Korporasi
pembakar hutan tak mendapat hukuman optimal. Gugatan perdata sulit dieksekusi,
pidana mandek.
MASIH lekat di ingatan Bambang Hero Saharjo peristiwa kebakaran hutan dan lahan
di area konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan, enam tahun lalu. Api menghanguskan area seluas 20 ribu hektare. Pemasok kayu untuk Asia Pulp & Paper
Sinar Mas—kelompok usaha milik taipan Eka Tjipta Widjaja yang meninggal awal
tahun lalu pada usia 97 tahun—itu digugat dengan dua perkara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menggugat BMH memakai hukum perdata, sementara Markas Besar Kepolisian RI
menggunakan hukum pidana. Bambang Hero, guru besar perlindungan hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menjadi anggota tim ahli untuk dua gugatan
itu. “Saya ke lokasi kebakaran ketika api masih membara,” kata Bambang pada
akhir Agustus lalu.
Api lama padam, menurut Bambang, karena
perusahaan itu tak punya sarana dan prasarana untuk memadamkan api. Selain tak
punya menara api, BMH hanya menyediakan enam personel pasukan pemadam, yang
bekerja dengan dua sepeda motor butut dan tinggal di mes ala kadarnya.
Gugatan perdata itu bergulir ke
pengadilan. Deliknya: Bumi Mekar Hijau tak serius mencegah kebakaran. Hakim
Pengadilan Negeri Palembang menggelar sidang lapangan di lokasi kebakaran pada
November 2015 atau setahun setelah kunjungan Bambang Hero ke lokasi kebakaran.
Hakim mengundangnya dalam sidang itu.
Bambang melanjutkan, ketika ia berkunjung
lagi ke sana, menara api setinggi 20 meter berdiri megah, mes besar dibangun
lengkap dengan gudang pemadam kebakaran, puluhan anggota pasukan pemadam
berseragam lengkap, dan mobil mereka double
gardan. “Orang yang belum pernah datang ke sana akan mengira perusahaan ini
sudah lama memiliki sarana dan prasarana pemadam kebakaran yang baik,” ucap
Bambang.
Dengan kemegahan sarana-prasarana itu,
sebulan kemudian, hakim memutuskan menolak gugatan perdata Kementerian
Lingkungan Hidup. Hakim ketua Parlas Nababan membebaskan PT Bumi Mekar Hijau
dari ancaman membayar ganti rugi materiel dan pemulihan lingkungan sebesar Rp
7,6 triliun. Dalam gugatan banding ke pengadilan tinggi, hakim mengabulkan
permohonan, tapi nilai ganti rugi turun tinggal Rp 78 miliar.
Bambang menyarankan Kementerian Lingkungan
Hidup mengajukan permohonan kasasi. Meski setuju dengan saran Bambang,
Kementerian tak kunjung mengirim dokumen gugatan hingga batas permohonan kasasi
terlewati. "Alasannya
relaas pemberitahuan (putusan) dari pengadilan hilang,”
tutur Bambang. Putusan yang dieksekusi kemudian didasari putusan banding.
Bagaimana dengan gugatan pidana? Lebih
nahas. Pada September 2015, Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan manajemen
BMH sebagai tersangka pembakar lahan konsesinya sendiri. Namun hingga kini
penanganan kasus itu tak jelas. Bambang tak pernah mendengar kabar penanganan
perkaranya.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri
Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono menyarankan masalah ini ditanyakan kepada Kepala Biro Penerangan Masyarakat
Komisaris Besar Awi Setiyono. Tapi, ketika dikontak, Awi mengatakan, “Saya
tidak paham detail kasusnya.”
***
AURIGA Nusantara, kelompok sipil pemantau
tata kelola sumber daya alam, mencatat setidaknya terdapat 29 korporasi yang
menjadi tersangka pidana kebakaran hutan dan lahan yang terakumulasi sejak
2015. Dari jumlah itu, hanya sepuluh yang telah dibawa ke pengadilan. “Enam
divonis bersalah, dua bebas, dan dua lainnya masih dalam persidangan,” ujar
Direktur Media dan Komunikasi Auriga Syahrul Fitra pada Jumat, 4 September
lalu.
