DONDE REPORTAMOS


Traducir página con Google

Historia Publication logo Julio 6, 2022

Young Forest Guardians From Sekonyer (bahasa Indonesia)

Autor(a):
A man cuts down a tree.
Inglés

Communities work to regrow the forest by planting trees. Some efforts paid off, but challenges...

author #1 image author #2 image
Varios Autores
SECTIONS
Para konservasionis berpose dengan grafik konvensi 2021 di hutan
Geliat warga Sekoyer menanam pohon di Jerumbu, kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting. Foto oleh Lusia Arumingtyas / Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

Our website is available in English, Spanish, bahasa Indonesia, French, and Portuguese.


  • Desa Sungai Sekonyer, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting. Para pemuda dari desa ini banyak menjadi pegiat konservasi untuk menjaga kawasan konservasi yang berhadapan berbagai masalah dari pembalakan liar, penambagan sampai kebakaran hutan dan lain-lain.
  • Ariyadi alias Adut Forester, dan Samsul, antara lain para pemuda yang berjuang mencari bibit, menaman dan menjaga hutan di Tanjung Puting. Ariyadi bikin Kelompok Tanjung Lestari Desa Sekonyer berisi para pemuda pegiat konservasi.
  • Ada 700 jiwa tinggal di Desa Sekonyer, mayoritas bekerja di perkebunan sawit. Meski demikian, banyak warga terutama pemuda terlibat dalam konservasi di taman nasional dan wisata.
  • Upaya menjaga hutan ini juga menciptakan potensi wisata bagi taman nasional dan desa sekitar. Sebagai salah satu desa yang berbatasan dengan Tanjung Puting, Sekonyer memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan wisata. Tak hanya wisata konservasi tetapi juga budaya.

As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Perahu  klotok keluar dari dermaga. Melewati pepohonan meranti, renggas, ketiau, lemenaduh, nipah, tentalang dan tumbuhan endemik rawa lain hingga bertemu di tikungan Sungai Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kalimantan Tengah, hari itu.

Sungai Sekonyer, membelah antara zona Taman Nasional (TN) Tanjung Puting dan areal penggunaan lain (APL) serta hutan produksi konversi Desa Sungai Sekonyer. Sekonyer jadi jalur utama bagi kapal-kapal klotok yang hendak menuju Taman Nasional Tanjung Puting.

Sekonyer, bukanlah nama asli sungai itu. Nama ini muncul dari nama kapal patroli Belanda Lonen Konyer yang karam di muara sungai saat gerilyawan Indonesia melawan Belanda di 1948. Nama kapal itu menggantikan nama Sungai Buaya, sekaligus jadi nama desa yang dulu berada di Kantor Resort Tanjung Harapan.

Adut Forester, begitu Ariyadi memperkenalkan diri melalui sosial media Instagram-nya. Ariyadi seorang pemuda Desa Sungai Sekonyer, Kecamatan Kumai.

Penyematan kata forester pada namanya tidak hanya sebatas tempelan, sejatinya dia memang memiliki semangat dan terus menjaga konsistensi menjadi pemuda penggerak desa di zona penyangga TN Tanjung Puting ini.

Kapal klotoknya menepi di Dermaga Desa Sekonyer bersama anjing pemburunya menemui Mongabay pertengahan November 2021.

Tangannya gesit menambatkan tali di dermaga untuk bisa ‘parkir’. Sejak lahir, pemuda yang lahir di Desa Sekonyer ini hidup berdampingan dengan taman nasional.

Awalnya, pemuda 29 tahun ini menjelajah taman nasional sebagai penebang liar, penambang emas pada 2005, sebelum belajar konservasi dan menjaga hutan.

“Saya tidak pernah berpikir sekolah, sewaktu lulus SD saya ikut orangtua merasakan mencari uang. Pertama jadi illegal logging, lalu tambang. Ya untuk mencari pengalaman saja,” ceritanya.

Dia bilang, secara ekonomi, pekerjaan itu memang menguntungkan. Namun dia merasa bersalah karena kerusakan hutan bisa dia lihat sendiri.

