WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo April 22, 2020

The Village in the Middle of the Siberut Forest

Country:

Author:
West Sumatra, Siberut Island. Image by Gudkov Andrey / Shutterstock. Indonesia, 2010.
English

Siberut Island is a unique island of Mentawai Islands, in the western of Sumatera Island, Indonesia...

SECTIONS
Simatalu residents coming home from their field. Image by Febrianti. Indonesia, 2020.
Simatalu residents coming home from their field. Image by Febrianti. Indonesia, 2020.

Desa Simatalu di Pulau Siberut adalah salah satu desa di Kepulauan Mentawai yang budaya tradisional dan lingkungannya masih terjaga. Saat budaya Mentawai mulai tergerus modernisasi, bahkan di desa-desa lain nyaris punah, masyarakat di Simatalu masih menjalankan tradisinya. Mereka menjalankan ritual pengobatan oleh sikerei (dukun atau tabib) dengan ramuan tumbuhan obat, ritual untuk beternak babi, dan ritual lain yang terkait dengan kehidupan komunal.

Masyarakatnya pun masih mengandalkan hutan alami dan lingkungannya untuk hidup. Boleh dibilang area konservasi Taman Nasional Siberut telah ikut menyelamatkan tradisi alam mereka dari kerusakan. Pada Maret lalu, atas dukungan Dana Jurnalisme Hutan Hujan Tropis (Rainforest Journalism Fund) dari Pulitzer Center, koresponden Tempo Febrianti menelusuri dan merekam denyut kehidupan Desa Simatalu.

***

AROMA buah-buahan menguar ketika kami memasuki kawasan hutan Simatalu, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada pertengahan Maret lalu. Di jalan setapak, durian toktuk—durian khas Mentawai yang berduri lunak—berjatuhan karena matang di pohon, menebarkan aroma yang tajam dari buahnya yang kuning. Nangka hutan yang masak merekah di atas pohon tampak dikerubuti ngengat. Dari kejauhan, pohon rambutan yang tumbuh di tepi sungai terlihat memerah karena buahnya yang serentak matang menutupi daun hijaunya. Pohon duku juga tengah berbuah. Buahnya yang kuning cerah berderet dari tangkai-tangkai daun

Saat itu, musim buah memang sedang memasuki masa puncaknya di hutan Simatalu. Siapa pun boleh mengambil buah-buahan itu. Kami yang sedang melintas memakan buah sepanjang perjalanan menuju Simatalu. Dalam perjalanan itu, saya ditemani Viator Simanri Sakombatu atau biasa dipanggil Bajak Letcu, seorang seniman tato Mentawai. Selain itu, saya ditemani Teu Taloi, seorang sikerei (dukun dan ahli pengobatan tradisional Mentawai) dari Simatalu, dan anak lelakinya, Cristian, yang baru tamat sekolah menengah atas.

Boleh dibilang tidak mudah mencapai Desa Simatalu. Jika lewat laut, risikonya berhadapan dengan ombak pantai barat yang sangat besar dan berbahaya dari Samudra Hindia. Apalagi saat memasuki Muara Simatalu, pintu masuk ke Desa Simatalu, banyak terdengar cerita tentang speedboat yang karam dan penumpangnya hilang tenggelam. Selain itu, di pintu Muara Simatalu terkenal banyak ikan hiunya.


Jalur ke kawasan Taman Nasional Siberut, Mentawai, Sumatera Barat./Tempo/Febrianti

Kami akhirnya memilih lewat jalur darat melalui sungai dari pantai timur Siberut ke Muara Sikabaluan di Siberut Utara. Dari Muara Sikabaluan bisa naik pompong, perahu lesung kecil yang ramping bermesin tempel, sampai Desa Bojakan di perbatasan Siberut Utara dan Barat. Perjalanan selanjutnya dengan pompong mengalami banyak gangguan karena air sungai sedang surut. Pompong lebih sering ditarik daripada dinaiki. Perjalanan pun kami teruskan dengan berjalan kaki di dalam sungai, mendaki bukit yang curam dan licin, turun lagi ke sungai berjalan tanpa alas kaki karena sepatu terasa begitu berat. Batu-batu sungai yang seruncing gigi buaya membuat luka-luka di kaki.

