WHERE WE REPORT


Story Publication logo December 5, 2023

The Face of Social Forestry in Aceh

Country:

Author:
A man dressed in camouflage.
English

Social forestry is a hope for forest sustainability.

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

MPU Uteun Damaran Baru. Image by Fendra Tryshanie. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Harian Aceh, follows.


In Indonesia's Aceh, various communities are tackling forest conservation and economic challenges.

Nisdalina and Efendi shift from coffee farming to beekeeping for extra income, but face losses due to sun bear attacks. Discovering their garden is part of a protected area offers hope.

Sumini mobilizes her village to protect forests, forming a management agency that prevents floods and preserves biodiversity. In Gampong Pudeng, the Tuah Sejati Forest Farmers Group struggles with processing and marketing non-timber products like durian and rattan.

Social forestry initiatives face many obstacles, including inadequate government support, economic hurdles, and community-led forest management's potential for both conservation and livelihoods.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Wajah Perhutanan Sosial di Aceh


NISDALINA cekatan membantu suaminya Efendi, menyiapkan alat pelindung diri(APD) untuk melindungi kepala hingga pinggang, tersisa bagian wajah saja yang ditutupi jaring-jaring hitam agar tak disengat lebah. Ia kemudian mengambil beberapa ranting kayu untuk mengasapi lebah supaya dia dan suami tak disengat, “Sarung tangan harus kita pake juga ni dek, nanti bisa nyengat dia,” ujar Nisdalina sembari mengenakan APD-nya itu.

Ia kemudian berjalan menuju halaman belakang, melewati sepetak kebun markisa, kebun cabe, bawang daun, dan sederet pohon kopi serta jambu biji yang memenuhi kebun belakang rumah seluas 25 x 25 meter itu. Tepat di ujung kebun itu berdiri kayu setinggi 1,5meter dengan kayu berbentuk kubus berada di puncaknya, setup tempat lebah menghasilkan madu.

Saat itu akhir Agustus, setup yang ditujunya belum memasuki waktu panen, namun dua bilah kayu dari dalam setup milik Nisdalina dan Efendi terisi penuh, warna putih sarang lebah sudah dipenuhi kuning madu. Nisdalina mempersilakan Tim HARIANACEH.co.id mencicipi madu yang baru saja dipanennya itu, rasanya manis asam markisa, warna dan aromanya pun persis buah itu. Nisdalina menampungnya dalam toples plastik ukuran sedang, membawanya masuk ke dalam rumah berukuran 4×6 berlantai tanah. Lalu sarang lebah itu ia tiriskan di atas sebuah saringan santan ukuran besar. Semuanya masih dikerjakan manual.

Nisdalina bercerita kepada tim HARIANACEH.co.id, sejak beberapa tahun lalu aktivitas seperti itu menjadi rutinitas Nisdalina dan suaminya, Efendi. Keduanya adalah warga Desa Bale Redelong, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Sebelum memutuskan beternak lebah madu, mereka- yang seperti sebagian besar masyarakat Bale Redelong lainnya menggantungkan hidup dan ekonomi keluarga pada hasil kebun kopi. Kebun kopi milik pasangan suami istri itu berada di wilayah air terjun Puteri Pintu, berjarak 15 menit dari rumah menggunakan sepeda motor.

2006 lalu kebun seluas satu hektar itu dibelinya seharga 4 juta rupiah dari warga lain yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Nisdalina tahu tawaran harga tersebut terbilang murah, itu lah mengapa ia dan suaminya memutuskan untuk membeli, dan tentu saja karena pemilik sebelumnya memiliki surat lengkap.

Saban hari sejak kebun itu dibeli -kecuali ada hajatan yang harus dihadiri- Nisdalina dan suaminya tidak pernah absen ke kebun kopi. Saat itu kedua anaknya masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar dan taman kanak-kanak sehingga hasil dari kebun kopi saja masih cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Tidak ada masalah berarti meski kopi hanya bisa dipanen setahun sekali dengan periode panen selama 3 bulan dan berjarak 3 bulan lagi di masa transisi untuk masa panen di bulan-bulan awal tahun berikutnya.

Seiring berjalan waktu, kedua anaknya naik tingkat ke pendidikan yang lebih tinggi, salah satunya bersekolah di pesantren.

