayu itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan papan keluarga misal material membangun rumah, sampan, perabot bahkan peti mati. Selain itu dia juga khawatir pembukaan hutan akan berdampak buruk pada lingkungan sekitar Silabu seperti banjir atau ketersediaan air bersih.


Warga yang menolak PKKNK memasang palang di lokasi Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Foto oleh Meyer Rubeyan. Indonesia, 2022.

Di awal Koperasi melakukan sosialisi di Silabu pada 2019, Rita dan adiknya Viktor Luan menolak menyerahkan lahan namun belakangan adik kandungnya diam-diam menyetujui koperasi tersebut bersama saudara sepupunya, Surya Darma Sakerebau (60). Bahkan satu unit motor bebek diperoleh Surya Darma dari koperasi.

“Sebenarnya ada dua motor, satu itu untuk saudara Surya Darma satu untuk saya, itu sebagai ganti kebun kelapa saya di Polimo mau digusur untuk jalan menuju logpond (dermaga), tapi karena saya tolak dan tidak mau kelapa saya digusur makanya motor diberikan kepada saudara saya yang lain,” katanya.

Rita masih ingat pada 27 Juli 2019, bersama adiknya Rina Rista dan Viktor Luan ke Tak Irik, Silabu melihat kondisi tanah mereka yang akan dijadikan kebun perusahaan. Saat itu banyak kayu-kayu yang sudah diberi label oleh tim survei Koperasi, bahkan menurutnya kayu-kayu kecil yang tidak layak diproduksi juga dilabel.

Saat berada di lokasi, Rita didatangi Surya Darma. Mereka sempat beradu argumen soal penyerahan lahan ke Koperasi. Sehari setelahnya, Rita mendapat panggilan dari keponakannya untuk ikut rapat Koperasi. “Selama rapat sosialisasi yang didapat hanya kejengkelan saja karena banyak janji dan selama rapat bertolak belakang dengan pemikiran saya,” katanya.

Menurut Rita, mengutip pernyataan pihak Koperasi, anggota koperasi yang tidak memiliki tanah di lokasi izin perkebunan akan mendapatkan sumbangan lahan dari anggota yang memiliki tanah. Pembagian akan dilakukan setelah proses land clearing atau penebangan kayu selesai.  “Selama rapat memang seperti promo dengan iming-iming untuk kesejahteraan,” ujarnya.

 “Bahkan abang saya sendiri Surya Darma marah karena dia tidak puas apa yang saya katakan, namun dilerai bapak-bapak lain yang ikut rapat. Kemudian ketika saya sambung pembicaraan saya, datang lagi Surya Darma, dia tidak mau saya bicara saat rapat,” katanya.

Surya Darma Sakerebau (60), membenarkan telah menerima sepeda motor dari Koperasi. “Ada dua sepeda motor diterima saat ini, sama abang saya Sarmen di Tuapeijat, sebenarnya itu buat Bu Rita, karena menolak akhirnya satu unit diberikan kepada abang saya,” ujarnya.

Pemberian kendaraan tersebut lantaran kebun kelapanya akan ditebang sebanyak 16 batang untuk jalan logpond kalau sudah beroperasi perusahaan. “Karena tidak setuju adik kita, maka kita serahkan motor itu sama abang kita, sebab jalur dialihkan ke kebun abang tidak lagi lewat kebun adik kita,” ujarnya.

Surya Darma mengaku meski sudah menjadi anggota koperasi, bahkan termasuk salah satu pendiri namun sebenarnya tak ada penyerahan lahan ke koperasi, yang ada itu lahan dikelola koperasi. “Dulu kita memang menyerahkan KTP tapi bukan untuk persetujuan penyerahan lahan, (KTP) itu hanya untuk kebutuhan administrasi anggota koperasi. Kalau koperasi rencananya akan memberikan modal untuk membangun kebun tanaman atsiri namun tidak tahu jumlahnya,” katanya.

Menurut dia, luas tanah sukunya ada sekira 50 hektar, bekas garapan perusahaan kayu juga tempo dulu. 


Lokasi sengketa antara Estranus dan Meyer. Foto oleh Rus/Mentawaikita.com. Indonesia, 2022.

Konflik juga dialami Meyer Rumbeyan (26), warga Desa Silabu yang bertikai dengan bajaknya (paman) gara-gara tidak sepakat soal pemberian izin penggunaan lahan untuk areal perkebunan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai.

Meyer menolak tanah milik kaumnya dikelola Koperasi apalagi di atasnya ada pohon-pohon  besar, sementara Estranus Siritoitet yang merupakan kakak dari bapak Meyer menyetujui penebangan kayu di lahan mereka.

