An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
In February 2023, two residents of the Mohuta neighborhood on Wakatobi Island, Southeast Sulawesi, tragically died after consuming puffer fish, which is known to be highly toxic. Despite the risks, individuals like Hamusiu and Leno continue to prepare and cook this potentially dangerous species of fish, a local delicacy in Wakatobi. They shared their knowledge of how to safely process and consume puffer fish.
Puffer fish, also known as buntal, contains tetrodotoxin (TTX), an extremely deadly toxin to both fish and humans. The toxin can block sodium channels, leading to gastrointestinal, neurological, and cardiac symptoms, and there is currently no known antidote. Deaths from puffer fish consumption have been reported in Indonesia, including cases in Lembata, Lombok, and Sikka.
In Wakatobi, locals have traditionally consumed puffer fish, emphasizing the importance of proper preparation and knowledge to remove the toxins. The process includes meticulously cleaning and removing specific parts of the fish, such as entrails, eggs, skin, and bile. After thorough cleaning, the fish is cooked and served, with the result described as delicious, similar in texture to chicken but without a fishy taste.
The fish can be safely consumed, and respect and appreciation for the unique cultural knowledge and traditions associated with it have been passed down through generations.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Nikmat dan Cemas Saat Sarapan Buntal
Masyarakat Wakatobi secara turun-temurun memiliki pengetahuan mengolah ikan buntal, yang mengandung racun tetrodotoksin.
Februari 2023 lalu, dua warga lingkungan Mohuta di Wangi-Wangi Selatan, Pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara, meninggal dunia karena mengonsumsi ikan buntal, spesies yang disebut-sebut paling beracun di lautan. Salah satu korban itu dikuburkan persis di samping dapur tempat Hamusiu (40) mengolah dan memasak spesies ikan yang sama untuk sarapan pada Jumat (1/9/2023) pagi.
”Mereka yang meninggal itu sebelumnya sudah berkali-kali mengolah dan makan buntal juga. Mungkin lagi apes saja,” kata Hamusiu, sambil bersiap mengolah ikan buntal.
Sambil menceritakan tragedi itu, Hamusiu meletakkan ikan buntal segar seukuran betis orang dewasa dan panjang 40 sentimeter di atas loyang. ”Itu kuburan salah satu almarhum,” katanya sambil menunjuk nisan batu di samping dapurnya. Suaranya datar. ”Kebetulan salah satu korban itu masih famili.”
Menurut Hamusiu, hari itu, korban mengolah ikan buntal bersama enam lelaki Wangi-Wangi yang lain. Satu orang meninggal dunia di tempat, satu orang lainnya meninggal saat dibawa ke rumah sakit.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Leno (41), rekan Hamusiu, mengatakan, korban sebenarnya sudah terbiasa mengolah ikan buntal. ”Mereka mungkin lagi lengah saja karena sambil minum-minum (beralkohol). Setelah makan, sambil duduk-duduk, dua orang itu melihat masih ada bagian telur tersisa dan coba-coba membakarnya. Padahal bagian itu tidak boleh dimakan,” kata Leno (41), rekan Hamusiu.
Ikan buntal (Tetraodontiformes) di Wakatobi disebut lombe jika masih kecil. ”Kalau sudah besar seperti ini disebut nona’a,” kata Leno.
Nama buntal sendiri bermakna gembung atau buncit karena ketika disentuh ia akan mengembung hingga menyerupai bola. Namun, jangan tertipu dengan tampilannya yang menggemaskan itu.
Buntal mengandung racun tetrodotoksin(tetrodotoxin/TTX) yang sangat mematikan bagi ikan lain dan manusia. Toksin tersebut dapat memblokir saluran natrium yang menyebabkan gejala gastrointestinal, neurologis, dan jantung pada pasien keracunan. Saat ini belum ada obat penawar yang diketahui.
Dalam beberapa literatur, tetrodotoksin dalam buntal mampu melumpuhkan hingga membunuh 30 orang dewasa dalam sekejap. Racun buntal yang disebut ratusan kali lipat lebih berbahaya dari sianida ini juga tidak bisa hilang dengan dimasak.
Di Indonesia, kematian akibat ikan buntal juga sudah berulang terjadi. Misalnya, pada Desember 2021, dua orang di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal dunia setelah mengonsumsi buntal. Pada Agustus 2021, seorang bocah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), meninggal dan pada Mei 2021, empat orang di Sikka (NTT) meninggal dan delapan lainnya dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi ikan ini.
”Di Wangi-Wangi juga ada beberapa kasus kematian karena ikan buntal, tapi jarang juga. Dulu pernah juga meninggal satu keluarga,” kata Leno.
Menurut Leno, buntal memang berbahaya. Namun, bukan berarti buntal tidak bisa dimakan. ”Orang-orang Wakatobi dari dulu sudah mengonsumsi ikan ini. Asal tahu mengolahnya, ikan ini paling enak dari semua jenis ikan. Kuncinya adalah dengan membuang racunnya sebelum diolah,” kata Leno, yang memiliki warung makan ikan bakar di pusat Kota Wangi-Wangi.
Menjadikan buntal ikan
Menurut Leno, dalam kepercayaan orang Wakatobi, semua ikan di laut sebenarnya bisa dimakan. ”Yang tidak aman dimakan, berarti bukan ikan. Mengolah lombe agar bisa dimakan, artinya menjadikannya sebagai ikan,” katanya.
Sambil bercerita, Leno mengangkat ikan buntal dari loyang dan membalikkan tubuhnya. Dia mencermatinya baik-baik ikan dengan kulit bintik hitam dan kuning itu. Melihat motif kulitnya itu, buntal tersebut merupakan jenis buntal pisang (Tetraodon lunaris).
