An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Community consumption patterns related to food intake are dominated by rice and flour in Indonesia's small islands. These foods are not local and must be imported from outside the region. Because of this dependency, they have increased food vulnerability and nutritional insecurity in the East Nusa Tenggara region.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Penyeragaman Konsumsi Meningkatkan Kerentanan Pangan dan Gizi di NTT
Keberagaman pangan lokal merupakan fondasi ketahanan pangan di Nusa Tenggara Timur yang beriklim kering. Namun, pola konsumsi masyarakat saat ini semakin didominasi beras dan terigu yang harus didatangkan dari luar wilayah sehingga meningkatkan kerentanan pangan dan gizi.
Menyusutnya keberagaman pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini diungkapkan para peserta semiloka ”Transformasi Sistem Pangan yang Berbasis Budaya, Berkeadilan dan Berkelanjutan” di Labuan Bajo, NTT, Senin (14/8/2023). Semiloka ini diselenggarakan sejumlah lembaga, di antaranya VCA, Koalisi Panganbaik, KRKP, Koalisi FOLU, dan WRI Indonesia, serta diikuti para pemangku kepentingan, baik unsur pemerintahan, swasta, maupun masyarakat.
Serfia Owa (59), petani yang juga Ketua Aliansi Perempuan Mandiri Manggarai Barat, mengatakan, anak-anak muda saat ini tidak lagi mengenal dan mengonsumsi pangan lokal. Bahkan, anak-anak saat yang diberi pangan lokal kerap menolak karena tidak terbiasa.
”Di kampung, anak-anak tidak lagi makan pangan-pangan lokal, lebih sering makan makanan instan. Saya kira ini juga terjadi di banyak kampung di NTT,” kata Serfia, yang tinggal di Kampung Munting Kajang, Desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo.
Perubahan pola konsumsi tersebut membuat NTT tergantung pangan dari luar, khususnya beras dan terigu, yang membuat provinsi ini rentan mengalami krisis pangan. ”Bulan April-Mei 2023 lalu, harga beras yang semula Rp 11.000 per kilogram menjadi Rp 15.000 per kg. Padahal, desa kami penghasil beras,” kata Ina Pagu (25), petani muda dari Desa Tal, Kecamatan Satar Mese, Manggarai.
Berdasarkan pantauan Kompas pada April 2023, krisis beras melanda di berbagai daerah di NTT. Di Kota Kupang, harga beras medium mencapai Rp 14.000 per kilogram. Bahkan, di Lembata harga beras mencapai Rp 17.000 per kilogram. Terjadi kenaikan harga Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kilogram.
Krisis beras ini terjadi karena NTT defisit beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada tahun 2022 hanya 442.842 ton, sementara itu tingkat konsumsi beras mendekati 1 juta ton per tahun.
Romo Inosensius Sutam, budayawan pangan dari Keuskupan Ruteng, yang menjadi salah satu pembicara dalam semiloka, mengatakan, wilayah NTT sebenarnya memiliki keberagaman pangan amat tinggi. Namun, belakangan pola konsumsi masyarakat menjadi seragam, di dominasi beras dari padi sawah. ”Padi (ladang) memang dibudidayakan sejak dulu, tapi jumlahnya terbatas dan biasanya hanya dikonsumsi di saat ritual atau acara-acara khusus,” katanya.
Di kampung, anak-anak tidak lagi makan pangan-pangan lokal, lebih sering makan makanan instan. Saya kira ini juga terjadi di banyak kampung di NTT.
Menurut dia, orang Manggarai itu awalnya membudidayakan padi dan beragam tanaman lain secara campuran di lahan kering. Baru pada 1930-an Belanda mengenalkan sistem sawah. ”Saat itu banyak orang Manggarai dikirim ke Bali dan Jawa Timur untuk belajar bersawah. Persawahan jaring laba-laba di Cancar itu diadopsi dari pembagian tanah lahan kering dan baru dimulai sejak itu. Orde Baru kemudian meneruskan kebijakan berasisasi ini sampai sekarang,” tuturnya.
Peralihan ke sawah menyebabkan keberagaman sumber pangan menjadi hilang. Menurut lnosensius, keberagaman sumber pangan di Manggarai itu tecermin dalam doa petani sebelum memulai tanam, yaitu loda wini woja, pau wini latun, wecak wini lempang, weri wini pesi, rendang wini sela, dorik wini hocu. Artinya, menanam padi (ladang), menaburkan jagung, menabur sorgum, yang diikuti jewawut. Selain biji-bijian ini, masyarakat juga membudidayakan aneka umbi-umbian yang tahan kering.
”Sekarang padi ladang, sorgum dan jewawut sudah hampir hilang. Padahal, beragam tanaman itu sangat tahan kekeringan,” ujarnya.
Pergeseran konsumsi
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional Rinna Syawal mengatakan, keberagaman pangan menjadi kunci bagi ketahanan pangan di daerah. ”Kalau semua daerah mengoptimalkan pangan lokalnya, seharusnya tidak ada kerawanan pangan,” ujarnya.
Meski demikian, pergeseran pola pangan di Indonesia diakui terus terjadi. Data tahun 2009 menunjukkan, pola konsumsi pangan di wilayah timur Indonesia masih beragam. Selain beras, juga masih dominan jagung, ubi kayu, ubi jalar, selain sagu. Namun, pada tahun 2020 konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi di Indonesia timur.
”Pangan lokal seharusnya bisa diintegrasikan dengan kegiatan wisata yang saat ini sudah tumbuh. Misalnya dinas pariwisata bisa mewajibkan hotel agar menyediakan pangan lokal. Seperti pagi ini, saya mencari makanan lokal untuk sarapan di hotel ini tidak ada,” katanya.
Tak hanya di perhotelan, di NTT sangat sulit mencari restoran yang menjual menu pangan lokal. Padahal, menurut Rinna, integrasi pangan lokal dan wisata juga bisa menggerakkan ekonomi. Dengan mendorong pangan lokal, usaha kecil menengah yang memproduksi pangan lokal juga akan tumbuh.
”Dari kesehatan, pangan lokal kualitasnya pasti lebih baik. Misalnya, pangan lokal tidak mengandung gluten sebagaimana terigu. Buah anggur impor yang kita beli hari ini bisa jadi dipanen sejak tahun lalu dan diawetkan, bandingkan dengan buah lokal yang segar,” tuturnya.
Irfan Martino, perencana di Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, yang juga jadi pembicara, mengatakan, meskipun masyarakat yang rawan pangan di Indonesia terus menurun, kerawanan gizi masih mengalami kenaikan. Kerawanan gizi ini di antaranya dipicu oleh pola pangan yang tidak beragam. ”Diperlukan peningkatan keragaman konsumsi kelompok pangan,” katanya.
Berbagai persoalan pangan saat ini menuntut adanya transformasi sistem pangan, sebagaimana diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 menyebutkan, transformasi sistem pangan sebagai salah satu prioritas nasional yang diarahkan menuju sistem pangan yang bergizi, inklusif, berkeadilan, berkelanjutan, dan berdaya tahan.
"Transformasi sistem pangan ini harus dibangun oleh sistem pangan lokal berbasis potensi lokalitas setempat,” katanya.