Liputan6.com, Jambi - Menyusuri kampung tua bernama Dusun Guguk di Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi, bagai kembali menapaki jejak kehidupan masa lampau. Di kampung itu, rumah-rumah panggung tradisional beragam bentuk masih berdiri kokoh berjejal di antara jalan kampung.
Pada bagian bawah rumah panggung oleh pemiliknya dipakai menjadi dapur, juga untuk menyimpan kayu bakar dan hasil kebun. Namun ada bagian bawah rumah panggung beberapa telah dimodifikasi untuk tempat tinggal.
Menyongsong pagi di kampung ini, orang-orang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Bapak-bapak ada yang mulai berangkat ke kebun. Ada pula yang menghampiri perahu di pinggir sungai untuk mengais rejeki dari mencari batu kali di sungai Batang Merangin.
Anak-anak kecil berlarian dan bersepeda di jalan setapak, sementara di bagian salah satu belakang rumah, kaum ibu-ibu sedang sibuk memasak menu kenduri nanti malam. Sedangkan hampir setiap pekarangan rumah, sudah terbentang jemuran hasil pertanian, seperti biji kopi dan kakao.
"Ikolah gawe ibu-ibu tua di kampung seperti saya ini, setiap pagi menjemur kopi,” kata Nyai Timah Sapul, pertengahan April lalu. Sembari memegang garu, perempuan baya ini meratakan biji kopi di atas terpal. Hari itu ia sangat berharap pada terik matahari agar biji kopinya cepat kering.
Dusun Guguk menjadi bagian dari Desa Guguk. Desa ini adalah sebuah kampung adat setengah urban yang sampai sekarang masih menganut tatanan adat dan melestarikan Hutan Adat Guguk sebagai penyangga kehidupan.
Desa Guguk pada masa lalu pernah menjadi pusat pemerintahan marga Pembarap. Wilayah marga ini meliputi Desa Guguk, Parit Ujung Tanjung, Merkeh, dan Desa Air Batu. Mereka masih satu keturunan. Dalam catatan sejarah, masyarakat Guguk berasal dari keturunan Mataram (Jawa Tengah) dan Minangkabau.
Saya berada di tengah Desa Guguk, sebuah kampung yang warganya masih memelihara tatanan adat leluhur dan melestarikan kearifan lokal memanfaatkan hutan.
Pagi itu dari kejauhan riuh suara primata ungko dan siamang saling bersahutan di belantara hutan adat yang berada di seberang kampung. Iramanya yang melengking dari dalam Hutan Adat Guguk itu terdengar sampai ke dusun.
Hutan Adat Guguk seluas 690 hektare itu, berada di jantung Kabupaten Merangin ini merupakan hutan hujan tropis dataran tinggi dengan beragam satwa liar dan dialiri banyak sungai.
Bupati Merangin ketika itu Rotani Yutaka menetapkan wilayah Hutan Adat Guguk seluas 690 hektare. Hutan ini menjadi hutan adat pertama di Kabupaten Merangin.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund reporting across the world’s tropical rainforests. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Di sebelah timur tak jauh dari kawasan hutan adat, terhampar fosil-fosil purba Geopark Merangin. Sebagian besar masyarakat Guguk mencari nafkah melalui sektor pertanian, mulai dari bercocok tanam sampai buah-buahan, nyadap karet, dan mencari batu kali di sungai Merangin untuk kebutuhan sehari-hari.
Pengurus Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Guguk, Anshori mengatakan, masyarakat masih diperbolehkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) di kawasan tersebut. HHBK di kawasan hutan itu tanaman obat, lebah madu sialang, dan buah-buahan. Kemudian ada, rotan, jernang, dan petai.
Selain kaya akan potensi menghasilkan produk hasil hutan bukan kayu, hutan adat ini juga kaya akan tanaman obat seperti: daun puding dan setawas sedingin atau pasak bumi.
“Tapi masyarakat sekarang sudah jarang memanfaatkan tanaman obat, karena sudah banyak mengenal obat medis, apalagi Puskesmas di sini juga sudah dekat,” ucap Anshori.
Selain itu, di kawasan Hutan Adat seluas 690 hektare itu masih dapat dikelola. Secara adat sebut Anshori, terdapat berbagai jenis rimbo (hutan alam), yakni rimbo larangan (hutan primer), dan sesap rendah (belukar tinggi) serta sesap tinggi (belukar tua).
Sesap kata Anhosri, adalah ladang atau huma yang dulunya pernah ditinggalkan. Di kawasan sesap atau hutan sekunder di kawasan hutan adat, banyak terdapat jenis pohon buah seperti durian, duku, manggis, ambacang (sejenis mangga).
Sayangnya ketika saya bertamu ke Desa Guguk, musim panen buah masih berbilang bulan. Anshori menjelaskan, saat musim buah buah tiba akan banyak pondok-pondok kebun penduduk yang dijejali aneka buah yang baru jatuh dari pohon.
