Yohanes (61) tidak bisa melupakan pengalamannya ketika menyaksikan langsung bendungan Three Gorges di Hubei, Cina pada 2013 silam. Itu pertama kalinya ia pelesir ke luar negeri. Yohanes menghabiskan nyaris seumur hidupnya di Desa Long Peleban, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Ini desa terpencil di tepi Sungai Kayan yang tak punya akses listrik 24 jam dan sinyal seluler.
Sejak 2010, Yohanes mendengar desas-desus soal rencana pembangunan mega proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Kayan. Proyek setrum berkapasitas total 9.000 megawatt ini didanai oleh investor Cina. Menurut rencana akan ada lima bendungan yang dibangun dengan nilai investasi sekitar Rp 320 triliun.
Ketika mendengar rencana itu, Yohanes mengaku gelisah. Desa Long Peleban dan Long Lejuh akan ditenggelamkan untuk dijadikan bendungan. Ada terlalu banyak aspek sejarah berharga di kedua desa itu. Long Peleban sudah dihuni sejak 1920-an oleh masyarakat adat Dayak Kenyah yang bermigrasi dari hulu Sungai Kayan.
Yohanes yang kala itu menjadi Ketua Adat di Long Peleban tidak bisa begitu saja menerima keputusan itu. Namun, PT Kayan Hydro Energi yang menjadi pelaksana proyek PLTA Kayan gigih meyakinkan Yohanes dan warga desa lainnya. Pada 2013, Yohanes dan sejumlah pejabat daerah lainnya diboyong ke Cina. Mereka singgah dari kota ke kota di Cina Daratan sebelum akhirnya menikmati menu utama; bendungan Three Gorges. “Saya sampai tidak bisa berkata-kata. Bendungan itu sangat besar dan megah,” cerita Yohanes, kepada Katadata. Sepulangnya dari Cina, Yohanes mulai melunak. Ia ikut meyakinkan warga Desa Long Peleban agar mau pindah. “Yang penting masyarakat mendapat ganti rugi yang pantas,” katanya.
“Saya sampai tidak bisa berkata-kata. Bendungan itu sangat besar dan megah,” cerita Yohanes, kepada Katadata. Sepulangnya dari Cina, Yohanes mulai melunak. Ia ikut meyakinkan warga Desa Long Peleban agar mau pindah. “Yang penting masyarakat mendapat ganti rugi yang pantas,” katanya.
Sepulangnya dari Cina, Yohanes mulai melunak. Ia ikut meyakinkan warga Desa Long Peleban agar mau pindah. “Yang penting masyarakat mendapat ganti rugi yang pantas,” katanya.
Terhambat Regulasi
Meliuk-liuk bak ular raksasa, Sungai Kayan mengalir sepanjang 476 kilometer membelah hutan hujan Kalimantan. Hulunya ditandai oleh jeram-jeram setinggi rumah di Long Ampung, Malinau Selatan hingga bermuara di Laut Sulawesi. Selama ratusan bahkan ribuan tahun, Sungai Kayan jadi jalur transportasi utama.
Warga desa biasanya menggunakan ketinting, perahu kayu berporos panjang, untuk mengangkut hasil panen atau sekadar mengunjungi wilayah sekitar. Ponton-ponton jumbo yang menggendong gelondongan kayu juga biasa hilir mudik. Sungai Kayan semacam jalan tol alami tempat orang bermigrasi. Membendung Kayan akan menjadi proyek yang luar biasa besar tantangannya.
Guna merealisasikan proyek raksasa itu, PT KHE perlu bolak-balik Jakarta-Kaltara untuk mengurus berbagai perizinan. Khaerony, Direktur PT KHE, mengatakan setidaknya ada 24 izin yang harus diperoleh perusahaan. Pada Februari 2012, Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan izin lokasi seluas 190.600 hektare kepada PT KHE. Izin itu melingkupi sejumlah kawasan hutan produksi terbatas, hutan lindung, dan area penggunaan lain (APL).
Setelah 10 tahun berlalu sejak perusahaan memperoleh izin lokasi, perkembangan proyek PLTA Kayan justru berjalan lambat. Kala Katadata berkunjung ke lokasi proyek pada Januari 2021 silam, aktivitas konstruksi belum nampak terlihat. Hanya ada empat buah gudang kontainer tanpa satupun petugas yang berjaga. Kepala Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bulungan Iwan Sugianta mengkonfirmasi tidak banyak perkembangan konstruksi sejak pandemi Covid-19.
“Sekarang di lokasi proyek ada tambahan plang peringatan saja,” katanya saat dihubungi Katadata, (6/2).
Iwan melanjutkan izin lokasi PT KHE bahkan akan habis pada 20 Februari 2022 ini. Namun hingga saat ini perkembangan konstruksi belum memuaskan. Menurut Iwan, Pemkab berencana mengevaluasi keseriusan PT KHE. Apalagi menurutnya, sejumlah investor baru sudah menyatakan ketertarikannya untuk menggarap proyek ini.
“Kalau izin lokasi habis ya mereka tidak bisa beraktivitas di lokasi,” kata Iwan.
