CAHAYA matahari yang sedang terik-teriknya tak mampu menembus rindangnya pepohonan di sekitar kantor Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) siang itu. Seorang perempuan datang tergesa-gesa dengan mengontel sepeda. Sesampai di halaman, dia segera memarkir sepedanya. “Kenalkan, ini direktur kami,” kata Heribertus, Supervisor Media YIARI.
Direktur yang dimaksud Heribertus itu adalah Dr Karmele LIano Sanchez. Dialah pendiri YIARI. Karmele dikenal getol dalam upaya penyelamatan orangutan di Tanah Kayong.
“Apa kabar? Selamat datang di kantor kami,” Karmele Sanchez menyambut dengan ramah perkenalan kami. Dia segera bergabung di satu meja, tempat kami sebelumnya sudah berbicang dengan Heribertus di Pusat Pembelajaran Sir Michael Uren di Ketapang.
Karmele sudah puluhan tahun berjibaku merehabilitasi orangutan untuk dikembalikan ke alam liar. Dia mulai mengabdikan diri pada penyelamatan satwa liar sejak dua dekade lalu. Karnele lulusan dokter hewan. Setelah menyelesaikan kuliah, dia memutuskan datang ke Indonesia, tepatnya di Malang untuk menjadi sukarelawan konservasi satwa liar. Dia lalu pindah ke Ketapang, Kalimantan Barat.
Karmele melihat satwa liar terutama primata di Indonesia masih menghadapi ancaman yang sungguh luar biasa. Menyikapi situasi itu, muncullah idenya untuk membentuk suatu organisasi. Dibantu beberapa temannya, pada 2009 dia membentuk YIARI. Mereka lalu mencari dana dari Eropa dan seluruh dunia untuk mendanai proyek penyelamatan satwa liar.
YIARI melakukan pelestarian orangutan dan kukang melalui tiga proses, yakni penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran. Kebanyakan orangutan yang direhabilitasi di sana merupakan hasil penyelamatan dari peliharaan masyarakat. Dalam melakukan evakuasi dan penyelamatan orangutan, YIARI selalu menggandeng berbagai pihak lain. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat juga bekerja sama dengan mereka.
Apabila orangutan yang direhabilitasi masih bayi maka akan lebih dulu dididik di sekolah hutan. Di sekolah khusus ini, individu orangutan diajari keterampilan dasar seperti memanjat pohon, membuat sarang, dan mencari pakan. Butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk mengembalikan sifat alaminya.
Berbeda halnya jika orangutan diselamatkan akibat berkonflik dengan masyarakat. Karena masih memiliki sifat liar, biasanya individu tersebut langsung dilepasliarkan saja. Orangutan yang direhabilitasi tidak dipelihara dalam kandang tetapi dilepasliarkan di pulau-pulau buatan agar tetap bisa terpantau. Setiap hari mereka dikontrol oleh petugas. Aktivitas sekolah orangutan dimulai dari pagi hingga sore. Malam hari pun mereka tetap diawasi.
Beberapa tahun terakhir ini, YIARI juga melakukan proses adopsi bayi orangutan dengan orangutan dewasa. “Orangutan yang sudah direhabilitasi sekitar tujuh hingga delapan tahun akan menjadi induk asuh bagi bayi orangutan. Proses adopsi menjadi salah satu cara untuk mengembalikan sifat alaminya,” kata Heribertus.
Orangutan yang terpisah dengan induknya sejak kecil, pastinya tidak mempelajari kehidupan di alam. Jadi, saat direhabilitasi di sini, anak orangutan harus belajar dari awal untuk mengenal kebiasaan alaminya.
Proses rehabilitasi dilakukan agar nantinya bila dilakukan pelepasliaran, orangutan tersebut mampu bertahan di alam liar. Setelah dilepasliarkan, memang tidak semua orangutan bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Hal ini karena setiap individu memiliki tingkat kepintaran yang berbeda. Untuk antisipasi, setelah pelepasliaran masih ada tim dari YIARI yang akan memonitor individu orangutan tersebut.
Lokasi pelepasliaran salah satunya di Kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Di wilayah ini, jumlah pakan masih banyak tersedia, dan kawasan hutannya masih terjaga. Secara status, taman nasional juga dipandang lebih terjamin. “Hutan di TNGP sangat baik sekali kondisinya. Sangat baik untuk pelepasliaran orangutan,” ujarnya.