Menurut riset Ginanjar Pratama, dkk dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB University (Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia/JPHPI, 2014), buntal pisang termasuk sangat beracun. Namun, di sisi lain, ikan ini juga memiliki protein yang cukup tinggi. Kandungan asam amino ikan buntal pisang yang tertinggi adalah asam glutamat yang menyebabkan rasa dari daging ikan ini sangat lezat.
”Dari yang saya pelajari, pertama-tama yang harus dilihat fisiknya. Kalau giginya menyatu, tidak ada belahan, artinya itu bukan ikan. Tidak boleh dimakan,” kata Leno.
Hamusiu memeriksa sekali lagi ikan itu sebelum mulai mencuci ikan itu dengan air kran. Setelah dicuci bersih, ia mengangkat ikan dan menghadapkan kepala ke arahnya sehingga terlihat jelas gigi runcing buntal. Perlahan, dia melepas kulit ikan, tanpa tersisa. Urat-urat halus di bagian kepala ikan juga dibersihkan dengan telaten.
Ia lalu membelah bagian insang ikan ini menjadi lebih besar. Di bagian ini, ia mengeluarkan beberapa parasit, hampir sebesar kecoak, berwarna putih yang hidup di dalam insang ikan ini.
”Kalau orang tua bilang, ini ikan yang beda karena insangnya kecil. Biar jadi ikan yang utuh, insangnya dibelah, dibuat lebar seperti ikan pada umumnya. Di situ jadi ikan yang sebenar-benarnya,” ujar Hamusiu.
Setelahnya, ia membelah tubuh ikan. Dua kantong berwarna kuning segera dibuang. ”Ini telurnya, salah satu bagian paling beracun,” tambahnya. Ia segera memasukkan telur ikan tersebut bersama isi perut lainnya ke dalam kantong plastik untuk dikuburkan.
Dengan hati-hati, Hamusiu meraba bagian dada ikan itu. Tepat di ujung tulang dekat kepala, ia menunjukkan beberapa butiran seukuran merica. Dalam bahasa setempat, bagian ini disebut fofatu. Ini adalah bagian yang dipercaya paling beracun, selain isi perut, telur, dan kulit.
Pengetahuan yang diwariskan
Tuntas membersihkan bagian perut, ia mengambil empedu dan mengirisnya dengan pisau sebelum menumpahkan cairannya ke tubuh ikan. Bagian dalam empedu juga disapukan di sekeliling tubuh ikan.
”Ini yang diajarkan orang tua. Empedunya mungkin untuk menetralkan racun yang tersisa. Jadi, kami ikuti semua tahapannya. Mungkin di tempat lain beda cara,” tutur Hamusiu. ”Sekarang sudah jadi ikan dia.”
Sekali lagi dia mencuci ikan itu hingga bersih. Leno kemudian mengambil alih proses pemotongan. Jemarinya lincah mencacah daging ikan.
Kuali pun diisi air dan direbus di atas kompor. Irisan bawang merah, cabai, kunyit bubuk, tomat, dan aneka bahan lain segera dimasukkan ke dalam air yang mendidih. Di kompor yang lain, kelapa parut disangrai di atas wajan. Bau harum menguar.
Daging ikan dimasukkan bersama daun kedondong hutan ke dalam kuali. Daun ini dikenal menjadi bahan bumbu masak di Sultra yang memberikan rasa asam yang segar dalam masakan.
Sekitar 20 menit proses masak berlangsung, buntal pun disajikan. Tampilannya menggoda dengan taburan kelapa sangrai di atasnya. Wangi bawang, berbagai rempah, dan daun kedondong hutan mengisi udara. Soami atau olahan singkong menjadi pendamping.
”Kami menyebutnya ikan ayam karena rasanya yang mirip ayam,” kata La Hambe-hambe (75), ayah Hamusiu yang pertama kali mencicip masakan itu. ”Insya Allah ikan ini sudah aman dimakan, silakan dicicipi.”
Memakan dengan gentar
Rasa ngeri segera berganti nikmat. Tekstur ikan ini memang serupa daging ayam, tetapi dengan tingkat kekenyalan yang lebih terasa. Berbeda dengan ikan pada umumnya, daging lombe ini tidak amis. Kuah masakan juga turut menambah selera.
Pantas saja, restoran-restoran di Jepang biasa menjual menu ikan buntal, atau di sana disebut fugu, hingga jutaan rupiah per porsi. Hanya restoran bersertifikat khusus dan koki yang terlatih pula yang boleh menjual menu fugu di Jepang.
Namun, di Wakatobi, ikan ini bisa disajikan di rumah-rumah warga untuk sarapan hingga makan malam. Menurut La Hambe-hambe, kemampuan mengolah lombe diperoleh secara turun-temurun. Sejak kecil, keluarganya telah mengolah ikan ini menjadi makanan. Tidak untuk acara tertentu, tetapi diolah ketika ikan ini ditangkap.
”Tapi, kami juga tidak sembarang makan. Kalau yang mengolah bukan orang yang kami kenal, kami tidak berani makan. Untuk olah ikan ini butuh pengetahuan khusus,” ujarnya.
Salah satu syarat utama mengolah lombe, tuturnya, adalah memperlakukan ikan dengan hormat. ”Kami berani makan karena orang tua telah mengajarkan sejak dulu. Dan seperti makhluk hidup lainnya, lombe juga harus dihormati dan dihargai. Kami memperlakukannya dengan layak,” tutur La Hambe-hambe.