An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Harian Kompas, follows.
In the region of Boti, Indonesia, communities are unbothered by the spike in rice prices. The Indigenous people in Kie District, South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara maintain their food sovereignty by growing and consuming a variety of local foods.
Many stakeholders in the country want to learn from the food system in Boti. The Boti people who live around the sonaf, or king's house, and still practice traditional Halaika beliefs are around 329 people consisting of 76 households.
Como una organización periodística sin fines de lucro, dependemos de su apoyo para financiar el periodismo que cubre temas poco difundidos en todo el mundo. Done cualquier valor hoy y conviértase en un Campeón del Centro Pulitzer recibiendo beneficios exclusivos.
Boti yang Berdaulat Pangan
Kehidupan masyarakat suku Boti memberi pesan bagi Indonesia tentang pentingnya berdaulat pangan.
Tanah kapur dan iklim semi-arid yang kering bukan perintang bagi masyarakat Boti untuk mandiri pangan. Lonjakan harga beras saat ini pun tak mengusik mereka karena masyarakat adat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur itu berdaulat dengan menanam dan mengonsumsi beragam pangan lokal.
Raja (Usif) Boti Nama Benu berjalan menuju ladang di belakang rumahnya, diikuti sejumlah warga pada Minggu (6/8/2023) sore itu. Turut di belakang, rombongan tamu dari program Bekal Pemimpin 3.0 United in Diversity dari Jakarta, yang tengah belajar tentang sistem pangan di Boti.
Di antara mereka terdapat Kepala Bagian (Kabag) Humas Kementerian Pertanian Arief Cahyono, Project Manager Agrosolution PT Pupuk Indonesia M Burmansyah K, Staf Ahli Wakil Menteri ATR/Kepala BPN Mikhail Gorbachev Dom, Program Manager Belantara Foundation Diny Hartiningtias, dan Ficky Martha dari Gtech Digital Asia.
Sekitar 500 meter menuruni bukit, beberapa perempuan dan anak-anak tengah mengambil air di pancuran dengan tabung bambu. Di puncak kemarau itu, saat desa-desa lain di Pulau Timor mulai kekeringan, mata air di Boti masih mengucurkan air jernih. ”Kami tidak pernah kekurangan air. Selama hutan terjaga, mata air ini tidak akan kering,” kata Usif.
Boti yang berada sekitar 43 kilometer arah timur Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, itu ibarat oase di tengah keringnya Pulau Timor. Di sepanjang jalan menuju Boti, pohon-pohon mulai meranggas, terpanggang terik matahari. Namun, di dalam sonaf terasa adem karena dikelilingi aneka jenis tanaman, termasuk pohon gewang yang tumbuh meraksasa.
Warga Boti yang tinggal di sekitar sonaf atau rumah raja dan masih mempraktikkan kepercayaan tradisional Halaika sekitar 329 jiwa terdiri atas 76 kepala keluarga. Mereka kerap disebut Boti Dalam. Di luar sonaf, terdapat sekitar 2.500 warga Boti yang telah meninggalkan Halaika dan tinggal di bawah administrasi Desa Boti atau kerap disebut Boti Luar.
Berjalan sekitar setengah jam, Usif dan rombongan tiba di ladang yang sulit dibedakan dengan hutan. Lahan pertanian itu menerapkan sistem wanatani atau agroforestry. Singkong tumbuh di antara pohon-pohon besar, seperti kemiri, alpukat, mangga, hingga tanaman kayu hutan. Sisa batang jagung kering setelah dipanen menyembul di antara kacang gude (Cajanus cajan).
Baca juga : Inferioritas Pangan Lokal di NTT
Le Benu (45), warga suku Boti, mendekat ke rumpun singkong yang disebut lauk neke. Dia mengajak teman-temannya menggali dan mencabut batang singkong itu. Setelah berpeluh, mereka berhasil mengangkat enam singkong raksasa dengan panjang masing-masing lebih dari tiga jengkal tangan dewasa dan diameternya masing-masing sebesar betis.