“Di desa kami ini, pohon buah tidak boleh dipanjat ataupun ditebang meskipun itu di kebun sendiri. Kalau memanjat berarti itu pelanggaran dan akan dikenakan denda kambing tiga ekor,” kata Anshori.
Mengelola kebun milik sendiri pun diatur. Di desa ini adat istiadat juga mengatur larangan membuka lahan baru dan tata cara menebang kayu. Ladang atau humo (sesap) yang telah ada di dalam kawasan hutan tidak boleh diperluas dan harus ditanami oleh tanaman keras.
Masyarakat adat di desa itu tak boleh ekspolitatif memanfaatkan hutan. Mereka harus mengikuti segala aturan adat, sebagaimana yang telah diwariskan oleh leluhur mereka terdahulu. Mereka mesti gotong royong dan saling bahu-membahu menjaga hutan.
“Intinya kita tidak boleh serakah kepada alam dan harus saling menjaga,” ujar Anshori.
Secukupnya
Siang hengkang dan sore pun datang beriring dengan gemuruh air di Sungai Merangin yang keruh itu. Ketika sore aktivitas penduduk mulai beralih ke sungai. Mereka ada yang mencari ikan, ada juga yang mandi dengan menceburkan ke air yang banyak dijejali batu sungai itu.
Proses mencari ikan di desa itu terbilang unik. Nelayan di sana menggunakan jaring dengan cara dipegang dan harus mengikuti derasanya aliran arus air. “Itu nama alatnya (jaring) magil, biasanya kalau air bening biasanya cari ikan dengan tembak atau ditombak,” kata Irgi, pemuda desa setempat.
Dari arah lain, terlihat seorang lelaki membawa bambu menggunakan sepeda motor. Sebelumnya bambu panjang sekitar lima meter dan memiliki diameter sebesar betis orang dewasa itu diambil dari kawasan hutan adat bagian sesap.
Bambu merupakan produk hasil hutan bukan kayu di hutan adat yang kerap dimanfaatkan warga. Warga di sana memanfaatkan bambu secukupnya untuk keperluan, entah itu untuk bahan membuat pagar atau kandang ayam.
“Ambil bambu cuma lima batang, ini buat kandang ayam,” ujar lelaki tua itu.
Hutan Adat Guguk merupakan hutan hujan tropis dengan tutupan vegetasi belantara yang masih tertutup rapat. Luas hutan ini mencapai 690 hektare, salah satu hutan menjadi penyangga hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di lanskap Bukit Barisan.
Hasil survei yang dilakukan kelompok pengelola hutan adat yang dibantu KKI Warsi, di hutan ini terdapat 84 jenis kayu, di antaranya kayu jenis kelas tinggi seperti pohon balam (Shorea spp), meranti (Shorea spp), kelapa tupai dan tembesi (Diospyros spp), mersawa (Anispotera spp).
Selain memiliki tutupan pohon yag masih rapat, lembaga konservasi KKI Warsi bersama World Agroforestry (ICRAF) pernah mengitung cadangan karbon yang tersimpan di hutan adat itu. Dari penghitungan dengan metode kaji cepat diketahui candangan karbon di Hutan Adat Guguk mecapai 251,25 ton per hektare.
Hutan Adat Guguk menurut Wakil Ketua KPHA Guguk, Razali, masyarakat tidak serta merta dilarang untuk memanfaatkan. Masyarakat Hukum Adat (MHA) Guguk masih bisa memanfaatkan hutan, namun diatur dengan aturan dan ketentuan yang ketat.
Selain diatur dalam aturan adat, pengurus hutan adat bersama pemerintah desa telah mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) No 2/2004 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Adat. Produk hukum desa ini lahir setelah keluarnya SK Bupati Merangin No 287/2003 tentang Pengukuhan Hutan Adat Guguk seluas 690 hektare.
“Umpamanya mau buat rumah atau fasilitas umum bisa mengambil kayu di hutan itu, tapi harus ada persetujuan dari KPHA, lembaga adat, dan pemerintah desa. Kayu diambil secukupnya dan untuk kebutuhan pribadi, bukan tidak boleh diperjualbelikan ,” ujar Razali.
Kemudian dalam Perdes itu diatur pula mengenai kuota tebangan dalam satu tahun, dan soal diameter dan jarak pohon dari badan sungai. Setiap satu batang pohon diganti dengan menanam lima pohon dan seterusnya.
Razali menyebut, kayu yang diambil harus berdiameter 180 centimeter ke bawah dan berad di atas 50 meter dari badan sungai. Selain menanam kembali, pemohon juga akan dikenakan membayar biaya bungo kayu sebesar 25 persen dari harga kayu. Bungo kayu merupakan istilah adat untuk pembayaran atas pengambilan kayu.
“Sampai sekarang belum ada kayu yang ambil, karena memang sekarang kebanyakan warga sini bangun rumah-rumah baru pakai tembok,” kata Razali.
Pohon Asuh, Ekowisata, dan Berharap Kontribusi Negara
Anshori memacu kuda besinya menuju hutan adat di Desa Guguk. Ia melewati jembatan gantung di atas Sungai Batang Merangin, untuk sampai di sebuah pondok. Dari sana, Anshori melanjutkan perjalanan kaki menuju Bukit Tepanggang.
