Jakarta, CNN Indonesia — Sorharto, Wali Nagari Sindang Kecamatan Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat ingat betul betapa masa lalunya kelam menjadi anak buah dari bos pembalak liar. Kucing-kucingan dengan petugas patroli saban saat ia lakoni. Peristiwa itu setidaknya hingga tahun 2004. Alasan ekonomilah yang mendorong Soeharto dan banyak rekannya memilih merambah dan mengambil kayu-kayu dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di provinsi itu.
"Kalau kita dulu termasuk pekerja kasarnya. Kita pun pernah ikut menyinso ngambil balok-balok. Kebetulan harganya di masa itu juga bagus," katanya saat ditemui.
Soeharto saat itu tak paham berbagai peristilahan status hutan, seperti hutan produksi, hutan konservasi, hingga hutan lindung. Di benaknya semua hutan itu sama, sejak dari nenek moyangnya boleh diambil kayu-kayunya.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
"Ketika masyarakat melihat baik kepolisian sejenis berseragam mati ketakutan merasa bersalah sendiri," katanya.
Cerita ini juga diamini oleh Ade Vebrian, Kepala Resort Lunang Sako TNKS Wilayah II.
Konflik terjadi, terkadang bahkan sampai pada hilangnya nyawa. Sebagai petugas polisi hutan Ade pun mengalami berbagai pengalaman menghadapi pembalak. Diadang dan diancam parang sampai disandera pembalak liar bahkan pernah nyaris merenggut nyawanya. Ade mengatakan, pembalak ini terkadang melawan karena merasa ada yang melindungi.
"Ada yang nantangin ketemu di pengadilan. Pernah juga pada 2007 ada pembalakan liar di Muaro Sako pas kita temui ada yang turunin kayu, kita dekati, kita tanya kita minta data malah dia menentang. Kita di-backup polri. Karena dia melawan pakai parang, karena menyakiti, langsung kanitnya (polisi) ngedor langsung meninggal di tempat," cerita Ade.
Pesisir Selatan termasuk daerah yang sering dilanda banjir bandang. Terakhir, banjir bandang merendam ribuan rumah dan ratusan hektar lahan pada Maret 2021. Banjir membawa serta balok-balok kayu. Ade menduga, kayu-kayu itu berasal dari pembalakan liar di taman nasional.
"Sejak sering terjadi bencana, Alhamdulillah sekarang ini masyarakat juga sudah paham juga masalah kerusakan hutan ini. Banjir longsor yang menimpa kampungnya sendiri, datang lagi berulang. Inilah yang kita kasih tahu mereka," ungkap Ade.
Pada Maret lalu, Kami melaju ke Pesisir Selatan Sumatera Barat tepatnya singgah di daerah Bayang dan Lunang Sako Pesisir Selatan. Dua wilayah ini punya riwayat konflik dengan petugas bahkan sampai merenggut nyawa.
Dari dua wilayah ini kayu-kayu jenis meranti, ulin dan sebagainya disenso pembalak dan balok-baloknya dialirkan lewat sungai. Setelah itu, kawasan yang sudah digunduli dijadikan kebun.
Pelan-pelan dicobakan pendekatan persuasif terhadap warga. Di sisi lain juga dicarikan solusi untuk keberlanjutan ekonomi mereka.
Demi mengurangi konflik, Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK mengeluarkan kebijakan afirmatif. Yaitu melalui Peraturan Dirjen Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kemitraan Konservasi. Masyarakat yang terlanjur membuka lahan diminta membentuk kelompok tani hutan dan mendapatkan hak kelola lahan.
Kepala Bidang TNKS Wilayah II Sumatera Barat Ahmad Darwis mengatakan, di dua wilayah penyangga TNKS tadi, sudah terbentuk 200 lebih kelompok tani hutan dengan anggota mencapai 2000 orang. Jumlah ini akan terus bertambah. TNKS menerbitkan hak Kelola hutan yang terlanjur mereka rambah dan tertuang di dalam akta.
"Tapi mereka dilarang menambah luasan lahan, memindahtangankan dan wajib menjaga kawasan," ungkap Darwis.
Skema kemitraan ini pun terbukti manjur. Terutama bagi TNKS, mitra mereka mantan perambah ini ikut menjaga hutan.
"Sementara kekuatan kami minim mas untuk kawal itu semua. Total kami punya kekuatan setiap seksi itu 10 orang. Total untuk luas 450 ribu hektar di Sumbar kami di-backup 30 orang. Kalau saya hitung 1 orang 15 ribu hektar. Itu tidak akan mampu," kata Darwis
Ekskalasi konflik pun turun. Masyarakat secara sukarela membantu aparat menjaga TNKS dari aktivitas perambahan. Dengan cara ini setidaknya 4.000 hektar hutan selamat dari penggundulan setiap tahunnya. Sebelumnya rata-rata per keluarga membuka hutan seluas 2 hektar tiap tahunnya.
Paradigma baru dalam pelestarian hutan yang sebelumnya pendekatan hukum menjadi pemberdayaan dan partisipatif.
Pemberian hak kelola lahan yang terlanjur dibuka merupakan langkah untuk merangkul ketimbang memukul para mantan perambah, ternyata efektif membantu aparat negara yang dalam banyak kisahnya selalu mengaku kurang jumlah dan anggaran.
Perjuangan Gender di Rejang Lebong
Getir pernah dirasakan Donsri dan kaum perempuan di Desa Karang Jaya, Rejang Lebong, Bengkulu. Bertahun-tahun hidup dalam ketakutan karena merambah kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. Tak ada pilihan selain menjadikan hutan sebagai kebun penyambung hidup.
"Karena tidak ada lahan lain yang bisa digarap, ya mau tak mau masuk kawasan, Harus berusahalah sebagai perempuan," ungkapnya.
