An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
In Indonesia, the rising global food prices, particularly for staples like rice, have created a significant challenge for vulnerable regions, including Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Wakatobi, and Kepulauan Mentawai. These small island communities depend heavily on food imports, which has made them especially susceptible to the current food crisis. The situation is exacerbated by a shift in dietary habits, with locals increasingly relying on rice and wheat, thus moving away from their traditional sources of nutrition.
However, this trend has not been met with an increase in local food production. Efforts such as paddy field printing and food estates have shown limited success, and some locations, like Konawe Selatan and Flores Timur, have witnessed failures. Data from the National Food Agency indicates a significant rice deficit in these regions, leading to extensive rice imports from other parts of Indonesia, such as Sulawesi Selatan and Java.
As rice prices continue to reach historic highs, the people in these island regions are forced to pay more for their staple food, compared to the national average. Consequently, this situation is not only a food security concern but also negatively impacts the health of the population, particularly children, as reflected in higher rates of malnutrition in these areas.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan
Masyarakat di pulau-pulau kecil paling rentan terdampak krisis pangan karena harus membayar lebih mahal. Namun, kualitas gizi anak dan kesehatan mereka rata-rata rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi harga pangan di dunia telah meningkatkan kerawanan global, termasuk Indonesia yang pasokan pangan pokoknya bergantung pada impor. Masyarakat di pulau-pulau kecil berada di garis depan yang paling rentan terdampak krisis ini karena harus membayar pangan lebih mahal. Namun, kualitas gizi anak dan kesehatan rata-rata mereka lebih rendah dibandingkan nasional.
Untuk mengetahui situasi pemenuhan pangan di pulau-pulau kecil ini, Kompas melakukan peliputan lapangan di tiga kepulauan, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, pada Agustus hingga awal Oktober 2023. Peliputan yang didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center ini juga mengungkap implikasi sistem pangan nasional yang cenderung mengabaikan keberagaman sumber pangan lokal.
Secara tradisional, ketiga kepulauan ini memiliki keberagaman sumber dan budaya pangan lokal. Wawancara dan analisis data statistik menunjukkan terjadinya pergeseran pola konsumsi, menyebabkan warga di kepulauan tersebut bergantung pada beras dan terigu.
Data yang diolah dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan, konsumsi per kapita beras di NTT pada tahun 2022 mencapai 111,67 kg per tahun, terigu 8,6 kg per tahun, jagung 12,21 kg per tahun, singkong 10,29 kg per tahun, dan ubi jalar 1,4 kg per tahun. Kemudian kentang 0,35 kg per kapita per tahun, sagu 0,05 kg per kapita per tahun, dan umbi lainnya 2,07 kg per kapita per tahun.
Di Sultra, konsumsi beras pada tahun 2022 mencapai 100,27 kg per kapita per tahun, terigu 15,1 kg per kapita per tahun, ubi jalar 2,29 kg per kapita per tahun, kentang 0,25 kg per kapita per tahun, sagu 3,88 kg per kapita per tahun, dan umbi lainnya 0,47 kg per kapita per tahun. Data menunjukkan, konsumsi terigu menjadi yang terbanyak kedua setelah beras, menggeser ragam pangan lokal lain.
Konsumsi beras tertinggi di Sultra juga terjadi di pulau-pulau kecil dengan produksi padi terbatas, seperti Buton Utara mencapai 113,56 kg per kapita per tahun dan Muna Barat 111 kg per kapita per tahun, berikutnya Wakatobi 107,4 kg per kapita per tahun.
Di Mentawai, konsumsi beras pada 2022 sebesar 71,05 kg per kapita per tahun, terigu 12,95 kg per kapita per tahun, jagung 0,11 kg per kapita per tahun, singkong 12,12 kg per kapita per tahun, ubi jalar 5,42 kg per kapita per tahun. Selain itu, kentang 2,02 kg per kapita per tahun, sagu 20,8 kg per kapita per tahun, dan umbi lain 24,49 kg per tahun.