“Pesantren itu kan pengeluarannya sama pun kayak orang kuliah, malah bisa lebih,” ujarnya. Hasil kebun kopi mulai terasa kurang, saat keuangan keluarga putus mereka sesekali meminjam ke tauke kopi, “Nanti kalau udah panen kopi dan udah ada uangnya kita kembalikan, pinjam ke toke enggak ada tambahannya,” ujar Nisdalina.

Kepada tim HARIANACEH.co.id Nisdalina mengaku, hari-hari itu ia dan suaminya berpikir untuk mencari penghasilan tambahan lain sebab kebutuhan rumah tangga mereka semakin meningkat.

Keduanya mencoba peruntungan dengan beternak ikan. Dibuatlah kolam ikan di halaman belakang rumah, namun tak berakhir baik.

“Malamnya ada yang ngambil. Jadi kaya ikan bersama, siapa aja bisa ambil, hahahah,” ujar Nisdalina mengenang suatu pagi sialnya saat menyaksikan ikan-ikan di kolam sudah raib.

Dari adiknya yang beternak lebah ia mendengar bahwa hasil panen madu bisa diharapkan untuk menopang ekonomi keluarga sambil menunggu masa panen kopi tiba. Plus, perawatannya tak repot.

Jadilah Efendi sang suami membuat belasan setup madu. Mereka letakkan setup-setup itu di kebun kopi. Efendi terus memperbanyak setupnya hingga puluhan. Pun mereka tidak kesulitan jika hanya membuat setup saja, tidak perlu menyediakan pakan atau melakukan pemeliharaan esktra.

“Lebah-lebah itu enggak perlu kita rawat, bisa pun cari makan sendiri,” ujar Nisdalina.

Perlahan mereka mulai bisa menikmati panen madu dari setup yang dibuat. Masa panen yang berbeda-beda menguntungkan nisdalina dan suaminya, jika beberapa setup sudah penuh mereka langsung menjualnya. Setiap setup menghasilkan jumlah madu yang berbeda, ada yang 1/4kg, 1kg, kadang juga 2kg. Pernah sekali waktu ia mengirim 23 botol madu ke Banda Aceh, saat itu Nisdalina masih menjualnya dalam botol bekas sirup pohon pinang ukuran 520ml. Per botol diberi harga 150 ribu. Di masa panen itu lah biaya sekolah per bulan kedua anaknya bisa terpenuhi.

Namun bulan-bulan madu itu kemudian berubah. Kebun mereka yang terletak di dalam hutan, menyediakan puluhan setup madu penuh isi ternyata menggiurkan bagi satwa bernama serupa, beruang madu. Serangan beruang madu di malam hari awal 2015 silam menyisakan hanya 15 setup dari total lima puluh setup yang dipasang. Mereka terpaksa gali-tutup lobang lagi sebab harus memperbaiki setup-setup yang rusak.

“Terpaksa ngutang lagi sama toke-toke kopi tu, nanti kalau udah panen bayar,” kenangnya sambil tertawa.

Karena serangan beruang itu juga mereka memindahkan beberapa setup ke kebun belakang rumah. Niatnya supaya tidak dirusak beruang lagi. Namun dari pintu dapurnya pun gunung yang terletak di belakang rumah sebenarnya terlihat. Lagi-lagi beruang turun merusak setup milik mereka.

Untuk menangkal serangan beruang, Nisdalina, suaminya dan beberapa warga lain yang memiliki setup madu masih belum menemukan solusi.

Tahun 2018, Desa Balee Redelong mendapat izin mengelola hutan dari surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan no. SK. 8802/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2018 dengan skema hutan desa. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bale Redelong mendapatkan hak kelola hutan desa seluas 823 hektar.

Tahun itu juga Nisdalina baru tahu bahwa kebun yang dibelinya tujuh belas tahun lalu itu sebagiannya masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Sementara sebagian lainnya adalah kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Nisdalina khawatir mengingat kebun kopinya itu sewaktu-waktu diambil negara.

Sebagai desa yang telah memiliki izin mengelola hutan untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakatnya, masyarakat Balee Redelong yang bergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) mendapat bimbingan dari lembaga non-pemerintah. Mereka awalnya didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh kemudian berganti didampingi oleh World Resources Institute (WRI).