Melihat panenan di Boti mengingatkan pada singkong-singkong di proyek food estate (lumbung pangan) Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang kurus dan kerdil. Persis setahun lalu, kami mendokumentasikan kegagalan proyek yang dibangun di bekas hutan yang dibabat itu (Kompas, 30 Agustus 2022).
”Wah besar-besar singkongnya, ya,” ujar Burmansyah terkesima dengan hasil panen itu.
Usif menjelaskan bahwa mereka tidak pernah menggunakan pupuk kimia dalam bercocok tanam. ”Alam yang memupuk singkong ini,” ujarnya.
Sistem pengolahan lahan di Boti dilakukan berotasi. Setelah lahan dikelola selama tiga tahun, mereka akan berpindah ke lahan berikutnya. Tanah-tanah yang diberakan ini biasa jadi tempat penggembalaan ternak. Setiap keluarga memiliki hingga tiga kebun dengan ukuran paling kecil setengah hektar.
Baca juga : Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Ringan di Pulau Timor
Mereka mengolah sendiri makanan sehari-hari. Jika ada yang kekurangan lahan, Raja Boti akan memberikan lahannya untuk diolah. Raja tak meminta atau mengambil apa pun dari kebun itu. ”Saya punya kebun sendiri. Saya kerja sendiri,” ujar Usif.
Tak hanya singkong yang dibudidayakan, di ladang itu juga ada umbi-umbian lain. Usif Nama Benu kemudian menunjuk lauk mone, sejenis uwi (Dioscoera), yang siap dipanen, ditandai dengan daunnya yang mengering. ”Lauk mone paling bagus dipanen saat kemarau,” kata Usif.
Salah seorang warga segera menggali dengan kayu yang diruncingkan. Namun, keberadaan umbi hutan itu tidak mudah ditemukan. Selain sulurnya yang berduri, posisi umbi ini berada jauh di dalam tanah.
Usif segera turun tangan membantu penggalian. Sekalipun raja, dalam kesehariannya, Nama Benu juga bekerja sebagaimana warganya. Dia bercocok tanam, memelihara ternak, dan bekerja bakti memperbaiki jalan atau saluran air. ”Saya harus bekerja paling depan, bukan hanya bicara yang sudah dikerjakan,” katanya.
Baca juga : Kenyang dan Nikmat Tanpa Beras dari Kaki Ile Boleng
Lebih setengah jam menggali, umbi-umbian itu berhasil diangkat. Bentuknya menyerupai ubi jalar dengan kulit kasar berwarna coklat kehitaman dan bentuk lebih tidak beraturan. Saat dikupas, bagian dalamnya berwarna putih bersih dan sedikit berlendir. ”Ada juga yang dalamnya berwarna ungu dan kuning, banyak jenisnya umbi ini,” kata Benu.
Keranjang bambu pun langsung penuh, padahal hanya dari satu pohon. Raja Boti mengajak warga pulang. Di perjalanan pulang, rombongan memanen pisang yang sudah masak dan tandannya hampir menyentuh tanah. Sembari berjalan pulang, Raja turut memanggul kayu bakar, sementara warga menggotong hasil panen.
Tanam beragam
Di dapur sonaf, beberapa orang telah menyiapkan makanan. Perempuan memipil jagung dan memasukkannya ke dalam lesung. Mereka kemudian menambah sedikit air dan menumbuk perlahan untuk mengelupas kulit keras jagung.
Itulah cara mereka untuk menyiapkan bose, makanan pokok di Boti. Selain jagung, bose biasa juga ditambah dengan kacang arbilah atau biasa juga disebut kacang nasi, dan labu.