Donsri ingat, di tahun 1999 pertama kali ia dan suami mulai membuka kawasan berpindah-pindah. Bila ada petugas dia lari atau mengaku janda saat kepergok agar mendapat belas kasihan.
"Sering mengaku janda musiman. Kalau ada petugas, suami saya suruh sembunyi dan lari," katanya.
Dengan cara itu, dia bisa selamat dan tidak ditangkap. Namun sial bagi suaminya yang tertangkap, langsung dijebloskan ke penjara.
"Tidak bisa berbuat apa-apa kalau suami ditangkap. Pernah dua kali, dipenjara tiga bulan dan dua bulan," kata Donsri.
Terauma kejar-kejaran dengan petugas juga membengkas pada Wahyuni Saputri Ketika mengenang masa kecilnya.
Sejak kecil tinggal di sebuah pondok di dalam kawasan taman nasional. Patroli polisi kehutanan menjadi momen horor bagi perempuan yang biasa disapa puput itu. Puput kecil seringkali berlari dan sembunyi menahan tangis menghindari kejaran aparat.
"Kami lari, harus lari bagaimana caranya kami keluar. Yang Puput sedihkan setelah keluar, Puput tidak bisa sekolah besok karena buku sepatu seragam ada di pondok. Puput nangis ke orangtua bagaimana ini baju nggak ada, ada PR, bukunya ada di pondok bagaimana ngambilnya. Akhirnya tidak sekolah," Katanya.
Karena hutan adalah segalanya bagi perempuan, Donsri menggalang kekuatan untuk memperjuangkan hak kelola lahan bermitra dengan taman nasional. Donsri gigih datang dari rumah ke rumah untuk mengajak kaum ibu-ibu yang lain. Dia sempat dianggap gila oleh ibu-ibu lain karena yang dilakukan akan mustahil.
Pada 2020 Donsri berhasil membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Sumber Jaya. Gerakan ini lalu membesar melibatkan lebih puluhan perempuan lainnya. Donsri juga ikut membidani terbentuknya KPPL Sejahtera Sumber Bening, desa tetangga.
Puput dengan trauma masa lalunya itu juga tergerak bergabung bersama Donsri, yang menjadi Ketua KPPL Sejahtera Sumber Jaya. Bersama belasan perempuan desa lainnya, mereka membangun solidaritas, terutama bagi istri-istri yang suaminya pernah dijebloskan penjara karena menggarap lahan di taman nasional.
Jerih payah mereka berhasil. Puncaknya pada akhir 2021 lalu dua kelompok perempuan ini mendapatkan hak kelola lahan dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan melalui skema mitra konservasi. Hak kelola ini tertuang di dalam SK Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan menjadi kelompok petani perempuan pertama di Indonesia sebagai mitra konservasi.
"Alhamdulillah bersyukur senang ada bangganya bisa ajak ibu-ibu. Tidak mudah memperjuangkan ibu-ibu ini," kata Donsri.
KPPL Sumber Jaya kini beranggotakan 40 orang yang berusaha memulihkan ekosistem TNKS seluas 37,66 Ha. Sedangkan KPPL Sejahtera Sumber Bening dengan anggota 42 orang memiliki tanggungjawab memulihkan lahan seluas 40,52 Ha. Pemulihan dilakukan dengan menanam tanaman keras.
Rumah persemaian bibit tanaman mereka kelola bersama. Nantinya, bibit tanaman tersebut akan ditanam di sekitar kebun mereka. Inilah awal dari gerakan pemulihan ekosistem hutan yang sebelumnya mereka rusak.
"Kita minta alpukat ini pertama kita ingin memulihkan lagi ekosistem yang ada di TNKS. Kedua kita bisa manfaatkan buah alpukat," kata Roisa, Ketua KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening di kebun pembibitan.
Semangat perempuan di dua desa ini bukan semata soal hak kelola lahan, melainkan perjuangan menghadirkan keadilan gender dalam isu lingkungan. Konsep patriaki yang berkembang selama ini, menempatkan perempuan dan lahan sebagai aset yang dimiliki laki-laki.
"Maskulinitas atau patriaki itu cenderung melihat alam dan perempuan itu, identik sama yaitu yang dikuasai dan juga objek. Kita juga ingin melakukan perubahan bahwa relasi laki-laki dengan hutan dan laki-laki dengan perempuan itu yang harus berubah," kata Dedek Hendry salah satu pegiat LSM Live Indonesia yang mendampingi perjuangan ibu-ibu ini.
Menurutnya, kecenderungan perempuan di dua desa ini melihat ekosistem sebagai ruang bersama. Ada dimensi sosial dan solidaritas. Maka tak heran kelompok ini mereka jalankan secara bersama-sama sehingga ada pembagian kerja. Tanaman yang mereka tanam untuk pemulihan ekosistem, selalu memiliki nilai komunal yang artinya bisa dimanfaatkan secara bersama. Seperti alpukat, nangka, durian sampai jengkol.
Penguatan kelompok ini pun terus dilakukan. Secara berkala mereka memperkuat literasi, seperti mengasah ketrampilan menulis dan berkomunikasi. Sebagai yang termuda, Puput menjadi motornya. Ia bahkan bercita-cita ingin membuat sekolah lingkungan setelah lulus berkuliah di jurusan keguruan nanti.
"Puput ingin membuat sekolah sendiri tentang lingkungan agar anak-anak paham tentang tumbuhan,pertumbuhan dan pengetahuan," katanya.
Kini Donsri dan perempuan-perempuan di desa itu tak perlu lagi mengaku janda untuk melindung sang suami. Hari ini pula, mereka bisa mengelola lahan mereka sendiri.