Pergeseran pola konsumsi dari pangan lokal ke beras di kepulauan tidak diikuti oleh peningkatan produksi. Sejumlah proyek cetak sawah dan food estate di kepulauan ini tidak menunjukkan hasil signifikan. Bahkan, beberapa lokasi yang dikunjungi, seperti Konawe Selatan, Flores Timur, Siberut, termasuk food estate jagung yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Maret 2022 di Belu (NTT), menuai kegagalan.
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT menunjukkan, produksi beras di NTT pada tahun 2022 hanya 430.948,5 ton, jauh di bawah konsumsi yang mencapai 642.367,53 ton. Defisit beras dipenuhi kiriman dari luar, terutama dari Sulawesi Selatan dan Jawa.
Pergeseran pola konsumsi yang telah menyebabkan tingginya konsumsi beras itu salah satunya disebabkan anggapan bahwa beras adalah makanan kelas satu. ”Jadi, kalau belum makan nasi itu dianggap belum makan,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky F Koli.
Defisit beras juga terjadi di Mentawai. Menurut Kepala Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai Andre Kasianus, pada tahun 2021 jumlah produksi beras di Mentawai 1.005 ton. Sementara kebutuhan beras tahun itu sekitar 9.678 ton.
”Beras yang bisa dipenuhi dari sawah-sawah di Mentawai baru sekitar 10,38 persen dari kebutuhan. Berarti, sekitar 89,6 persen harus dipasok dari daerah luar Mentawai,” kata Andre.
Di level provinsi, selama dua tahun terakhir, Sultra masih surplus beras. Namun, pulau-pulau kecilnya rata-rata defisit beras. Misalnya, Kepulauan Wakatobi sama sekali tak menghasilkan beras, tetapi konsumsinya terus meningkat dari 9.169 ton pada 2019 menjadi 11.761 ton pada 2022.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah saat diwawancara, Sabtu (14/10/2023), mengatakan, defisit beras juga terjadi secara nasional karena luas produksi tanaman padi terus menurun dan produktivitas stagnan, bahkan cenderung turun. Indonesia pun akhirnya bergantung pada pasokan beras impor.
”Harga beras yang saat ini mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah harus jadi alarm untuk tidak bergantung pada komoditas pangan beras saja. Dengan tren iklim ke depan, risiko penurunan produksi beras akan meningkat, apalagi sebagian sawah kita masih tadah hujan. Begitu ada El Nino, dampaknya sangat terasa,” tuturnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi beras nasional dalam satu dekade terakhir juga turun. Produksi nasional pada 2013 sebesar 71,3 juta ton gabah kering giling (GKG), tahun 2014 sebesar 70,8 juta ton GKG, tahun 2015 sebesar 75,4 juta ton GKG.
Lima tahun kemudian, pada 2020, produksi beras turun menjadi 54,6 juta ton GKG, pada 2021 jadi 54,4 juta ton GKG, dan 2022 sebesar 54,7 juta ton GKG.
”Selama periode Presiden Joko Widodo, sejak 2015 hingga 2022, produksi beras nasional telah turun 1,7 persen atau rata-rata 0,21 persen per tahun,” kata Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa. ”Situasi lebih mengkhawatirkan dengan tren peningkatan konsumsi terigu yang sangat tinggi.”
Pada tahun 1970-an, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia baru 4 persen, pada tahun 2010 telah menjadi 18,3 persen, tahun 2020 mencapai 26,6 persen, dan 2021 mencapai 28 persen. ”Jika tren ini tumbuh terus, pada tahun 2050 konsumsi terigu sebagai pangan pokok Indonesia bisa mendekati 50 persen dan itu 100 persen dari impor,” lanjutnya.
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Rinna Syawal mengatakan, pergeseran pangan lokal ke beras dan terigu di Indonesia memang mengkhawatirkan. Secara nasional, pada tahun 2009 pola konsumsi pangan di wilayah timur Indonesia, masih beragam. Selain beras, juga masih dominan jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sagu. Namun pada tahun 2020, konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi di hampir seluruh Indonesia.
