Tradisi Orang Rimba dalam meramu obat ternyata turut berperan besar dalam menjaga hutan hujan Bukit Duabelas tetap utuh. Biodiversitas mereka rawat lewat pengetahuan lokal yang secara farmakologis terbukti bernilai penting bagi dunia kesehatan.
Cendawan yang menempel di batang pohon meranti batu menarik perhatian Tengganai Besemen (65). Ingatannya melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam. Kala itu, Nande, putrinya, tak berdaya dan nyaris mati setelah memakan daging tupai.
Semua orang telah putus harapan. Mengira Nande bakal meninggal. Sesuai tradisi, mereka pun meninggalkan Nande dan Besemen lalu melangun atau menjelajah ke tempat baru karena adanya kematian anggota keluarga.
Como una organización periodística sin fines de lucro, dependemos de su apoyo para financiar el periodismo que cubre temas poco difundidos en todo el mundo. Done cualquier valor hoy y conviértase en un Campeón del Centro Pulitzer recibiendo beneficios exclusivos.
Sepeninggal keluarga besar, Besemen bertahan di dekat anaknya. Penasihat adat di wilayah Punti Kayu, Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, itu kemudian mencari cendawan hahati (Polyporus sp) dalam rimba.
Setelah dapat, cendawan tersebut dipanaskan dan dihaluskan. Serbuknya dicampur daun tembakau yang telah dibakar. Selanjutnya, dicampur dengan minyak lalu digosok-gosokkan di sekujur tubuh anaknya.
Beberapa jam kemudian, Nande bangun dengan keringat membasahi sekujur tubuh. ”Akhirnya sombuh (sembuh),” kenangnya, Kamis (30/6/2022).
Sejak itu, Besemen selalu menyimpan olahan cendawan hahati. Jika ada warga yang mengalami masalah penyakit serupa, ia berikan ramuan itu.
Kali lain, ia dapati warganya mengalami diare. Besemen langsung mencari pohon sengkubung (Macaranga gigantea) yang lazim mereka sebut sengkrubungon. Kulit batangnya diambil lalu direbus bersama segelas air.
Sewaktu air rebusan semakin panas, getah berwarna merah tampak keluar dari pori-pori kulit kayu. Air berwarna kemerahan itulah yang diminum sebagai obat. Rasanya agak sepat dan pahit, tetapi manjur untuk mengobati penyakit.
Tanaman Obat
Di kalangan komunitas pedalaman itu, kemampuan meramu obat diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan awal mereka dapatkan dari petunjuk Dewa yang hadir lewat mimpi. Begitu pula sejumlah petunjuk mengenai bahan-bahan yang digunakan dan cara pengolahannya.
Meramu obat membutuhkan ketepatan bahan, takaran, serta cara mengolah. Kalau bahannya kurang, kata Besemen, manfaatnya bisa berbeda. Tak jauh beda dengan prinsip orang modern dalam meracik obat kimia.
Pengetahuan lokal yang mengiringi peradaban Orang Rimba selama berpuluh-puluh tahun itu telah turut menjaga keanekaragaman hayati dalam hutan hujan yang menjadi rumah mereka. Biodiversitas yang terjaga dengan utuh itu bahkan mampu menarik perhatian kalangan peneliti.
Dua dasawarsa lalu, tim gabungan peneliti dari LIPI, Departemen Kesehatan, dan IPB menggelar ekspedisi Biota Medika di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Dengan bantuan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, tim menjelajah Bukit Duabelas yang kala itu masih berstatus Cagar Biosfer.
Tim menginventarisasi biodiversitas flora fauna dan cendawan yang digunakan Orang Rimba sebagai bahan obat. Hasilnya, ada r 137 jenis obat dari alam yang mujarab untuk mengobati beragam jenis penyakit yang umum diderita Orang Rimba. Mulai dari penyakit kulit, masalah pencernaan, hingga penyakit dalam.