Setelah bermalam di rumah penduduk di sekitar tepian hulu Sungai Bojakan, keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dengan naik pompong. Setelah sekitar empat jam menyusuri Sungai Simatalu, akhirnya kami tiba di Desa Simatalu.

Simatalu adalah salah satu desa yang masuk kawasan Taman Nasional Siberut. Taman nasional yang ditetapkan pada 1993 itu memiliki luas 190.500 hektare. Zona inti taman nasional itu hutannya sangat bagus. Banyak pohon besar dan sungai kecil dengan air yang jernih mengalir di bawahnya. Misalnya pohon meranti yang bertajuk tinggi tegak lurus menjulang diselingi pohon-pohon campuran yang tumbuh subur yang sebagian dijalari tanaman merambat. Suara bilou dan joja, primata endemis Mentawai, terdengar ramai bersahutan. Keberagaman hayati flora dan fauna masih tersimpan baik di sana.


Pulau Siberut, kepulauan Mentawai, Sumatera Barat./Tempo

Kini taman nasional itu menjadi pertahanan terakhir hutan di Pulau Siberut. Selebihnya hutan di pulau itu sebagian besar adalah hutan produksi. Di bagian utara pulau itu masih beroperasi hak pengusahaan hutan (HPH) sebuah perusahaan. Sedangkan di Siberut Tengah akan beroperasi hutan tanaman industri.

Masyarakat Simatalu yang tinggal di dalam kawasan taman nasional tetap hidup secara tradisional. Mereka tidak mendapat larangan dari taman nasional untuk tetap mengelola hutan yang merupakan tanah warisan leluhur mereka. “Saya tetap bisa berburu monyet, menebang kayu untuk kayu bakar dan membuat rumah atau sampan. Tidak pernah saya dilarang petugas taman nasional, karena ini juga tanah saya,” kata Teu Takbabalen, warga Desa Simatalu yang tinggal di Sinindiu di dalam kawasan hutan taman nasional.

Teu Takbabalen mengatakan ia menyadari tanahnya yang masuk kawasan taman nasional membuat lahannya tidak terganggu oleh perusahaan kayu. Kerabatnya di utara yang lahannya masuk wilayah HPH dan sudah ditebang mulai mengeluhkan kesulitan mendapatkan kayu. “Mereka bercerita, walau sudah dapat uang Rp 50 juta dari pembayaran kayu, bisa untuk beli mesin perahu pompong dan barang lain, mereka sekarang jadi tidak punya kayu untuk membuat pompong dan rumah karena kayunya sudah habis diambil,” ujarnya.

• • •

SIMATALU dikenal sebagai “kampung asal” suku Mentawai. Dari tempat yang berada di bagian barat Pulau Siberut itulah orang Mentawai dipercaya bermula hingga menyebar ke lokasi lain di Kepulauan Mentawai, seperti Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Hingga kini budaya Mentawai masih kental di Simatalu. Rumah yang dibangun warga mirip dengan uma, rumah tradisional Mentawai dari kayu dan beratap daun sagu. Laki-laki dewasa di desa itu masih banyak yang mengenakan kabit, kain yang dililit pengganti celana.

Hampir semua lelaki dan perempuan dewasa di sana masih memakai tato, yang menghiasi hampir sekujur tubuh, dari kaki, lutut, paha, perut, dada, punggung, tangan, leher, hingga dagu. Motif tatonya pun agak berbeda dengan motif di Siberut Selatan. Di daerah lain di Pulau Siberut, tato sudah sangat jarang terlihat. Tato hanya ada pada beberapa orang tua Mentawai. Itu karena dulu tato pernah dilarang keras oleh pemerintah. Sedangkan di Simatalu, pelarangan tato tidak terlalu masif karena beratnya medan yang harus dilalui untuk mencapai desa tersebut.

Bukan hanya itu. Di Simatalu, hampir tiap rumah punya sikerei. Terkadang ada suami-istri yang menjadi sikerei. Padahal, di tempat lain di Siberut, tiap dusun hanya punya satu-dua sikerei. Sebagai ahli tanaman obat, sikerei di Simatalu sudah bekerja sama dengan pusat kesehatan masyarakat. Pihak puskesmas memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih berobat di puskesmas, berobat kepada sikerei, atau menggunakan keduanya. Kelebihan pengobatan sikerei, selain menggunakan tanaman obat, mereka dipercaya bisa mengobati penyakit yang disebabkan oleh gangguan roh jahat.


Warga Simatalu bersiap untuk berangkat menuju ke ladang di Dermaga Simabeli./Tempo/Febrianti

Selama di Simatalu, saya tinggal di rumah Kepala Dusun Muntei, Julius Saleleu. Dusun Muntei adalah satu dari 12 dusun di Desa Simatalu. Dusun yang bersebelahan dengan Dusun Sumalibeg yang terletak di Muara Simatalu itu merupakan perkampungan baru yang dibuat masyarakat pada 1990-an. Mereka meninggalkan kampung lama yang jauh ke hulu Simatalu. Sekitar setahun yang lalu, perkembangan mulai terasa di sana. Puskesmas Simatalu berdiri di dusun itu. Ada juga sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sebuah gereja Katolik berdiri di atas ketinggian bukit untuk sarana ibadah.

Setiap pagi di Dusun Muntei, waktu terasa bergegas. Anak-anak berangkat ke sekolah, sementara perempuan dan laki-laki dewasa bergegas melewati jalan dusun, menyandang keranjang rotan dan membawa mesin pompong (mesin sampan) ke tepi sungai. Mereka akan berangkat pergi ke hulu ke kebun-kebun buah, mengambil keladi dan pisang atau merawat tanaman.

Ester, istri Kepala Dusun Julius Saleleu, pagi itu juga tak ketinggalan akan pergi ke hutan mencari buah-buahan. Dia pergi bersama seorang teman perempuannya membawa mesin pompong di tangan dan menggendong keranjang rotan di punggung. Di dalamnya ada parang dan bekal makanan. Mereka mengenakan topi lebar berwarna cerah seperti akan piknik.


Sikerei melintas di depan uma, rumah tradisional Mentawai./Tempo//Febrianti

Keduanya naik pompong ke kebun buah mereka yang ada di seberang sungai dan pulang pada siang hari dengan keranjang besar yang penuh bermacam buah, misalnya durian, rambutan, dan duku. Sore hari hingga malam, kami sibuk membuka durian toktuk dan memakannya. Lalu kami lanjut menyantap duku dan rambutan hingga perut terasa begitu kenyang.

• • •

AKTIVITAS sehari-hari orang-orang Simatalu itu tepat sekali dengan peribahasa di Mentawai: “masua dere masua lolokkat” atau “basah kaki basah tenggorokan”. Peribahasa yang sering diucapkan itu memiliki arti orang harus bekerja keras untuk mendapatkan makanan. Ladang yang terletak di rawarawa membuat kaki selalu basah.

Menanam dan memelihara ladang keladi dan pisang serta menangguk ikan di sungai menjadi urusan perempuan. Misalnya Teu Saraki, sikerei perempuan yang suaminya juga sikerei. Setiap pagi ia merawat keladi di dekat rumahnya, lalu mencari kayu bakar dan menangguk ikan di sungai. Ia juga punya ladang keladi di hulu.

Selain itu, Teu Saraki memelihara belasan ayam untuk kebutuhan telur dan daging. Untuk memperoleh uang, suaminya, Teu Tulae, mencari manau atau rotan berukuran besar di hutan dan menjualnya ke tempat pengolahan manau di Muntei. Mereka memerlukan uang untuk membeli barang kebutuhan lain di warung, seperti beras, gula, kopi, rokok, serta buku dan baju untuk dua anaknya yang sudah bersekolah. “Ini pekerjaan saya hari ini, sedangkan suami saya sedang memancing di Muara Simatalu mencari ikan karang,” katanya.


Teu Tulae (kanan) dan Teu Saraki, sepasang suami istri sikerei./Tempo/Febrianti

Menjelang siang, Teu Saraki memasak sagu. Dari tepung sagu yang kasar, ia mengayak dalam ayakan nilon, lalu membakarnya dalam bambu. Ikan sungai juga dibakar dalam bambu. Saya ikut makan siang di rumahnya. Saat pulang, saya diberi keladi yang sangat besar. Mirip talas Bogor tapi ukurannya besar, ada yang seberat 2 kilogram. Kalau direbus, satu keladi bisa cukup untuk satu keluarga.

Teu Tulae dan Teu Saraki juga pasangan sikerei yang aktif memberikan pengobatan. Teu Tulae mengenal puluhan jenis tanaman obat yang berada di sekitarnya, dari pekarangan, ladang, hingga pinggir hutan. “Di sini tidak sulit mencari tanaman obat, masih banyak, apalagi di hutan,” ucap Teu Tulae.

Kondisi ini sangat berbeda dengan daerah lain di Siberut. Seminggu sebelumnya, di Sotboyak, Siberut Utara, seorang sikerei bernama Teo Ronganga mengatakan ada tanaman obat yang mulai sulit dicari di hutan, karena bekas penebangan HPH. Ia terpaksa pergi jauh mencarinya ke hutan di kawasan lain.


Teu Jorik./Tempo/Febrianti

Kepala Dusun Muntei, Julius Saleleu, mengatakan ketahanan pangan di Simatalu sangat kuat sehingga kebal menghadapi ujian krisis. “Setiap ada krisis di Indonesia, tidak ada yang sampai ke Simatalu,” ujar Julius. “Di sini untuk makan itu cukup. Ada sagu yang pohonnya sangat banyak tumbuh sendiri. Ada keladi, ikan sungai, ikan muara, belum lagi buah-buahan.”

Menurut Julius, sebagai makanan pokok warga Simatalu, pohon sagu masih sangat banyak dan tidak pernah gagal panen. Pohonnya banyak tumbuh subur di rawa-rawa. Tanaman ini bisa berkembang biak sendiri melalui tunasnya yang memenuhi rawa dan tak ada habisnya, tanpa harus menanamnya.

Sagu juga tumbuh besar dan tinggi, bisa mencapai 15 meter hanya dalam 8 tahun. Zat-zat makanan yang terbawa aliran tanah yang terus-menerus turun dari bukit-bukit berhutan di sekitarnya memenuhi rawa-rawa dan menjadikannya sumber kesuburan yang tak habis. Pengolahannya untuk dijadikan tepung sagu dilakukan satu kali dalam tiga bulan atau ada yang sekali setahun.


Proses pembuatan tato khas Mentawai./Tempo/Febrianti

Tempat pengolahan sagu berada di sungai-sungai kecil yang mengalir. Tepung sagu kemudian disimpan dalam tapri, keranjang dari anyaman daun sagu yang ditutup rapat dan dibenamkan berjejer di dalam lumpur sehingga tahan hingga satu tahun. Satu keranjang digunakan untuk satu bulan oleh satu keluarga.

Dari pohon sagu yang ditebang, satu potongan yang paling muda digunakan untuk tempat batra atau ulat sagu. Batang sagu dibelah. Satu sisi batang sagu dibiarkan terbuka dan diganjalkan sebilah kayu agar tawon besar (Rynchoporus ferrungineus) bertelur di celah batang yang mengandung sagu, yang perlahan-lahan terfermentasi. Selama 7-12 minggu, di dalam batang sagu itu sudah berkembang ulat-ulat sagu berwarna putih sebesar jari sepanjang 3-4 sentimeter. “Ini sumber protein yang penting dan amat disukai,” kata Julius.

Camat Siberut Barat Jop Sirirui mengatakan Siberut Barat, yang terletak dalam kawasan taman nasional, adalah benteng terakhir hutan Siberut. “Kalau tidak ada taman nasional, pastilah daerah saya ini juga parah kondisinya seperti tempat lain di Siberut, bisa kekeringan hingga berbulan-bulan kekurangan air seperti di Saibi, kebanjiran seperti di Siberut Utara dan Siberut Tengah yang daerah HPH,” ujarnya.

Di Siberut Barat, kata Jop Sirirui, sumber air bersih masih sangat berlimpah. Masyarakat juga bebas memanfaatkan hasil hutan selagi digunakan secara tradisional. “Hutan itu sangat penting bagi orang Mentawai karena merupakan sumber kehidupan mereka,” ucapnya.