Di pertengahan jalan menuju bukit itu, Anshori berhenti sejenak. Ia menepi ke sisi jurang. Anshori lalu menunjukan sebuah “pohon asuh” yang telah dilabeli “pohon asuh”. Pohon jenis kayu Manau ukuran keliling 514 centimer dan tinggi 40 meter itu diasuh oleh seorang warga negara Jepang bernama Han Seungwoo.
“Ini pohon asuh pertama, ini kodenya GGK 001A,” kata Anshori sembari melihat ke atas batang pohon.
Sejak beberapa tahun terakhir lembaga konservasi KKI Warsi bersama KPHA Guguk mengajak publik untuk turut serta mengelola hutan adat dengan cara merawat pohon.
Skema adopsi pohon ini akan membentuk dana yang akan dikucurkan kepada kelompok hutan adat. Sesorang bisa mendonasikan Rp200 ribu per tahun untuk mengasuh pohon. Dana hasil adopsi pohon ini akan diterima untuk menutupi biaya operasional kelompok pengelola hutan adat.
“Kami berkewajiban patroli, menjaga pohon, dan kemudian tim kami selalu melaporkan kondisi pohon yang diasuh kepada yang mengadopsi,” ujar Anshori.
Berdasarkan data situs pohonasuh.org sebanyak 208 pohon ditawarkan untuk diasih. Dari jumlah yang ditawarkan, saat ini sebanyak 50 pohon di Hutan Adat Guguk telah diasuh.
“Dengan mengasuh pohon di hutan adat ini, berarti kita memberikan dukungan langsung bagi masyarakat Guguk dalam menjaga hutannya,” kata Sukmareni Rizal, Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, sebuah organisasi non-pemerintah berbasis di Jambi, dalam sebuah wawancara.
Tak hanya program mengadopsi pohon, telah lama hutan adat ini dikembangkan sebagai destinasi ekowisata dan spot penelitian. Di hutan adat yang menyimpan keragaman sumber daya hayati itu mengundang wisatawan minat khusus.
Anshori menyebutkan, di hutan seluas 690 hektare itu potensi paket ekowisata yang ditawarkan meliputi: treking hutan alam, mengamati satwa langka, makam keramat, dan air terjun. Wisatawan akan diajak menjelejahi hutan yang dipandu oleh guide dari pengelola hutan adat.
“Biasanya yang banyak datang itu dari mahasiswa yang mau penelitian, karena ini wisata minat khusus yang datang sebagian besar peneliti,” ujar Anshori yang juga bertindak sebagai guide lokal itu.
Anshori menambahkan sejak pandemi Covid-19 melanda pada awal 2020, turut melumpukan wisata di hutan adat itu. “Sekarang sepi wisatawan yang datang,” ujar dia.
Anshori mengatakan, akibat pandemi itu juga berdampak pada ongkos patroli. Dengan kondisi tersebut, pihaknya bersama tim pengelola hutan adat harus memutar otak agar patroli tetap berlangsung, meski tidak serutin dulu.
Sementara itu, Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Jambi Bambang Irawan mengatakan, praktik pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan yang telah dilakukan masyarakat harus mendapat sokongan oleh pemerintah.
Menurut Bambang, saat ini sudah ada beberapa skema untuk mendapatkan kompensasi dari lembaga internasional. Misalnya Kata Bambang, bisa melalui skema REDD+ ataupun skema carbon trading.
“Harusnya memang seperti itu yang dilakukan kalau kita mau bicara pengelolaan hutan bekelanjutan, sehingga masyarakat mendapat kompensasi,” kata Bambang.
Wakil Ketua KPHA Guguk, Razali, berharap ada kontribusi ataupun apresiasi dari pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang telah setia menjaga hutan.
Pun hutan adat ini telah lama juga menjadi perbincangan dan sudah banyak penelitian dari yang dilakukan di hutan adat itu. Apalagi, dia yakin keberadaan hutan adat yang lestari menjadi bagian penting penyumbang paru-paru dunia.
Bukit Tepanggang--bagian eksotisme Hutan Adat Guguk yang hijau menjulang dan masih terjaga berkat masyarakatnya yang masih hidup dalam tatanan adat.
Pengelolaan Hutan Adat Guguk memang telah mengajarkan kita agar tidak serakah memanfaatkan hutan. Namun yang harus disadari masyarakat pengelola hutan ini masih membutuhkan kontribusi, sebab hutan ini masih menghadapi ancaman dari berbagai sisi.
“Tentu kami berharap ada sejenis reword lah kepada masyarakat yang sudah menjaga hutan,” ucap Razali. (Bersambung)
Ini adalah bagian kedua, dari seri tulisan tentang Hutan Adat Guguk: Harapan untuk masa depan hutan hujan di Sumatra yang tersisa. Simak laporan pendahulunya: Adat Terpatri, Hutan Lestari (I)