Menurut Rina, keberagaman pangan merupakan kunci bagi kemandirian pangan nasional dan ketahanan pangan di daerah. "Kalau semua daerah mengoptimalkan pangan lokalnya, seharusnya tidak ada kerawanan pangan," kata dia.
Secara regulasi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengamanatkan bahwa penganekaragaman pangan wajib dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah. "Penganekaragaman pangan harus berbasis pada potensi lokal. Ini kemudian diterjemahkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015, bagaimana penagkeragaman dilakukan untuk menyediakan pangan bergizi dan aman," kata dia.
Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa pangan lokal semakin tergusur. "Saat ini, kami mencoba untuk menerjemahkan melalui penyusunan rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan berbasis potensi sumber daya lokal," kata dia.
Membayar lebih mahal
Masyarakat di kepulauan merasakan dampak terbesar dari politik pangan yang abai terhadap ragam pangan lokal. Di tengah kenaikan harga beras seperti saat ini, penduduk di kepulauan ini harus membayarnya dengan lebih mahal dibandingkan rata-rata nasional.
Panel Harga Bapanas pada Jumat (13/10/2023) menunjukkan harga eceran beras premium mencapai Rp 15.060 per kg dan beras medium Rp 13.260 per kg. Akan tetapi, beras di ketiga wilayah kepulauan ini rata-rata lebih tinggi.
Di Pasar Kasih, Kota Kupang, pasar tradisional terbesar di NTT, harga beras medium Rp 13.500 per kg. Adapun di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, harga beras medium mencapai Rp 14.000 per kg. Harga ini berlaku di pelabuhan pintu masuk beras dari luar daerah. Harga di pedalaman Adonara telah mencapai Rp 16.000 per kg. ”Masyarakat sudah telanjur bergantung (pada beras). Harga mahal pun tetap dibeli,” ucap Tina Kewa, warga Adonara.
Di Kendari, Sultra, harga beras kualitas medium Rp 14.000 per kg dan kualitas premium sekitar Rp 15.000 per kg. Namun, di pulau-pulau kecil di Sultra jauh lebih tinggi.
Dwi Basuki (42), pedagang makanan di Wangi-Wangi, Wakatobi, mengungkapkan, tiga hari lalu dirinya membeli beras dengan harga Rp 720.000 per karung (50 kg) atau Rp 14.400 per kg. ”Harga beras eceran bisa lebih tinggi. Di berbagai toko, harga beras sudah Rp 18.000 hingga Rp 20.000 per kg,” ucapnya.
Lonjakan harga beras juga terjadi di Mentawai. Di Pasar Muara Siberut, Kepulauan Mentawai, harga beras premium saat pemantauan di lapangan pada akhir September 2023 telah mencapai Rp 18.000 per kg. Sementara itu, beras medium mencapai Rp 15.500 per kg.
Di pedalaman Mentawai, harga beras lebih mahal lagi. Di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Siberut Selatan, harga beras medium mencapai Rp 17.000 per kg. ”Kenaikan harga beras kali ini paling tinggi. Saat Covid-19 saja paling mahal cuma Rp 13.000-Rp 14.000 per kg,” kata Afriadi Satoinong (36), pemilik warung di Dusun Bekkeiluk.
Ketika harga beras melonjak tinggi, harga pinang yang menjadi komoditas utama di Pulau Siberut justru turun hingga hanya Rp 1.000-2.000 per kg, sedangkan pisang susah dijual karena kapal jarang masuk akibat ombak tinggi.
Ekonom pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, situasi pangan di pulau-pulau kecil menunjukkan adanya ancaman terhadap ketahanan pangan. Mengacu pada definisi dalam UU No 18/2012, ukuran ketahanan pangan nasional menggunakan tiga dimensi, yakni ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, serta pemanfaatan pangan. ”Yang terjadi saat ini, terjadi ancaman terhadap aspek affordability dan availability dari pangan. Affordability berarti warga tidak bisa beli beras karena mahal dan availability karena ketersediaan pangan terbatas,” katanya.
