An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas.com, follows.
The Muaro Langkap Indigenous people in Kerinci, Jambi, struggle amidst environmental degradation caused by a hydropower project and illegal gold mining. The catastrophic flood, exacerbated by human interference, led to the tragic death of a toddler. Despite their efforts to protect the forest through traditional customs and laws, the Indigenous community faces challenges enforcing these regulations against external threats like illegal miners. Their deep connection to nature, particularly with tigers, reflects a cultural reverence for the environment, emphasizing the importance of preserving forests for spiritual and practical reasons.
The Muaro Langkap people's traditional wisdom, passed down through generations, underscores their commitment to forest conservation and the belief in a symbiotic relationship with nature. Despite historical erosion of Indigenous power, they strive to maintain their cultural heritage and collaborate with authorities to safeguard forests and honor the ancestral spirits embodied in tigers.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Masyarakat Adat Muaro Langkap: Merawat Hutan, Memuliakan Harimau
Jambi – Hujan turun bersama kabut. Dalam malam yang dingin suara dari masjid menerjang. Orang-orang diminta keluar rumah, banjir besar telah memutus jembatan. Sejumlah orang memeriksa keadaan agar semua warga selamat dan tak jatuh korban jiwa.
Pada pagi menjelang siang, Selasa (2/1/2024), tersiar kabar seorang balita MR berusia dua tahun terkubur longsor dan meninggal.
Orangtuanya AD (22) dan LA (20), warga Dusun Talang Angin, Desa Pasar Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kerinci, Jambi, selamat meskipun menderita luka-luka.
Kejadian pada malam buta itu menjadi pukulan telak bagi masyarakat adat Muaro Langkap. Bencana telah merenggut nyawa. Keseimbangan alam telah terganggu akibat keserakahan manusia.
Dalam kawasan hutan masyarakat adat Muara Langkap ada pembangunan megaproyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan aktivitas penambangan emas ilegal, yang kini bagian dari kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
“Kami tidak berdaya. Anak jantan dan betino (rakyat) telah patuh pada norma dan hukum adat. Mereka sekuat tenaga merawat hutan. Tapi PLTA dan penambangan emas ilegal dari luar, kami menemui hambatan untuk mengambil tindakan,” kata Datuk Mukhri Soni selaku Depati Muaro Langkap di rumahnya, Jumat (19/1/2024).
Untuk menjaga keseimbangan alam, anak jantan dan betino rela bergantian untuk menggarap lahan.
Dalam satu keluarga mereka garap lahan yang sempit agar hutan tak lagi terkoyak. Sebagian yang mengalami tekanan berat ekonomi terpaksa merantau ke luar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
Kearifan lokal dari masyarakat adat Muaro Langkap, kata Mukhri, mereka dilarang sembarangan mengubah bentang alam seperti melukai atau mengeksploitasi tebing cae (tebing curam) luhah dalam (lembah dalam) imbo sako (hutan adat) dan bukik tinggai (bukit yang tinggi).
Untuk melakukan itu, Depati Muaro Langkap harus membuat ritual khusus dengan minimal memotong 40 kerbau.
Datuk Mukhri memandang aktivitas penambangan emas ilegal dalam perut TNKS, yang secara turun temurun merupakan hutan adat Muaro Langkap, melanggar hukum adat. Sudah 105 hektar hutan terkoyak.
“Pelaku penambang emas dari luar, maka kami susah menjatuhkan hukum adat. Tapi kami sudah melapor ke polisi dan Balai Besar TNKS,” kata Datuk.
Aktivitas penambangan emas ilegal secara adat telah melukai tanah, membelah tebing, memutus aliran sungai dan menebang pohon. Maka, termasuk pelanggaran adat karena mengundang bala bencana.
“Kami percaya alam itu punya tuah (kekuatan) dan bisa membinasakan semua orang kalau salah mengelola bukit, lembah, hutan dan sungai,” kata lelaki berusia 47 tahun.
Penambangan emas ilegal yang mengoyak hutan, kata Datuk Mukhri, mengancam harimau, kuburan leluhur dan tempat ‘yang lain’ penunggu alam raya. Atas dasar itu, mereka dengan sekuat tenaga menghentikan kejahatan yang merusak lingkungan.
Hukuman adat bagi tangan-tangan jahat manusia yang merusak hutan adalah potong kerbau, beras 100 gantang, dan lemak semanis. Secara materi memang kecil, tetapi hukuman ini memiliki nilai spiritual yang tinggi, yakni kearifan untuk memuliakan hutan.