“Ibu baru paham saat ada pertemuan dengan pendamping, ternyata kebun itu masih tetap bisa dikelola. Walaupun ya ada syaratnya, harus dijaga,” ia tidak keberatan dengan itu.

Baru lah ia mengerti kalau kebunnya yang terletak di hutan tersebut, meski tidak sepenuhnya ia miliki namun sudah mengantongi izin untuk dikelola masyarakat hingga 35 tahun kemudian. Dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan lembaga pendamping, para pemilik kebun diingatkan kembali untuk menanam pohon alpukat dan lamtoro supaya fungsi hutannya tetap terjaga.

Ia berharap kebunnya itu tetap bisa digarap anak cucunya kelak. Perkara izin mengelola ia mengaku tidak paham betul, hanya saja dia kini tahu kebunnya tidak bisa diperjualbelikan lagi.

“Orang di kantor desa bilang, boleh dipakai tapi jangan melanggar aturan, jangan dijual. Atau izinnya nanti dicabut,” ujarnya.

Pun ia dan keluarga bergantung hidup dari hasil kebun mereka yang letakknya di hutan itu.

“Lebah pun kan lebih mudah hidupnya di hutan, makananannya banyak di sana,” tukasnya.

Namun perkara konflik peternak lebah dengan beruang madu, masyarakat masih belum menemukan jalan keluar.

Nisdalina ingat bulan Mei lalu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengirim tim ke Balee Redelong untuk memasang kandang jerat beruang madu. Usai pemantauan selama lima hari hasilnya nihil, tak ada satu beruang pun masuk kandang.

Peran Masyarakat, Jauh Sebelum Negara

Hari itu hari ke sekian kalinya di tahun 2009 Sumini membiarkan Suaminya, Sujito mencuci bajunya sendiri. “Bapak cuci sendiri ya baju yang dari gunung,” ujarnya ketus sebab sudah hapal betul setiap suaminya itu turun dari gunung tak ada satu barang pun yang bisa diuangkan.

Sumini seorang ibu rumah tangga di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Salah satu desa yang terletak di kaki bunung berapi aktif Burni Telong selain Desa Kenine, Fajar Harapan dan Rembune.

Dulunya Sujito sehari-hari bekerja sebagai tukang bengkel. Namun ketimbang aktivitas perbengkelannya, Sujito justru lebih sering naik gunung.

Dalam kepala Sumini pastilah orang yang pergi ke gunung akan membawa sesuatu entah itu kayu atau hasil hutan lain yang bisa dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun yang dilakukan suaminya malah bertolak belakang; membawa beras, gula, atau bumbu-bumbu dapur ke gunung.

“Waktu itu yang ada beras di rumah pun habis dibawa bapak ke gunung,” kenangnya tertawa mengingat betapa ia kesal sekali dengan kebiasaan suaminya.

Karena takut semakin bergejolak, Sujito perlahan membujuk Sumini untuk ikut bersamanya naik ke gunung. Nihil, Sumini menolak. Tak patah arang, rayuan itu terus disuntikkan.

Sumini diiming-imingi cerita aneka jenis hewan yang hidup harmonis di hutan Damaran, dan yang paling penting ada berbagai jenis bunga yang nantinya bisa ia jual.

“Ada banyak anggrek buk di sana, nanti bisa ibu jual. Dan ada potensi wisata di sana, nanti bisa ngajak anak-anak mahasiswa” ujarnya menirukan kembali bujukan suaminya agar ia bersedia naik gunung.

Tentu saja perihal menjual anggrek itu hanya sebatas rayuan di balik misi Sujito agar istrinya itu melihat langsung kondisi hutan Damaran dan mau sejalan dengan aksi yang belakangan ia kerjakan: menulusuri hutan dan memastikan tapal batas wilayah hutan yang tidak boleh ditebang dan dijadikan perkebunan. Namun perihal potensi wisata ia tampaknya serius. Bertahun-tahun setelah pembicaraan itu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Aceh; Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, Universitas Islam Negeri Ar-raniry, Al-Muslim, dan Universitas Teuku Umar silih berganti datang, untuk wisata atau penelitian.

Sumini tentu saja tergiur dengan rayuan suaminya “Waktu itu ibu pikir ya enak lah, bunga anggreknya bisa dijual, hahahhah,” ujarnya bercerita membayangkan waktu itu yang ada dalam kepalanya adalah kalkulasi jumlah uang yang akan didapatnya.