Namun, perusahaan punya pendapat berbeda. Direktur PT KHE, Khaerony, mengklaim izin lokasi yang sudah kedaluwarsa tidak berdampak pada aktivitas perusahaan. Pasalnya, PT KHE sudah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
Masalahnya, PKKPR merupakan produk turunan Undang-Undang no. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dicap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. PKKPR diproyeksikan menjadi pengganti izin lokasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan KKPR merupakan salah satu perizinan dasar yang diamanatkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
"Penyelenggaraan penataan ruang mengacu pada amanat Undang-undang Cipta Kerja, salah satunya terkait peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha," kata Kamarzuki, dalam sosialisasi regulasi ini September 2021 silam.
Meskipun UU Cipta Kerja yang menaungi PP ini sudah dinyatakan inkonstitusional, PT KHE beranggapan perusahaan masih bisa mengacu pada regulasi tersebut.
“Kan masih tetap berlaku,” kata Rony.
Sejumlah pakar hukum yang dihubungi Katadata punya tafsir berbeda atas persoalan ini. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan persoalan itu menunjukkan dampak yang menyertai UU Cipta Kerja yang bermasalah. Ia menyebut dokumen PKKPR yang perusahaan miliki memang tidak terkait dengan putusan MK yang membekukan UU Cipta Kerja.
“Tetapi perusahaan tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan UU yang berlaku sebelum UU Cipta Kerja,” ujar Feri kepada Katadata, (6/2).
Sementara itu, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan putusan MK soal UU Cipta Kerja meninggalkan ranah abu-abu di banyak regulasi. Ia menilai sulit mengatakan apakah perusahaan harus kembali mengacu pada izin lokasi atau tetap bisa menggunakan PKKPR yang menjadi produk turunan UU Cipta Kerja.
Menurutnya, MK juga kurang memberikan penjelasan soal kegiatan berdampak strategis yang perlu ditangguhkan pasca putusan inkonstitusional UU Cipta Kerja.
“Jadi ruang interpretasi masih terbuka lebar, termasuk penerbitan produk-produk izin itu,” katanya saat dihubungi Katadata, (7/2).
Perusahaan Australia Siap Menyalip
Terlepas dari polemik izin lokasi dan PKKPR, perusahaan mengakui perkembangan konstruksi memang berjalan lambat. Sejumlah faktor ditengarai jadi penyebabnya. Mulai dari tantangan geografis, pandemi Covid-19, hingga soal perizinan.
“Kami baru dapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin konstruksi pada November 2021,” kata Khaerony.
Pelaksanaan proyek juga sempat terhenti beberapa bulan akibat pandemi Covid-19. Tahun lalu, PT KHE sejatinya akan melakukan peledakan bebatuan di sekitar lokasi bendungan. Namun, pekerjaan itu tak kunjung terlaksana. Rony mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mengantongi izin pembelian dan penggunaan bahan peledak dari kepolisian.
“Bulan ini kami akan mulai pembukaan jalan menuju gudang peledak sepanjang 4,2 kilometer dan pembuatan jalan ke bendungan sepanjang 7 kilometer,” tambah Khaerony.
Sementara PT KHE terhambat oleh sejumlah faktor, satu perusahaan asing muncul memberikan persaingan. Taipan asal Australia Andrew Forrest, pendiri Fortescue Future Industries Pty Ltd, menemui Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan 4 September 2020. Keduanya lantas menekan nota kesepahaman untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
FFI lantas bergerak cepat ke berbagai daerah, termasuk ke Kaltara. Pada 20 Januari 2021, perwakilan FFI menemui Bupati Bulungan untuk melakukan survei soal potensi energi air di Sungai Kayan.
Kepala Bappeda Bulungan Iwan Sugianta mengatakan dalam pertemuan tersebut FFI menyatakan ketertarikannya untuk membangun PLTA di batang sungai yang sama dengan rencana proyek milik PT KHE.
“Belum ada perizinan apapun yang kami keluarkan, tetapi memang jelas mereka tertarik,” kata Iwan kepada Katadata.
Ini jelas menjadi alarm merah bagi PT KHE yang disokong Cina. Apalagi saat berkunjung ke Kaltara pada Desember silam, Luhut menegaskan siap mencabut izin perusahaan yang tidak serius mengerjakan proyek konstruksi. “Kita cari yang paling cepat, langsung ada duitnya. Jadi jangan omong-omong saja,” kata Luhut.
Menanggapi hal tersebut, PT KHE menegaskan masih serius mengerjakan proyek ini. Menurut Khaerony, hingga 2019 pihaknya sudah menggelontorkan Rp 2 triliun untuk pengembangan proyek dan mengurus perizinan.
“Kami inginnya juga segera jalan karena pengeluaran kami juga besar. Untuk IPPKH saja kalau tidak salah kami bayar sekitar Rp 4 miliar setiap tahun,” kata Rony.
Sementara itu, Rony juga tidak khawatir FFI akan menggusur proyek mereka. Menurutnya, pihaknya sudah punya izin lengkap sehingga tidak mungkin overlapping.
“Kami sampaikan ke orang Australia kalau butuh listriknya kami siap saja untuk mengaliri industrinya,” katanya.
Catatan Redaksi: Liputan ini mendapatkan dukungan dari Southeast Asia Rainforest Journalism Fund yang diinisiasi oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting.