Teu Jorik Ogok Sabendang melenggang di jalan di tengah kampungnya di Muntei, Desa Simatalu, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, suatu pagi.
Perempuan itu mengenakan dua kembang sepatu merah di rambutnya dan kalung manik panjang di leher. Tubuhnya berselubung kaos hijau dan celana bermuda selutut.
Sekilas tak ada yang baru darinya. Tapi para tetangga melihat ada yang anyar pada kedua kakinya: tato motif pagar melingkar serta motif duri manau.
Senyum Teu Jorik mengembang saat para tetangganya mengagumi tato baru di kakinya.
"Maeruk tiktikmu (indah tatomu) Jorik Ogok," teriak seorang tetangganya dari jendela rumah.
Tetangga yang lain ikut riuh menanggapi.
Sebelumnya, menurut Teu Jorik, hanya kaki kanannya yang ditato, sedangkan kaki kirinya masih kosong.
"Saya sering diejek, dipanggil sebelah, atau dikatakan kaki kayu. Kini mereka mengatakan tato saya rapi dan indah," kata Teu Jorik sambil tertawa.
Teu Jorik, 35 tahun, adalah istri seorang kerei di Simatalu. Suaminya, Teu Pano Ogok, adalah ahli pengobatan tradisional Mentawai dan tokoh yang memimpin ritual adat.
Teu Pano Ogok sudah memiliki tato di kedua kakinya, serta di dada dan punggung. Tato itu berupa tiga garis melintang di dada yang tersimpul di kedua bahu dan tersambung membentuk tiga garis yang melintang dipunggung.
Juru tatonya adalah Viator Simanri Sakombatu, 33 tahun, seorang sipatiti (juru tato) dari Pokai, Siberut Utara yang dikenal sebagai Bajak Letcu. Dia datang setahun sebelumnya untuk menato Teu Jorik, dan kemudian datang lagi ke Simatalu untuk menato Teu Jorik dan beberapa orang lainnya.
Teu Jorik ingin segera menuntaskan tato di kedua tangannya.
Proses membuat tato
Pagi itu, pada akhir Maret 2020 lalu, di beranda rumah kayunya, Teu Jorik bersiap ditato.
Para tetangga berdatangan, mereka terlihat sangat antusias menyaksikan pembuatan tato yang sudah langka itu.
Beberapa orang tua, laki-laki dan perempuan yang datang, terlihat memiliki tato dengan motif yang rapat di seluruh tubuh: mulai dari dagu hingga kaki. Tato mereka motifnya sama.
Dalam proses itu, Bajak Letcu si penato mulai menggambar pola tato di tangan Teu Jorik dengan spidol merah, namanya titik gagai atau tato tangan.
Di pergelangan tangan digambar dengan motif mata suba atau mata jaring penangkap ikan. Dilanjutkan dengan motif silogbag seperti pagar dan dijari-jari dengan motif tumbuhan berduri.
Bajak Letcu menggunakan alat tato Mentawai yang disebut lilipat patitik, berupa dua kayu. Satu kayu dengan jarum dan satu kayu lagi untuk pemukul.
Jarum tato diolesi tinta hitam dan ditaruh di atas kulit yang telah dipola, lalu proses tato dimulai dengan memukul-mukul kayu penato dengan tongkat kecil dalam gerakan cepat.
Terdengar suara berirama tak..tak..tak..
Teu Jorik sesekali meringis saat jarum tato itu merajah kulitnya meninggalkan jejak hitam kemerahan tetapi tidak berdarah.
Penonton saling menanggapi. Seorang perempuan tua mengatakan saat dia ditato dulu dia sampai menangis.
"Itu tak mabesik (tidak sakit)," kata seorang laki-laki tua yang memperhatikan proses penatoan Teu Jorik. Yang lain mengangguk setuju.
Lelaki itu Teu Saliona Sapokak, 60 tahun, seorang sikerei. Ia memiliki tato Mentawai yang lengkap. Mulai dari lehernya hingga kaki.
Tato dadanya seperti garis yang melengkung yang mengikuti poros dada dan ditengahnya ada tato motif daun alepet, daun yang sering digunakan untuk tanaman obat.
Hanya seorang sikerei yang memakai motif daun di dada.
Di bahunya ada motif kulit langsat yang terkembang seperti bintang, di lengannya ada motif duri manau. Pahanya juga memiliki tato garis-garis yang melintang. Kedua kakinya ada motif pagar dan motif duri manau seperti motif tato di kaki Teu Jorik.
Teu Saliona mengatakan mulai ditato saat muda, ketika akan menjadi sikerei di hulu Saibi, kampung lamanya. Pembuatan tatonya dilakukan selama satu minggu.
"Dulu ditato sangat sakit sekali, jarum tatonya dari kawat yang diruncingkan, ada juga yang dari duri pohon jeruk, pewarnanya dari arang dan air tebu," kata Teu Saliona.
Kulitnya saat ditato itu berdarah dan bengkak dan terkelupas. Usai ditato ia berendam di sungai, malamnya demam. Setelah agak sembuh, dua hari kemudian ditato lagi bagian tubuhnya yang lain sampai tatonya lengkap.
"Dulu rambut saya panjang, dan memakai tiktik (tato) membuat kami terlihat indah," kata Teu Saliona.
Pelarangan tato
Desa Simatalu di Pulau Siberut bagian barat menjadi kampung tato terakhir di Kepulauan Mentawai. Di sebagian Pulau Siberut, tato sudah sangat jarang terlihat. Hanya ada pada beberapa orang yang tua.
Di tiga pulau lainnya, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, tato sudah lama hilang.
Pelarangan tradisi tato di Mentawai gencar dilakukan zending Protestan era Kolonial Belanda. Kemudian lebih masif ketika Indonesia merdeka.
Sejak 1954, pemerintah Indonesia melarang Arat Sabulungan—agama lokal yang dianut orang Mentawai. Mereka diminta memilih agama yang diakui pemerintah.
Budaya Mentawai seperti merajah tubuh, meruncing gigi, pengobatan dengan sikerei, dan ritual adat lainnya juga ikut dilarang karena dianggap bagian dari Arat Sabulungan.
Teu Saliona mengatakan pelarangan tato juga terjadi di Simatalu. Polisi datang ke kampung-kampung mereka, membakar semua peralatan sikerei, membuangnya ke sungai, menangkap orang-orang yang punya tato dan juga sipatitinya (juru tato).
"Yang punya tato ditangkap dan dibawa ke Muara Sikabaluan di Siberut Utara dan dihukum disuruh membangun rumah-rumah di sana selama satu bulan," kata Teu Salona mengenang.
Ia tidak sempat mendapat hukuman karena setelah dia ditato tidak ada polisi yang datang ke kampungnya.
"Tetapi walau dilarang, orang-orang kembali membuat tato, karena tiktik itu arat (adat) Mentawai," kata Teu Saliona.
Akibat masifnya doktrin pelarangan tato dari pemerintah, akhirnya anak-anak mereka mulai tidak memakai tato. Orang tua melarang anaknya memakai tato karena tidak bisa sekolah. Guru juga ikut melarang siswa memakai tato Mentawai. Hanya yang tidak lagi sekolah yang tetap membuat tato.
Perpindahan pemukiman penduduk ke kampung baru bentukan pemerintah seperti di Dusun Muntei, Desa Simatalu, juga ikut mempercepat berkurangnya orang yang memakai tato karena mereka tidak punya banyak babi lagi.
Babi sangat penting di Mentawai, digunakan untuk punen (pesta adat) dan juga beberapa ritual adat. Babi juga menjadi alat pembayar tato pada sipatiti.
Setiap kali bagian tubuh ditato, sipatiti dapat imbalan satu atau dua ekor babi. Selain itu sipatitik juga diberi satu keranjang induk ayam dengan anaknya, juga satu tangguk ikan.
Kini pembayaran upah tato dengan babi terasa mahal. Satu ekor babi harganya bisa ratusan ribu rupiah.
"Saya terlambat ditato karena belum ada biaya, tidak punya banyak babi lagi seperti dulu, lalu saya ditato Bajak Letcu, dia tidak minta bayaran apa-apa," kata Teu Jorik.
Pada akhir sesi tato, dia menghadiahkan Bajak Letcu seekor ayam.
Bajak Letcu Sipatiti adalah seorang seniman tato Mentawai yang tinggal di Tuapeijat, ibu kota Kabupaten Mentawai di Pulau Sipora. Ia berasal dari Pokai, Siberut Utara.
Ia belajar menato dari pamannya dan mendalami tato Simatalu dari Teu Ron Nganga seorang penato Simatalu yang kini usianya sudah sangat tua.
Bajak Letcu giat menyelamatkan tato Mentawai yang hampir punah.
Dalam tiga tahun terakhir dia sudah menato puluhan orang Mentawai dengan motif tato Mentawai dan peralatan tato tradisional. Tetapi jarumnya menggunakan jarum khusus tato.
"Di Simatalu saat ini penato hanya tinggal tiga orang, mereka sudah tua dan tinggal jauh di hulu sungai, tidak ada generasi baru yang menggantikannya, ini juga menjadi penyebab tato Mentawai bisa punah," katanya.
Walau hampir punah, tato masih dianggap sangat penting oleh sejumlah masyarakat adat Mentawai.
"Saat kami mati kami tidak bawa apa-apa, yang kami bawa adalah tato kami," kata Sikalabai seorang perempuan tua dari Dusun Muntei, Simatalu.
Wartawan di Padang, Febrianti, berkontribusi dalam artikel ini yang didukung oleh Rainforest Journalism Fund dan Pulitzer Center.