Meyer mengaku menolak karena tak setuju hutan milik kaumnya ditebang dan diambil kayunya. Apalagi koperasi menghargai kayu dengan harga sangat murah. “Harga kayu koperasi tidak sesuai dengan diharapkan pihak kaum, kami tidak mau lahan kami harga kayu dipakai satu kubik Rp35 ribu per kubik dikasih kepemilikan kayu dan itu pun tidak begitu, malah hanya diterima bersih Rp25 ribu per kubik kayu, Rp10 ribu itu dipakai untuk fasilitas umum, seperti perbaikan gereja,” katanya kepada Mentawaikita.com, Rabu (9/3/2022).

Meyer yang lantang menolak sejak awal Koperasi masuk bahkan sempat memasang palang di hutan milik kaumnya agar tidak dimasuki koperasi, namun ternyata dia mendapati pohon sudah ditebang dan palang sudah dibuka.

Setelah ditelusuri Meyer, ternyata alat berat Koperasi berani masuk ke areal tanah mereka dengan seizin pamannya. Padahal menurut Meyer, keluarganya tak setuju. “Kalau keluarga kami kan tidak mau karena sibajak yang dituakan. Kami sempat usulkan supaya ada pertemuan tapi karena sibajak, sehingga kami tidak bertemu,” ujarnya.

Selain tak sepakat soal harga kayu yang dibeli Koperasi, Meyer lebih ingin kayu di hutan sukunya dimanfaatkan untuk kepentingan memenuhi sandang dan papan keluarga, misal material membuat rumah atau perabot maupun untuk sampan. “Kami tidak mau mencari kayu yang jauh makanya kami ngotot supaya lahan ini jangan ada penumbangan (kayu) lagi,” ujarnya.

Sebenarnya menurut Meyer, banyak juga warga yang tak mau menyerahkan lahannya ke koperasi namun karena diiming-iming dapat pekerjaan dan motor, akhirnya banyak yang bersedia. “Kami dari generasi muda tidak mau dibodohi, ada pelanggaran yang mereka (koperasi) lakukan, dikasih harga per kubik murah, itu pun mereka menebang tanpa sepengetahuan kami,” ujarnya.

Lokasi yang dibabat perusahaan itu, kata Meyer, tempat menanam cengkeh dan jengkol sebagai tanaman ekonomis yang menghasilkan. 

Sementara Estranus Siritoitet (66), paman Meyer yang tinggal di Dusun Maguirik, Desa Silabu mengaku kesal keponakannya menolak Koperasi. “Ekeu lepoi sikebbukat kawan ruruk akek kai saamam sangamberimai, lulut ekeu lepoi ukkuimai (Karena kamu yang dituakan ayolah kamu kumpulkan kami semua, karena kamulah bapak kami),” gerutu Estranus.

Estranus menambahkan, jika Meyer dan keluarganya masih tak setuju, maka lahannya dibagi saja. Sementara di lahan yang berkonflik tersebut sudah banyak balok-balok kayu yang ditumpuk, kemudian bagian ujung balok tersebut dicat warna putuh dengan huruf ES singkatan Estranus. “Di lokasi ini sudah tidak tahu lagi berapa batang yang sudah ditebang,” ujarnya.

Estranus mengklaim untuk level Meyer tidak perlu didengarkan karena dia masih anak-anak, kesepakatan untuk menebang kayu di lokasi mereka itu adalah kesepakatan bersama dengan ayah Mayer. “Jadi kalau anak-anak tidak ada artinya karena statusnya masih anak-anak. Karena kesepakatan kami dengan berdua dengan adik saya,” ujarnya.

Sejauh ini, Estranus mengaku sudah menerima Rp10 juta dari Koperasi. Uang itu pinjaman, yang diajukan pada 2021 sebesar Rp300 juta, namun hanya cair Rp10 juta pada Januari lalu.

“Jadi uang Rp10 juta itu kami bagi dua, saya Rp5 juta dan adik saya Rp5 juta. Kalau sama keluarga Meyer kami tidak tahu, mereka bilang belum dibagi, kalau sama kami setelah dibagi-bagi dapat Rp300 ribu,” katanya.

Sampai saat ini Estranus dengan keluarga Meyer yang tinggal di Silabu jarang berkomunikasi karena lahan yang digarap koperasi tidak kesepakatan bersama. “Saya pernah tanya bapak Meyer, dia hanya diam saja tidak ada jawaban, kami tidak tahu, anak-anaknya yang menolak sehingga kami seperti diam saja. Sampai ada pikiran saya kalau seperti ini kita bagi saja lahan ini biarlah kami yang setuju menebang kayu, kalau yang tidak setuju itu ada lahannya yang belum ditebang,” kata Estranus.