Kasus tengkes tinggi
Pergeseran pola konsumsi masyarakat ini juga turut memicu masalah kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar dan Survei Status Gizi Indonesia Kementerian Kesehatan menunjukkan, ketiga wilayah kepulauan ini memiliki kualitas kesehatan anak balita yang lebih buruk dibandingkan rata-rata nasional.
Angka anak balita tengkes (stunting) di Kepulauan Mentawai pada tahun 2021 mencapai 27,3 persen dan naik menjadi 32 persen pada 2022. Sementara anak balita kurus (wasting) di Mentawai pada tahun 2021 sebesar 7,4 persen menjadi 7,8 persen pada 2022. Untuk anak balita gizi kurang pada 2021 sebesar 22,4 persen menjadi 21,4 persen pada 2022.
Sebagai perbandingan, angka tengkes nasional pada 2022 sebesar 21,6 persen. Adapun anak balita kurus 7,7 persen dan gizi kurang 17,1 persen.
Data tengkes di Mentawai menunjukkan bahwa pergeseran pola konsumsi penduduk dari pangan lokal ke beras tidak mengurangi risiko tengkes. Hal ini terlihat di Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, yang sebagian besar penduduknya mengonsumsi beras, meninggalkan pangan lokal keladi dan pisang.
Data Posyandu Keret Baga, Dusun Sinaka, pada Juni 2023 menyebutkan, 7 dari 19 anak balita atau 36,84 persen mengalami tengkes, merupakan yang tertinggi di Mentawai. Sebagian besar penduduk di Pulau Simatapi, pulau kecil di arah selatan Pulau Pagai Selatan, sebenarnya memiliki sawah. Namun, hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga mereka tetap harus membeli beras. Selain itu, meskipun tinggal di pesisir, tidak semua keluarga terpenuhi asupan proteinnya.
Salah seorang ibu dengan anak balita tengkes di Dusun Sinaka adalah Wasnida Saogo (24). Pertambahan tinggi dan berat badan putri bungsunya tersendat sejak usia dua tahun. Ibu lima anak ini mengakui, keluarganya jarang mengonsumsi protein meskipun suaminya nelayan penangkap gurita.
Wasnida, Sabtu (17/6/2023), mengatakan, semua gurita hasil tangkapan dijual kepada pengepul yang juga pemodal. Uangnya dibelanjakan untuk keperluan sehari-hari, termasuk membeli beras, sabun, dan bumbu dapur. Komoditas itu relatif mahal bagi warga dusun ini karena didatangkan dari Padang melalui Sikakap.
”Dalam seminggu, kadang cuma sekali makan ikan. Kadang makan sayur saja setiap hari, tidak pakai lauk. Sayur pucuk ubi (daun singkong) dan kangkung,” ujar Wasnida, yang sehari-hari bekerja menggarap sawah dan ladang.
Wasnida dan kelima anaknya baru makan ikan jika suaminya memancing di sela-sela kesibukan menangkap gurita. Sementara uang bantuan dari program Kartu Keluarga Sejahtera Rp 100.000 per bulan yang diterima setiap empat bulan dipakai untuk membeli beras.
Di NTT, prevalensi anak balita tengkes pada 2021 sebesar 37,8 persen dan pada 2022 sebesar 35,3 persen. Prevalensi anak balita kurus pada 2021 sebesar 10,1 persen dan 2022 sebesar 10,7 persen, dan anak balita kurang gizi pada 2021 sebesar 29,3 persen dan tahun 2022 sebesar 28,4 persen.
Untuk Wakatobi, prevalensi tengkes pada 2021 sebesar 26 persen dan 2022 sebesar 29,9 persen. Adapun anak balita kurus 7,4 persen (2021) dan 7,8 persen (2022). Anak balita kurang gizi pada 2021 sebanyak 24 persen, turun menjadi 21,2 persen pada 2022.