Meskipun pelaku penambang emas ilegal terbukti bersalah secara hukum adat, masyarakat adat Muaro Langkap kehilangan daya untuk menegakkan hukum adat. Sebab, hutan adat yang dijarah penambang emas ilegal tersebut berada dalam kekuasaan Balai Besar TNKS.
Sejarah kekuasaan masyarakat adat
Setelah Indonesia merdeka, kekuatan masyarakat adat tergerus. Padahal, pada zaman penjajahan Belanda tahun 1924, orang adat kerap dimintai ajum arah saat hendak membuka hutan adat untuk perkebunan kopi.
“Mereka yang kita katakan penjajah itu sangat menghargai kearifan lokal masyarakat adat. Mereka mau memotong 40 kerbau, ketika membuka hutan di kawasan adat untuk perkebunan kopi,” kata Datuk.
Kebijaksanaan penjajah Belanda berangkat karena mereka telah membaca sejarah dengan baik.
Pada dasarnya, masyarakat adat Muaro Langkap sudah lahir dan tumbuh sebelum negara Indonesia ada. Kala itu, Kedepatian Muaro Langkap adalah negara yang berdaulat. Tidak pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Melayu maupun Pagaruyung.
Sehingga, pada 1296 terbentuk negara konfederasi Depati Empat Alam Kerinci, dengan pusat pemerintahan di Sanggaran Agung. Disebut demikian karena merupakan gabungan dari negara-negara berdaulat: 4 diateh 3 dibaruh.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, 4 diateh adalah Depati Muaro Langkap Tamiai, Depati Rencong Telang Pulau Sangkar, Depati Biangsari Pengasih, dan Depati Atur Bumi Hiang.
Kemudian untuk 3 dibaruh adalah Depati Setio Nyato Tanah Renah, Depati Setio Rajo Lubuk Gaung, dan Depati Setio Beti Nalo Tantan.
Kendati demikian, masyarakat adat Muaro Langkap menyadari tidak boleh ada negara dalam negara. Mereka pun berbesar hati berada dalam kekuasaan Negara Indonesia.
Untuk membuktikan itu, mereka sudah menyerahkan puluhan ribu hektar hutan agar masuk dalam TNKS.
“Kami sesungguhnya sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan mereka (Balai Besar TNKS) sama-sama menjaga hutan agar harimau yang dipercaya jelmaan leluhur tidak terganggu hidupnya dalam hutan,” kata Mukhri.
Hal senada disampaikan anak betino (perempuan) masyarakat adat Muaro Langkap, Evi Puspita. Ia mengatakan, hutan itu menjaga mata air yang dapat menghidupi sawah-sawah petani. Kemudian hutan telah ‘mengurung’ harimau agar tak menggangu manusia.
Puspita meyakini harimau jelmaan leluhur menjaga manusia dari dalam hutan. Nasihat nenek moyang dulu, jangan membunuh harimau dan merusak rumahnya (hutan) agar semua makhluk selamat dari bencana.
“Kita seperti terhubung dengan harimau. Banyak yang percaya, harimau itu jelmaan leluhur yang menjaga kita dari segala keburukan. Dari dulu masyarakat adat Muaro Langkap sangat teliti dalam mengelola hutan,” kata Puspita.
Kerinci dan Harimau
Datuk Tiang Bungkuk mengatakan, masyarakat Kerinci telah lama menjalin hubungan dengan harimau. Selama manusia berkonflik dengan harimau, sangat jarang orang Kerinci yang terbunuh oleh harimau.
“Antara harimau dan leluhur kami ada perjanjian tidak boleh saling menggangu. Kami manusia tidak boleh menggangu alam harimau (hutan), begitu juga sebaliknya,” kata Datuk Tiang Bungkuk.
Atas dasar itulah, masyarakat adat Muaro Langkap membuat hukum adat yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi agar konsisten menjaga hutan.
Dalam konteks ini, menjaga adalah tidak membuka hutan di luar ketentuan adat dan tanpa kebijaksanaan.
Kalau masyarakat adat tidak menjaga hutan, kemudian serakah merobohkan hutan untuk kepentingan ekonomi sesaat, maka harimau akan turun dengan misi menjatuhkan hukuman. Artinya perjanjian telah dilanggar.
“Mereka (harimau) dengan kekuatan tak terlihat akan memberikan hukuman terhadap manusia-manusia yang serakah merusak alam. Penambang emas itu banyak yang mati, hanyut di sungai, tertimbun tebing bahkan ada yang tertimpa kayu,” kata Datuk Tiang Bungkuk.