Bahan obat itu terdiri dari 101 jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengobati 54 jenis penyakit. Selain itu, ada 9 jenis satwa yang organnya ampuh mengobati 11 jenis penyakit. Ada pula 27 jenis cendawan untuk mengobati 24 macam penyakit.
Bagian yang digunakan untuk bahan obat bervariasi. Mulai dari akar, kulit batang, daun, jamur, hingga organ tertentu pada satwa. Begitu pula cara pengolahannya yang beragam. Misalnya, bahan ditumbuk dan direbus, lalu air rebusannya diminum. Ada pula yang dibakar, dilayukan di atas perapian, atau langsung digosokkan ke bagian yang sakit.
Cendawan hahati yang diolah Tengganai Besemen setelah dianalisis oleh tim ekspedisi ternyata berkhasiat mengobati sakit kuning. Tim kemudian merekomendasikan cendawan itu berprospek untuk dikembangkan. Tidak hanya jamur hahati, puluhan jenis cendawan lainnya yang tersebar di TNBD juga dinilai berpotensi dikembangkan sebagai bahan obat.
Beragam tanaman tersebut diperkirakan mengandung zat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk sakit mata, kulit, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, luka luar, hingga penyakit dalam.
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas menindaklanjutinya dengan mengirim tanaman-tanaman tersebut ke Balai Tanaman Obat dan Obat Tradisional di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, untuk uji kandungan.
Selama delapan tahun, sebanyak 58 jenis selesai diuji kandungan kimianya. ”Masih terus berproses pengujian farmakologi untuk tanaman bahan obat lainnya,” kata Kepala Balai TNBD Haidir.
Salah satunya, sengkubung alias sengkrubungon yang digunakan Besemen untuk obat diare. Dari uji farmakologi, tanaman sejenis mahang itu mengandung flavonoid, saponin, polifenol, dan antraquinon.
Flavonoid berfungsi membantu tubuh menyerap vitamin C, mencegah dan mengobati alergi, infeksi virus, artritis, dan kondisi peradangan tertentu. Sementara itu, Saponin berfungsi sebagai antibakteri, antifungi, serta ampuh menurunkan kolesterol dalam darah dan menghambat pertumbuhan sel tumor.
Adapun polifenol merupakan antioksidan yang mengurangi angka kesakitan berbagai penyakit serius, seperti kanker, diabetes, infeksi, hingga hipertensi. Begitu pula antraquinon yang merupakan antijamur, antimalaria, antibakteri, antikanker, dan antioksidan.
Dengan demikian, hasil uji semakin menampakkan kandungan zat yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu. Bahkan, terungkap pula kandungan beragam senyawa lainnya. Dengan demikian, pemanfaatan tumbuhan tersebut bisa lebih luas lagi.
Berkhasiat Obat
Dalam rencana pengelolaan jangka panjang, Kepala Seksi Wilayah II Balai TNBD Saefullah menyebutkan, pihaknya menargetkan untuk lebih banyak lagi menguji tumbuhan obat serta cendawan, termasuk hahati.
Setelah uji farmakologi tuntas, masih diperlukan upaya untuk mengembangkan bahan-bahan itu sebagai obat paten. Bisa dibilang, jalan yang akan ditempuh masih sangat panjang.
Diperlukan rangkaian riset mengenai cara kerja obat, mengukur keamanan obat, efektivitas, serta perbandingannya dengan obat standar yang selama ini telah dikonsumsi. Seluruh hal ini tak mungkin dikerjakan sendiri. ”Perlu campur tangan negara dan kalangan saintis,” katanya.
Obat instan
Pemanfaatan tanaman obat menjadi jalan untuk melestarikan pengetahuan lokal dalam mengolah obat alam. Sepuluh tahun terakhir, Orang Rimba banyak diperkenalkan dengan obat-obatan dari luar. Proses instan dalam mendapatkan obat berpotensi menggerus tradisi pengolahan obat tradisional.
Salah satu warga di wilayah Kedundung Muda, Sianjar, menceritakan, kelompok itu telah difasilitasi layanan kesehatan gratis oleh pemerintah daerah.