Hal yang sama dialami oleh Waris Sakerebau (53), salah satu pemilik lahan di dekat Pantai Polimo yang bersempadan dengan lahan dengan Estranus. Sampai 9 Maret 2022 memang belum ada penebangan di lahannya namun Pantai Polimo dijadikan sebagai dermaga logpond tidak ada pemberitahuan kepadanya.

“Kayu di lahan saya tidak ditebang, lahan saya di Polimo, sempadan dengan di Mangaungau, itu milik kaum belum setuju, kaum kami banyak keturunan nenek moyang Pomanyang termasuk logpond tidak ada mereka minta izin, saya sendiri tidak tahu. Karang juga sudah diambil tempat kami memancing, rencana koperasi di samping pantai itu mau di dam tapi tidak jadi,” ujarnya.

Waris mengakui pernah ikut rapat sosialisasi sekira tahun 2018 dan 2019 namun tahunnya persisnya sudah lupa dia. Sosialisasi koperasi tersebut dilakukan di kantor Koperasi di Sibabai, Desa Sikakap, namun setelah itu Waris tidak mengikuti lagi sosialisasi selanjutnya.

“Awalnya kami dipanggil rapat mau mendirikan koperasi, awalnya kami setuju dan telah membuat lubang tanam untuk serai di belakang rumah, ada 1.000 lubang disiapkan dan bibitnya dijanjikan akan diberikan Koperasi, namun setelah lubang digali ternyata bibit serai itu tak ada datang sampai sekarang, tahu-tahunya sudah jadi izin menebang pohon,” ujarnya.

Waris mengakui ada anggota sukunya yang setuju menyerahkan kayu ke Koperasi tanpa pembicaraan, namun sebagian lagi tidak menyetujui. “Kami setuju soal misi koperasi awalnya dengan cara membuat kebun atsiri di ladang warga, tapi setelah kami ketahui rencana berubah (menebang kayu) tentu kami menolak,” katanya.

Waris tegas menolak karena kayu-kayu di lahannya untuk masa depan anak-anaknya. “Kalau kami habiskan kayu ini dimana lagi kami cari kayu untuk rumah, sampan kami untuk melaut,” ujarnya.

Sementara Ketua Koperasi Minyak Atsiri Mentawai, Edison Saleleubaja tak menampik ada masyarakat yang menolak lahannya dikelola, namun dia mengaku sudah memiliki jalan keluar. “Kita keluarkan saja mereka dari keanggotaan koperasi dan lahannya juga tidak akan digarap,” kata Edison saat ditemui di kediamannya di Sikakap, Jumat (11/02/2022).

Edison yakin, kebun tanaman minyak atsiri ini dapat menyejahterakan masyarakat Silabu, yang kebanyakan hidup dalam kemiskinan. ”Makanya saya katakan orang Mentawai akan berhasil walaupun sulit berpisah dengan kemalasan, ada obatnya. Kalau rajin semua orang Mentawai mungkin nggak ada yang miskin, semua punya kebun kan,” ungkapnya.

Kebun itu, jelas Edison, akan ditanam lima macam tanaman minyak atsiri. Tak hanya serai wangi saja namun juga ada kayu-kayuan dari Papua dan Srilanka. “Untuk mengantisipasi jika harga satu komoditas turun maka masih ada jenis lain yang bisa dijual,” katanya.

Namun untuk membuat kebun itu, Koperasi tak punya modal. Edison butuh Rp34 miliar dan uang itu diambil dari hasil penjualan kayu-kayu yang ditebang di lahan masyarakat yang masuk wilayah kelola Koperasi. “Itu saja juga masih belum cukup,” katanya.

Karena itu menurutnya, meski hasil penjualan kayu ke perusahaan Rp135 ribu per kubik, namun yang diserahkan ke masyarakat pemilik kayu hanya Rp25 ribu per kubik, sisanya Rp100 ribu diambil Koperasi untuk modal kebun dan Rp10.000 untuk membangun fasilitas umum.

Sebelum mendapatkan izin penebangan kayu dari Dinas Kehutanan Sumbar, Koperasi telah mendapatkan Izin Lingkungan untuk perkebunan tanaman minyak atsiri seluas 1.500 hektar dari Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet pada 24 Juli 2019. 

Dia juga membantah Koperasi akan mencaplok tanah masyarakat. Koperasi hanya menggarap tanah masyarakat namun ke depan tanah-tanah tersebut akan disertifikatkan atas nama pemiliknya. “Agar pemilik sertifikatnya nanti bisa menggadaikan ke bank,” katanya.

Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center

RELATED CONTENT