Jadilah suatu hari di tahun 2009 itu Sumini berangkat bersama suami dan teman-teman suaminya ke hutan Damaran. Ternyata yang diceritakan suaminya bukan bualan belaka. Benar banyak sekali anggrek berbagai jenis dan warna, benar pula perihal aneka jenis hewan yang hidup di dalam hutan Damaran “begitu sampai di sana enggak ada satu pun hewan yang menyerang, ibu melihat gimana hewan-hewan itu menerima kedatangan kami,” kenangnya.

Hari itu kali pertamanya naik gunung dan masuk hutan, ia menyaksikan lebih dari yang diceritakan sang suami: savana hijau yang luas, pepohonan rimbun, air terjun panas yang tentu saja menggembirakan di tengah dinginnnya udara Bener Meriah, dan tentu saja pohon-pohon tumbang pasca ditebang dan titik-titik hutan lainnya yang dijadikan kebun tanpa pohon kayu.

Alih-alih teringat dengan anggrek yang bisa dijual, sepulangnya dari gunung pikirannya justru dipenuhi dengan gambaran hutan Damaran yang indah dan lahan-lahan terbuka penuh kayu tumbang itu. “Makanya sering longsor dan banjir di kampung,” tuturnya menyimpulkan.

Ia akhirnya mengajak ibu-ibu di Desa Damaran ikut naik ke gunung melakukan patroli. Bersama rombongan suaminya, Sumini dan beberapa perempuan yang ikut menandai titik-titik yang rusak dan mencari dalangnya. Juga membuat jalur menuju puncak gunung Damaran, jalur ke air panas, jalur menuju anggrek, dan jalur menuju wilayah hutan yang sedang dirambah.

2011 saat sedang melakukan patroli dengan teman-temannya, Sumini mendapati wilayah hutan yang sedang digunduli ternyata dilakukan oleh tetangganya sendiri. Si tetangga memperistri perempuan asal Tapaktuan, Aceh Selatan dan dari sanalah dia membawa pulang gergaji mesin.

Suatu sore di tahun 2011 itu, saat si tetangga sedang menyeruput kopi sore Sumini datang dan memberitahu untuk tidak menebang pohon “Itu kawasan hutan lindung, makanya lah kita di Damaran ini banjir, bang,” dari suaminya ia tahu bahwa hutan yang ditebang masuk dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Ucapan Sumini itu tak digubris. Hari berikutnya Sumini datang lagi, kali ini bersama Sujito, membawa serta ponsel jadul miliknya. Si tetangga ia tanyai biodata diri, ia mintai KTP.

“Untuk apa ini bang?” tanya si tetangga.

“Enggak apa-apa, untuk data,” kata Sujito, di sampingnya Sumini sedang mencatat di ponsel jadul.

Entah karena sulitnya mencari informasi benar tidaknya pengumpulan data itu, aktivitas tebang kayu si tetangga dan istrinya berhenti. Mereka kembali ke Tapaktuan.

Dari patroli yang dilakukan mereka juga menemui hutan yang berubah menjadi kebun kopi. Pohon-pohon seperti pinus, gesing dan grupel ditebang.

“Memang mereka ganti dengan pohon pete atau lamtoro, cuma kan pohon yang ditebang itu pohon-pohon lama, mungkin kita engak bisa menemukan jenis pohon yang sama lagi,” ujar Sumini menyesalkan penebangan pohon untuk dijadikan kebun, terlebih pohon grupel hanya tumbuh di dataran tinggi Gayo; Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Terkadang mereka kesulitan mencegah pembalakan liar di kaki-kaki gunung Burni Telong itu. Sering kali si penebang membantah dengan alasan mereka tidak memiliki izin patroli, tidak ada hak melarang-larang, atau hutan yang ditebang bahkan bukan dalam wilayah Damaran.

Sumini tidak berhenti mengajak ibu-ibu lain bergabung melakukan patroli dan mencegah penebangan di hutan. Beberapa ibu-ibu yang berhasil diajak menganggap yang disampaikan Sumini masuk akal sebab banjir tahunan selalu menyapa desa mereka.