Sisa perkara yang tak disebutkan Syahrul
adalah enam kasus yang masih dalam penyidikan dan dua kasus yang
penyelidikannya dihentikan. Sisanya, sebelas kasus tidak jelas. “Menghilang
begitu saja,” kata Syahrul. “Salah satunya kasus pidana BMH.”
Hasil gugatan perdata tampak lebih
menggembirakan. Dari 50 perusahaan yang digugat karena diduga membakar lahan
konsesinya sepanjang 2014, sebanyak 17 korporasi harus membayar ganti rugi.
Total nilainya Rp 17,82 triliun.
Dari jumlah tersebut, sembilan perusahaan
telah divonis bersalah dan diwajibkan membayar biaya ganti rugi serta pemulihan
lahan senilai Rp 3,45 triliun. Namun, dari semua putusan tersebut, hanya Rp
269,8 miliar yang bisa dieksekusi, yaitu dari PT Riki Kurniawan Kartapersada
dan PT Bumi Mekar Hijau.
Menurut Syahrul, eksekusi putusan
pengadilan tersebut sulit karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) tidak menyertakan permintaan sita aset dalam persidangan. Akibatnya,
meski menyatakan bersalah, hakim tak menyertakan permintaan sita aset kepada
perusahaan-perusahaan tersebut. Akibat lain, mereka bisa mangkir membayar denda
karena tak ada aset sebagai jaminan pengganti.
Ketika api sedang besar-besarnya membakar hutan dan lahan di sejumlah daerah,
Oktober 2019, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Gakkum) KLHK mengumumkan telah menyegel konsesi 64 perusahaan.
Ketika itu, delapan korporasi di antaranya juga telah ditetapkan sebagai
tersangka.
Namun api yang diduga kembali membakar area produksi PT Bumi Mekar Hijau tak
tersentuh tangan penegak hukum. Kepala Seksi Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah
III Sumatera Harianto mengatakan saat ini timnya sedang menangani sengketa
kebakaran hutan dan lahan terhadap 14 perusahaan pemilik konsesi perkebunan dan
kehutanan. “Semua dikenai sanksi administrasi. Beberapa sedang ditingkatkan ke
ranah perdata, ada juga yang ditangani polisi untuk gugatan pidana,” ujarnya.
“Kasus Bumi Mekar Hijau ditangani langsung oleh pusat.”
Di Jakarta, tak satu pun pejabat di
Direktorat Jenderal Gakkum KLHK yang bersedia diwawancarai. Direktur
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup Jasmin
Ragil Utomo belum mau berkomentar. “Saya masih sibuk,” ujarnya pada Kamis, 3
September lalu. Begitu pula Direktur Penegakan Hukum Pidana Yazid Nurhuda yang
meminta permohonan wawancara ditujukan kepada atasannya. Direktur Jenderal
Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani tak menjawab pesan dan menolak panggilan telepon.
Di kepolisian, Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sumatera Selatan
Komisaris Besar Supriadi memastikan lembaganya tidak menangani kasus karhutla
di BMH. “Kami sudah menetapkan satu korporasi sebagai tersangka kebakaran
hutan, tapi bukan Bumi Mekar Hijau,” ucapnya.
Hingga berita ini ditulis, manajemen PT
Bumi Mekar Hijau juga belum bisa dimintai konfirmasi.
Kantor BMH di kompleks ruko, Jalan R. Soekamto, Kompleks PTC Nomor I/62,
Palembang, tertutup rapat, Jumat, 4 September lalu. Seorang pekerja perusahaan
lain yang berkantor di kompleks yang sama menyebutkan BMH telah pindah beberapa
bulan lalu.
Chief Sustainability Officer Asia Pulp & Paper Sinar Mas Elim Sritaba
mengatakan perusahaannya sudah mewajibkan unit bisnis dan pemasok bahan baku
membuka lahan dengan benar. “Tidak dengan cara membakar,” katanya melalui
keterangan tertulis.