“Saya dahulu tidak tahu apa itu illegal (logging), tapi saya berhenti karena saya tahu kalau tambang tidak hanya menggali tanah tapi juga menghancurkan hutan.”


Taman Nasional Tanjung Puting. Foto dari ALert. Indonesia, 2022.

Setelah dua tahun berganti-ganti kerjaan yang merusak hutan, Adut pun mencoba pengalaman berbeda. Secara iseng dia mencoba jadi relawan di salah satu lembaga swadaya masyarakat, Friends of National Park Foundation (FNPF) yang sedang bekerja di Pesalat, TN Tanjung Puting.

Satu bulan waktu bagi Adut menjadi relawan FNPF. Mencari bibit, mengisi polybag, membuat persemaian, menanam, merawat dan menjaga pohon. “Saya merasa ini seperti jiwa saya, jadi tertarik karena disini tidak hanya bekerja tapi juga belajar. Awalnya ya iseng saja.”

Di titik itulah Adut mulai menumbuhkan rasa cinta pada hutan dan meyakinkan diri terus menjaga hutan. Dia belajar penanaman pohon, pendidikan konservasi dan community development.

Berawal dari relawan, Adut sempat menjadi staf, kini dia lepas untuk mendirikan Kelompok Tanjung Lestari Desa Sekonyer pada 2019.

Dia menyadari, meski desa berbatasan langsung dengan taman nasional, banyak pemuda tak memiliki pemahaman baik dan peduli terhadap lingkungan.

”Kita pelan-pelan bicara tentang lingkungan, pentingnya seperti apa, dan membuat kegiatan untuk menjaga hutan dan lahan kritis,” katanya.

Banyak pemuda datang dan pergi di kelompoknya. Dia menyadari, dulu banyak orang tua dari Desa Sekonyer selain menjadi peladang dan petani padi, mereka juga menambang dan melakukan perambahan liar.

Adut salah satu orang yang belajar banyak dari restorasi Pesalat dan Beguruh. Dia bilang, pada 1998, Pesalat hancur karena kebakaran dan menjadi tempat berladang. Pohon dengan diameter 50-an masih sering dijumpai semasa kecilnya, kini sudah sulit dijumpai.

Keputusannya membuat komunitas pemuda ini merupakan hasil inisiatif pribadi untuk bisa mendampingi masyarakat. Bersama, Adut juga ingin membantu taman nasional maupun lahan kritis dan bekas tambang di desa untuk dijaga dan ditanami.

Dia tahu ancaman perkebunan sawit masih mengintai, meski sebagian desa adalah perkebunan sawit.

Adut tak sendiri. Samsul juga pemuda asli Desa Sungai Sekonyer yang menambang dan me; melakukan pembalakan liar. Berbeda dengan Adut, Isam–panggilan akrab Samsul– terhimpit ekonomi orangtua yang tak mampu membiayai pendidikan.

Bersama ibu dan kakaknya, Isam pun menebang pohon mulai dari ramin hingga nyatuh pada 1997.

Pasca operasi besar-besaran oleh aparat keamanan awal 2000-an, Isam bekerja menambang emas lalu berpindah ke Riau untuk bekerja kayu. Pada 2004, dia kembali ke Sekonyer dan bekerja menjaga hutan dan orangutan.

Pagi hari, bersama sekitar 20 orang staf FNPF, Isam mengoordinasi penanaman 3.500 bibit di Jerumbun dalam peringatan Hari Pohon Sedunia. Penanaman ini secara bertahap setiap hari. Ada yang membawa bibit, sabit dan alat penggali tanah. Semua bekerja secara bersama. Ada yang menggali, menanam, juga mengumpulkan polybag bibit.

“Dulu wilayah ini bekas terbakar karena memang bekas ladang orang Kumai,” ujar Isam.

Meski terbilang masih lahan terbuka, beberapa pohon masih terlihat. Antara lain, cemara hutan, ubar, meranti, nyatuh, galam, pohon buah, dan tanaman obat. Jerumbun merupakan wilayah di luar kawasan hutan yang menjadi desa penyangga taman nasional.