Sekalipun bose merupakan menu utama, orang Boti tak melulu makan pen (jagung). Pola makan mereka cenderung beragam, sesuai dengan musim dan apa yang mereka panen. Mereka juga menanam dan mengonsumsi beras dari padi ladang, penmina (sorgum), sain (jewawut), sone (jali-jali), selain umbi-umbian dan pisang, terutama plantain luan, yang empuk dan mengenyangkan.
Baca juga : Ke Dapur Warga untuk Merasakan Pangan Lokal
Semua sumber pangan ini ditanam dengan benih yang diwarisi turun-temurun sehingga sudah beradaptasi dengan lingkungan lokal. Setiap panen, selain untuk konsumsi, mereka menyisihkan benih untuk musim tanam berikutnya.
Selain beragam tanaman sumber karbohidrat, orang Boti juga menanam banyak pohon kelapa dan sayur-sayuran. Kelapa menjadi elemen penting kuliner Boti, terutama dari minyak goreng buatan sendiri yang membuat aroma masakan menjadi harum.
Sementara sekeliling rumah juga ditanami kapas, yang menjadi sumber kain tenun. Mereka menggunakan pewarna alam untuk tenunan, seperti pohon tarum untuk warna biru dan hitam, kunyit untuk warna kuning, dan mengkudu untuk warna merah.
”Yang kami beli hanya gula dan kopi,” ujar Molo Benu, adik Usif. Bahkan, orang Boti juga menggunakan sampo alami untuk mencuci rambut, diambil dari tanah lempung di sekitar hutan.
Masyarakat suku Boti mandiri dengan pangan yang mereka hasilkan sendiri. Setiap laki-laki Boti yang hendak menikah harus punya kebun terlebih dahulu. ”Meuk tamep, tahap leko, tupat leko, paket leko”, demikian filosofi orang Boti, yang berarti kalau mau makan baik, tidur nyeyak, dan berpakaian layak harus bekerja keras.
Orang Boti pantang menerima bantuan. Berulang kali Usif Nama menolak berbagai bantuan pemerintah, termasuk beras raskin atau yang sekarang menjadi rastra. Bahkan, dia juga meminta agar warga Boti dikeluarkan dari daftar keluarga miskin.
Kami tidak pernah kekurangan air. Selama hutan terjaga, mata air ini tidak akan kering.
Bagi mereka, orang malas tak jauh bedanya dengan pencuri dan itu hal yang memalukan. Boti memiliki cara unik menghukum pencuri, yaitu dengan memberi bantuan. Misalnya, mereka yang mencuri ayam akan diberi ayam, sampai tidak mau untuk mencuri lagi.
”Dengan tanam beragam yang dimakan dan makan semua yang ditanam, kami tak pernah kelaparan. Bantuan itu hanya untuk orang malas," kata Molo Benu.
Paktik hidup warisan leluhur yang dipegang teguh masyarakat Boti terbukti bisa menjaga kemandirian pangan. Data puskesmas pembantu di Desa Boti juga menunjukkan, tak ada kasus stunting atau tengkes di Boti Dalam. Padahal, Kabupaten TTS memiliki angka stunting 45 persen pada 2022, tertinggi di NTT.
Selain memberi asupan gizi yang baik, keberagaman sumber pangan terbukti bisa menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun. Integrasi bertani dan beternak juga menjamin kecukupan protein.
Baca juga : Kisah Pangan di Timor
Arief Cahyono mengatakan beruntung bisa belajar ke Boti. ”Ternyata kemandirian pangan itu nyata. Ada kearifan lokal dan model pertanian yang otentik dan berkelanjutan di Boti. Pemerintah perlu memperkuat kemandirian pangan yang model Boti ini di banyak tempat sehingga ketergantungan pangan pada komoditas tertentu bisa ditekan. Kita masih punya banyak pangan lokal,” katanya.
Kehidupan masyarakat suku Boti memberi pesan penting bagi Indonesia tentang pentingnya berdaulat pangan. Mempraktikkan sistem pertanian yang sesuai dengan kondisi alam dan budaya terbukti bisa menjamin kecukupan pangan.