Karmele berharap, suatu saat tidak ada lagi orangutan yang perlu direhabilitasi. Sekarang pun jumlah orangutan yang direhabilitasi sudah mulai menurun. “Artinya tingkat kesadaran masyarakat di Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Ketapang mulai baik,” ujarnya.
Masyarakat juga proaktif melapor kepada petugas apabila ada orangutan yang dipelihara. “Bahkan di Desa Batu Lapis, Kabupaten Ketapang, memelihara orangutan dianggap sebuah aib,” timpal Heribertus.
Meski konflik antara warga dengan orangutan mulai menurun, masih ada ancaman lain yang mengintai yaitu kebakaran hutan dan lahan. Khusus di Ketapang, daerah yang masih tinggi terjadi konflik antara manusia dan orangutan ada di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Matan Hilir Utara dan Kecamatan Muara Pawan. Tidak tertutup kemungkinan konflik serupa juga terjadi di daerah lain. Hal ini disebabkan keberadaan habitat orangutan 70-80 persen berada di luar kawasan konservasi. “Konflik terjadi karena masyarakat merasa kesal orangutan masuk ke perkebunan.”
Dia berharap masyarakat semakin sadar dengan perlindungan orangutan sehingga bisa hidup berdampingan tanpa konflik.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung, Matheas Ari Wibawanto, mengatakan, pihaknya kerap bekerja sama dengan YIARI dalam proses pelepasliaran (translokasi) orangutan ke TNGP. Sejak tahun 2017 hingga 2021, sudah ada 14 orangutan yang ditranslokasi di TNGP.
Ada beberapa persyaratan dalam pelepasliaran orangutan. “Pertama, satwa yang dilepasliarkan haruslah termasuk satu jenis atau marga atau satu spesies dengan orangutan di lokasi tempat pelepasliaran. Misalnya jenis Pongo pygmaeus, maka yang dilepaskan haruslah jenis Pongo pygmaeus,” katanya.
Syarat kedua adalah sehat. Orangutan yang dilepasliarkan harus menjalani pemeriksaan secara ketat untuk memastikan kesehatannya. Syarat ini penting, sebab jika orangutan yang dilepaskan tidak sehat maka akan membahayakan orangutan lain, karena rentan terjadi penularan.
Syarat ketiga, orangutan yang dilepasliarkan harus sudah memiliki sifat liar. Setelah dilepasliarkan, masih akan dilakukan monitoring selama tiga bulan.
Menurut Ari, kondisi TNGP yang asri sangat memungkinkan untuk dijadikan lokasi pelepasliaran orangutan. Sejauh ini, TNGP memang menjadi rumah bagi ribuan orangutan. “Belum ada kejadian orangutan penghuni taman nasional yang keluar dari habibatnya,” ujar dia.
TNGP memiliki luas 108 ribu hektare, termasuk dalam kategori taman nasional yang besar. Selain menjadi habitat alamiah bagi orangutan, TNGP juga dijuluki sebagai Taman Eden Kalimantan karena sangat kaya flora dan fauna. Julukan itu juga diperkuat dengan fakta bahwa TNGP memiliki hutan primer, yang berarti adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan memiliki struktur yang khas, karena kematangannya. Itulah kenapa hutan jenis ini biasanya memiliki sifat ekologis atau hubungan timbal balik antarmakhluk hidup.
Drh. Andini Nurlila, dokter hewan di YIARI mengatakan, orangutan yang dirawat di sana kebanyakan penyerahan dari peliharaan warga. Setiap individu orangutan yang diselamatkan memerlukan tindakan penanganan yang berbeda-beda. Berbeda pula dengan orangutan liar (bukan peliharaan). Apabila tidak memiliki luka terbuka atau sudah mendapatkan perawatan medis/pengecekan dasar, biasanya individu tersebut langsung dilepasliarkan.
Selain merawat dan mencegah penularan penyakit dari kontak manusia dan orangutan, pihaknya juga menjaga sisi perilaku. Sifat liar orangutan tetap dipertahankan dan sisi psikologisnya pun diperhatikan sebelum dilepasliarkan.
- View this story on Indoposco.id