Ketika dia turun ke lokasi penambangan emas ilegal di Sungai Penetai, awal Februari 2023, Datuk Tiang Bungkuk telah mengingatkan jika mereka menambang dengan alat berat, maka nyawa akan menjadi gantinya. Benar saja, beberapa penambang ada yang tewas.
Selanjutnya, ketika mereka menambang di lokasi makam keramat Batu Reben, maka tidak akan mendapatkan hasil. Kemudian semua orang akan tertimpa bencana, tidak hanya mereka yang bekerja di tambang emas ilegal, tapi masyarakat yang hidup di hilir sungai.
“Secara adat penambang emas ilegal ini sudah diingatkan. Tapi mereka serakah. Kami serahkan kepada polisi, biar mereka ditangkap,” katanya.
Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman menuturkan, kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga hutan di Kerinci, kebanyakan berkaitan dengan harimau. Hukum adat adalah tatanan yang mengikat banyak orang agar tak sembarang merusak hutan.
Ia mencontohkan banjir terparah dalam sejarah di Kerinci. Lebih separuh populasi warga Kerinci dan Sungaipenuh hampir sebulan terendam air, karena kearifan-kearifan dalam menjaga hutan telah dipinggirkan, bahkan dilupakan.
Dari banyak kisah, ketika ada jejak harimau dalam kampung, maka tetua langsung masuk ke dalam hutan untuk memeriksa keadaan. Biasanya ada orang yang menebang pohon atau berbuat buruk dalam hutan, tanpa izin dari tetua masyarakat adat.
Penulis Sejarah Sumatera, William Marsden dari Belanda, kata Nukman, pernah mengatakan jika orang Kerinci termasuk ‘bodoh’ karena membiarkan harimau berkeliaran dan tidak dibunuh. Padahal harimau adalah satwa liar yang sangat berbahaya.
“Orang yang tidak memahami budaya Kerinci secara mendalam, tentu akan berkata demikian, tapi pada dasarnya ada hubungan yang kuat antara harimau dan manusia di Kerinci. Ada perjanjian untuk tidak saling menggangu,” kata Nukman.
Harimau bagi orang Kerinci juga termasuk hewan yang dilindungi dalam hukum adat. Ada banyak kearifan seperti mitos cindaku, ngegah harimau, dan silat harimau.
Dalam tradisi ngegah harimau, masyarakat akan mengadakan ritual penghormatan, jika ada harimau ditemukan mati di sekitar kampung.
Peneliti harimau, Jeanne E McKay pada jurnal yang terbit di National Library of Medicine menyebutkan, sudah ribuan tahun orang Kerinci hidup berdampingan dengan harimau dalam kawasan hutan.
Mayoritas masyarakat Kerinci pantang membunuh harimau. Walau ada warga desa yang mati diterkam harimau, mereka tetap tidak melakukan apa-apa. Bahkan dianggap hukuman bagi pelanggar moral.
Kearifan yang berwujud dalam nilai spiritual mendorong konservasi harimau. Meskipun terjadi perburuan harimau, kucing besar ini tak punah. Populasinya yang berada di TNKS cukup besar ketimbang tempat lain di Sumatera.
“Harimau dipercaya sebagai perwujudan roh nenek moyang. Mereka mengaturnya dalam ritual-ritual adat. Jadi mereka melindungi hutan dan harimau secara bersamaan,” kata Jeanne.
Helida menerbitkan kisah orang Kerinci yang merawat hutan pada jurnal etnobiologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilakukan pada tiga lokasi, salah satunya Dusun Tamiai bagian dari masyarakat adat Muaro Langkap.
Pengetahuan lokal dari masyarakat adat terbukti dapat merawat hutan. Kearifan itu sudah berlangsung lama berkaitan dengan sejarah, bahasa, sistem kekerabatan, ritual kepercayaan, kesenian, sistem kepemimpinan dan sistem sosial.
“Mereka memiliki rasa hormat kepada alam dan meyakini ada bencana yang datang ketika melakukan perbuatan merusak hutan,” tulis Helida.
Tidak hanya harimau, masyarakat Kerinci mengenal 89 spesies hewan termasuk rantai makanan satwa di dalam hutan. Selain itu, memiliki kemampuan memanfaatkan sebanyak 234 spesies tumbuhan, untuk bahan obat (200 spesies) dan bahan pangan (70 spesies).
Dengan segala tantangan masa kini, masyarakat adat Muaro Langkap berharap dukungan dari semua pihak. Mereka ingin merawat hutan dan memuliakan harimau. Namun gempuran penambang emas ilegal yang mengoyak hutan telah membawa bencana.