Sungai yang mengaliri desa mereka sudah sejak lama bergelar weh gile (air gila). Menyandang gelar gila sebab seringkali secara tiba-tiba menerabas desa dengan debit air yang sangat besar. Memboyong serta batu besar dan kayu-kayu gelondongan hasil penebangan di hutan sana. Batu-batu itu hingga kini masih terlihat di kebun warga, termasuk di tengah kolam di lahan budidaya madu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Damaran Baru. Terparah tahun 2015, delapan belas rumah warga Damaran hanyut disapu banjir bandang. Kebun-kebun kopi yang berada tak jauh dari sungai berganti bebatuan besar dan tanah.

“Dari sini sampai sana habis dibawa air,” ujar Sumini menunjuk kebun kopi berjarak sekitar 20 meter dari bibir sungai, Sabtu pagi di bulan Agustus saat tim HARIANACEH.co.id bersama Sumini berjalan menelusuri pinggiran hutan Damaran. Luas kebun yang dibawa air itu sendiri sekitar 10 meter.

Beruntung awal 2019 Sumini yang saat itu tengah mengikuti seminar di Bener Meriah bertemu dengan Rubama, aktivis lingkungan yang setelah mendengar cerita Sumini menawari bantuan untuk mengurus perizinan kelompok penjaga hutan di Damaran melalui perhutanan sosial dengan skema hutan desa.

November 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat izin pengelolaan hutan kepada Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran. Sebelumnya sejak tahun 2010, mereka- laki-laki dan perempuan bergerak melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Burni Telong inisiasi Sujito yang saat itu menjabat Kepala Desa Damaran. Pasca banjir bandang 2015, kaum perempuan semakin banyak bergabung dan dilibatkan dalam pengelolaan hutan. KLHK memberi izin seluas 251 hektar dalam pengelolaan LPHK Damaran. Sumini sejak surat izin itu keluar menjadi ketua LPHK Damaran Baru.

Kata Sumini tidak ada batasan apa pun jika ada perempuan yang ingin ikut patroli bersama, cukup dengan izin suami-keluarga dan kondisi tubuh yang sehat. Mpu uteun ‘penjaga hutan’- begitu sebutan untuk kaum perempuan penjaga hutan- dibagi dalam dua tim setiap patrolinya, mereka akan menyusuri hutan selama 10 hari bersama lima laki-laki, per tim berisi delapan orang.

Berbagai jenis benih dan biji-bijian seperti jambu biji, nangka, dan sirsak mereka bawa saat patroli, ditanami untuk pakan hewan di hutan. Alhasil setup madu miliki warga yang meskipun diletakkan jauh dari rumah tak pernah dirusak beruang madu. Tak pernah lagi juga desa mereka dilanda banjir. Anak-anak pun sudah diperbolehkan orang tuanya untuk memancing di sungai wih gile.

Kebun kopi di sepanjang bantaran sungai wih gile mulai terisi kembali.

“Yang itu kira-kira umurnya lima tahun,” ujar Sumini menunjuk kebun kopi berjarak 10meter dari sungai wih gile.

Beragam penghargaan diterimanya baik secara individu atau kelompok; piagam pengargaan Menteri LHK kategori ekowisata terpopuler (2020), merdeka award kategori sosok inspiratif untuk Indonesia (2021), award perempuan leuser (2022), lotus leadership award (2023), dan penghargaan Kalpataru KLHK kategori kelompok penyelamat lingkungan.

Sumini terharu penghargaan justru datang bahkan dari tempat dan nama yang tidak pernah didengarnya. Di daerahnya sendiri pemerintah berwenang terkesan cuek.

“Kita masyarakat ekonomi lemah, ini bukan pekerjaan yang mudah, bagian dari mitigasi. Tapi itu pun tidak mau mereka bantu. Kalau sudah datang bencana baru sibuk,” Sumini berucap sambil memandangi piagam kalpataru berbentuk pohon beringin di depannya.

Sumini masih memiliki tiga anak yang bersekolah, dua lainnya sudah berumahtangga. Subuh selepas salat dan mandi Sumini berjalan menuju rumah produksi tempe yang letaknya 100 meter dari rumahnya. Pagi itu hanya ada dua perempuan yang membersamai Sumini membungkus tempe, jumlah per orangnya sudah mereka tentukan dan sepakati.