Lahan dengan luas 104 hektar ini dibeli FNPF untuk ‘mengamankan’ dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit.

Isam bilang, kunci restorasi adalah merawat pohon hingga tumbuh minimal satu meter atau sekitar tiga tahun. “Saat restorasi, kalau di lokasi belum maksimal tumbuh, kita enggak akan pernah meninggalkan lokasi itu. Kalau mati, kita sulam (tanam ulang). Biasanya dari satu lokasi, keberhasilannya minimal 75% atau hanya 10% yang tak tumbuh.”


Rini, 29, menjadi salah satu satu satunya perempuan yang bekerja di lapangan bersama dengan masyarakat sekitar untuk menanam-pohon. Menanam pohon baginya seperti merawat bayi harus dirawat dan dijaga. Foto dali Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

Ketekunan dalam merawat tumbuhan sudah menjadi aktivitas yang sangat menarik baginya. “Kalau bicara gaji, (kerja) ini tidak ada apa-apanya. Tapi saya banyak belajar dan berproses menjaga hutan disini.”

Sejak ada restorasi di beberapa titik, baik penambang emas ilegal maupun penebang kayu sudah jarang ditemui. “Karena ada yang menjaga.”

Restorasi, katanya, tak hanya persoalan memberi perlindungan hutan dan satwa di taman nasional juga melindungi hutan dari ancaman kerakusan masyarakat.

Suriansyah, Kepala Desa Sungai Sekonyer mengatakan, kantor desa masuk dalam kawasan taman nasional. Pada 1975, balai desa pindah ke seberang utara Sungai Sekonyer karena ada rencana perluasan taman nasional. Kuburan warga Sekonyer pun banyak dijumpai di dalam taman nasional.

Awalnya, masyarakat banyak tinggal di rumah panjang yang berada di Camp Leakey, area taman nasional. Mereka berladang nomaden.

Kala itu, banyak populasi orangutan hingga masyarakat berpindah ke Tanjung Harapan sebelum menjadi taman nasional dan masyarakat dipindahkan pindah lagi ke Desa Sungai Sekonyer, saat ini.

Kini, ada 700 jiwa tinggal di Desa Sekonyer, mayoritas bekerja di perkebunan sawit. Meski demikian, banyak masyarakat terlibat dalam konservasi di taman nasional dan wisata.

Suriansyah bilang, banyak warga Sekonyer terlibat dalam konservasi di taman nasional, terutama anak muda.

Dia bilang, warga Sekonyer belum menuai manfaat maksimal dari keberadaan taman nasional, selain bekerja untuk konservasi. Meski memiliki dermaga, fasilitas ini belum berfungsi baik untuk wisatawan.

“Ya, memang taman nasional memberi banyak manfaat buat masyarakat Sekonyer. Ada yang jadi pemandu wisata, ikut dalam kerja-kerja restorasi, menjaga alam, dan lain-lain. Tapi belum maksimal untuk desa,” ujar Acay, panggilan Suriansyah.

Kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya banyak warga Sekonyer jadi penambang dan pembalak kayu liar.

Upaya menjaga hutan ini juga menciptakan potensi wisata bagi taman nasional dan desa sekitar. Sebagai salah satu desa yang berbatasan dengan Tanjung Puting, Sekonyer memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan wisata. Tak hanya wisata konservasi tetapi juga budaya.

Adut bilang, potensi wisata di Sekoyer belum maksimal. Padahal, sudah ada dermaga khusus menuju desa itu. Dia berharap, ada dukungan pemerintah desa agar bisa memaksimalkan potensi hingga terjadi peningkatan ekonomi masyarakat.

“Jadi, masyarakat pun sadar dengan menjaga hutan, bisa memperoleh manfaat,” kata Adut.


Geliat warga Sekoyer menanam pohon di Jerumbu, kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting. Foto oleh Lusia Arumingtyas / Mongabay Indonesia. Indonesia, 2022.

* Kolaborasi liputan Mongabay Indonesia dan Betahita. Tulisan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hutan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center