Jika anaknya batuk, ia cukup membawanya ke puskesmas. Setelah mendapatkan obat, biasanya akan sembuh setelah meminumnya beberapa kali.
Tidak perlu repot mencari bahan obat alam ke dalam hutan. Apalagi, bahan-bahan itu pun belakangan semakin sulit didapatkan. ”Cari ubat jauh ke delom (dalam rimba). Mulai payah (sulit) carinya,” katanya.
Keragaman tumbuhan dan pemanfaatan obat alam ini bisa punah jika tidak dilestarikan. Pengetahuan lokal meramu pun terancam hilang.
Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan. Dalam rentang 20 tahun, ekosistem Bukit Duabelas menyusut 60.000 hektar. Tahun 1989, luas ekosistem hutan itu masih 130.308 hektar. Tahun 2009 tersisa 60.483 hektar. Tahun 2021, luasnya tinggal 48.796 hektar.
Menurut Saeful, demam sawit kian parah sejak harga sawit meroket pada April lalu. Dalam hitungan tiga bulan, pinggiran taman nasional itu tergerus setidaknya 100 hektar. Dibuka menjadi kebun sawit.
Ironisnya, sebagian warga Orang Rimba turut diperalat makelar dan pemodal untuk membuka hutannya sendiri.
Penyelamatan
Untuk menyelamatkan tumbuhan yang menjadi sumber obat-obatan, mulai ditangkarkan 35 jenis tanaman pada demplot seluas 1 hektar. Di sana ditanam sengkubung untuk obat diare, tanaman seluruh untuk obat melahirkan, kedondong tunjuk untuk obat disentri, tanaman pengendur urat untuk obat pegal-pegal, hingga tampui nasi untuk obat gatal-gatal.
”Tumbuhan ini untuk dimanfaatkan sebagai bahan riset dan bisa juga digunakan oleh Orang Rimba sendiri,” kata Wulandari Mulyani, Pengendali Ekosistem Hutan Balai TNBD.
Hal serupa dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Jambi. Penangkaran tanaman obat dan bunga-bunga bahan ritual dibangun sejak tahun lalu di empat lokasi.
”Ada 100 jenis tumbuhan yang diperlukan untuk kebutuhan ritual dan bahan obat-obatan, tetapi kondisinya telah terancam,” ujar Ketua AMAN Jambi Usman Gumanti.
Penangkaran dikembangkan di wilayah Air Itam, Bukit penghulu, Pematang Kabau, dan Padang Kelapo. Hasil penangkaran itu direncanakan untuk ditanam kembali di sekitar permukiman Orang Rimba.
Dengan demikian, Orang Rimba tak perlu jauh menjelajah untuk mencari bahan obatnya. ”Kalau bahan obatnya tersedia di sekitar hunian, Orang Rimba akan memanfaatkan dan menjaganya,” kata Usman.
Pengembangan di hilir kini dijalankan Universitas Jambi lewat program rumah obat herbal berbasis pengetahuan suku Anak Dalam. Sejumlah anak muda Orang Rimba disekolahkan di kampus itu. Lalu, mereka akan dilatih untuk mengolah bahannya.
Diajarkan pula cara pengolahan bahan obat dengan mesin agar lebih awet dan dapat diolah dalam kapasitas produksi yang besar. ”Ada yang diolah jadi serbuk, pil, hingga minyak gosok,” kata Dede Martino, Peneliti Teknologi Pertanian.
Ia pun mengakui, pengembangan ini masih akan menempuh jalan panjang. Namun, jika terus diperkuat, kata Dede, bukan tidak mungkin biodiversitas di Bukit Duabelas menjadi sandaran hidup masyarakat. Sebuah upaya penyelamatan ekosistem yang selaras dengan kehidupan Orang Rimba.
*Liputan ini merupakan Fellowship Biodiversity of tropical rainforests in Southeast Asia yang diselenggarakan The Southeast Asia Rainforest Journalism Fund (RJF) dan The Pulitzer Center.