“Menjaga hutan juga, mencari penghasilan pun perlu. Selain uang dari bapak, ibu pun kan harus ada tambahan juga,” ucapnya menyelesaikan bungkusan terakhir. Matahari belum tampak, Sumini kembali ke rumahnya. Hari itu usai menyelesaikan semua pekerjaan rumah Sumini bersama timnya akan berpatroli ke hutan.

Masih Mencari Solusi Ekologi dan Ekonomi

Puluhan ibu rumah tangga sibuk merangkai batang rotan, menyambung batang demi batang menjadi piring rotan, tudung saji dan keranjang buah. Di depan bangunan tempat mereka berkumpul tertulis “sekretariat HKM”.

Bangunan itu sekretariat milik Kelompok Tani Hutan (KTH) Tuah Sejati, Gampong Pudeng, Lhoong, Aceh Besar- salah satu desa yang berada dalam kawasan Hutan Ulu Masen. Di dalamnya dua puluh ibu rumah tangga sedang mengikuti pelatihan membuat rotan, Sabtu (30/09/2023). Akhir pekan September itu adalah hari ke-enam dari rangkaian sepuluh hari pelatihan mengolah rotan. Mereka difasilitasi oleh lembaga pendamping dari lembaga non pemerintah, World Resources Institute (WRI).

Tahun 2018 KTH Tuah Sejati mendapat izin mengelola hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KTH Gampong Pudeng memiliki izin mengelola hutan seluas 1.713,08 Ha. Melihat potensi hasil hutan yang dimiliki hutan Pudeng masyarakat membentuk kelompok usaha yang salah satunya berfokus pada hasil hutan bukan kayu seperti durian, petai, jengkol, kopi, dan budidaya lebah madu. Namun keterbatasan masyarakat melakukan perencanaan dan minimnya anggaran membuat mereka vakum pasca izin diberikan.

Geliat kelompok masyarakat yang dipenuhi ibu-ibu rumah tangga baru dimulai tahun ini. Para ibu rumah tangga tersebut bergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Berkah Sejati yang beberapa bulan lalu fokus pada pembuatan halua, makanan olahan yang terbuat dari durian sebagai bahan baku. Di bulan-bulan awal mereka memulai yaitu Mei dan Juni bahan baku halua masih mudah didapat sebab dua bulan itu adalah masa panen durian di Pudeng, bulan-bulan berikutnya durian lebih banyak dipesan dari Medan.

Purnamasari, anggota KUPS Berkah Sejati mengaku mereka pun masih kesulitan dalam pemasaran, sampai sekarang mereka masih mengandalkan penjualan dari tamu yang datang ke Pudeng, “biasanya kalau ada kunjungan orang-orang dinas,” ujarnya sambil menekuk rotan yang hendak dibentuknya menjadi keranjang buah.

Juni lalu para ibu berembuk dengan Adnan- pendamping dari WRI dan menemukan potensi lain dari hutan Pudeng, rotan. Desa yang mereka tinggali berada dekat sekali dengan kawasan hutan, terletak di kaki bukit Glee Bruek. Sayangnya rotan dari hutan Pudeng tidak bisa dikelola masyarakatnya, Adnan bilang itu karena Gampong Pudeng belum memiliki mesin dan ruangan yang bisa dijadikan tempat penyimpanan. Rotan yang dihasilkan dari hutan Pudeng justru dibawa ke Desa Keude Bieng, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, desa yang berjarak sekitar 47 km dari Pudeng.

Akhir September itu 100 kg rotan dibeli oleh WRI dari Keude Bieng, dibawa untuk menjadi bahan latihan agar nantinya rotan yang dimiliki masyarakat Pudeng dapat mereka olah sendiri. Tentu nanti, setelah mereka memiliki mesin untuk membersihkan dan menghaluskan rotan.

Saat ini masyarakat desa Pudeng hanya bisa mengambil rotan dari dalam hutan. Pengambilan rotan juga tergantung pada pemesan. Mereka belum sampai pada tahap mampu mengolah rotan dan meningkatkan harga jualnya.

“Rotan diambil oleh bapak-bapak. Kira-kira jalan ke dalam hutan sejauh 5-6 km,” ujar Hamdani, Ketua HKM Tuah Sejati yang ikut serta memantau pelatihan mengolah rotan.

Adnan mengatakan kendala yang dihadapi masyarakat selain anggaran adalah mereka masih kesulitan menuliskan rencana kerja kelompok. Sementara itu konflik internal dengan anggota HKM juga masih terjadi karena kegitatan belum melibatkan anggota HKM secara keseluruhan.

Setahun belakangan warga mendapat bantuan 12.000 bibit jengkol dan pete dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh. Warga yang merupakan anggota HKM menanami bibit tersebut di lahan pribadi, belum ada yang menanam di dalam kawasan hutan atau di lahan bekas penebangan.

“Masyarakat belum mau jauh menanam ke dalam hutan bekas penebangan liar sana, kata mereka kebun sendiri pun masih kosong dan hanya ada durian, lima tahun belakangan pun buahnya tidak manis” tukas Yusuf Adami, Sekretaris HKM Tuah Sejati.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, salah satu lembaga non-pemerintah yang konsen pada isu perhutanan sosial di Aceh mencatat sebagian besar pengusulan perizinan dan pendampingan perhutanan sosial di Aceh dilakukan dan diinisiasi oleh masyarakat sipil.

Dalam proses penetapan batas wilayah, kelompok pengusul yang dibantu oleh lembaga non-pemerintah bekerjasama dengan pemerintah desa dan pemerintah desa tetangga. Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan batas wilayah kelola hutan masih ditentukan oleh administrasi wilayah desa.

Menurutnya pemerintah daerah belum melihat perhutanan sosial sebagai program strategis untuk meredam penguasan lahan oleh korporasi perusak hutan dan menjadikannya sebagai lahan untuk kepentingan ekonomi masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan. Di Aceh kepemilikan warga terhadap lahan pertanian dalam kawasan hutan disebabkan beberapa faktor. Selain ketiadaan lahan, di beberapa daerah masyarakatnya justru jauh lebih dulu mendiami dan bertani dalam kawasan yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung atau hutan konservasi.

“Pemerintah daerah belum melihat perhutanan sosial sebagai program unggulan yang langsung menyentuh masyarakat di tingkat tapak,” ungkapnya, “Perhutanan sosial sebenarnya memberikan peluang bagi pemrintah dan instatnsi terkait lain selain DLHK untuk bisa mengintervensi program ke dalamnya seperti dinas pertanian, dinas perkebunan, dan dinas peternakan.” Seperti yang dikabarkan pemerintah daerah dan desa mendapat surat dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Desa (Kemendes) agar perhutanan sosial dapat disinergikan dengan dinas-dinas terkait di tingkat provinsi hingga daerah. Pada program pemerintah desa perhutanan sosial dapat bersinergi dengan program level desa seperti Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), Program Keluarga Harapan.

Ahmad Shalihin mengutarakan pengalokasian anggaraan untuk perhutanan sosial harus dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga perhutanan sosial tidak hanya tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang mengharap dana nasional.

“Perhutanan sosial ini mengajak keterlibatan masyarakat di tingkat tapak untuk ikut menjaga lingkungan. Tantangan justru muncul pasca izin, mempertahankan dan memadukan fungsi ekologi dan ekonomi,” ujarnya, “jika hanya anggaran dari nasional itu kecil sekali.”

Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala, Suraiya Kamaruzzaman menilai perhutanan sosial menjadi salah satu solusi perubahan iklim dan memiliki peran kunci dalam konservasi hutan.

“Restorasi hutan dan penanaman kembali pohon berkontribusi penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.

Pemilihan komoditi yang sesuai seperti pohon durian, jengkol dan pala di Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan beberapa wilayah barat Aceh menjadi bukti fungsi ekologi berjalan beriringan dengan fungsi ekonomi tanpa merusak hutan.

Yang harus diperhatikan, menurut Ahmad Shalihin, pemilihan tanaman untuk lahan pertanian harus disesuaikan dengan tujuan awal perhutanan sosial agar tetap memperhatikan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan menjaga fungsi hutannya.

“Otomatis kalau program perhutanan sosial dijalankan sesuai dengan tujuan awal, upaya perbaikan lingkungan akan lebih massif bisa dilakukan karena masyarakat bisa menjadi mata dan telinga terhadap aktivitas illegal. Masyarakat bisa menjadi garda terdepan dalam proses rehabilitasi dan rekoveri lahan. Diversifikasi tanaman juga akan jadi lebih cepat, proses pemulihan kawasan hutan yang rusak yang selama ini dijadikan lahan pertanian harus disesuaikan dengan komoditi yang cocok.”