An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Media Indonesia, follows.
On the slopes of Mount Lawahing, Alor Regency, Teofilus Tapaha and Betseba MoU utilize two hectares of fertile land inherited from their parents for gardening, which is blessed by the abundant Halhili spring. They grow a variety of crops such as taro, corn, bananas, and care for plantation crops. Their harvests help fulfill the family's economy.
Halhili spring comes out of a crevice in the rocks and roots of the trees in the surrounding forest. Locals are not allowed to move rocks or cut down trees around the spring to keep it abundant. Water from Halhili is used by farmers to irrigate horticultural crops in the vicinity and is used as raw water in several villages on the edge of the forest through pipes.
The social forestry program provides access to communities to manage forests and land on the condition that they do not damage them. Violations such as burning or cutting down trees can face criminal charges in court.
Despite seasonal changes and ecological challenges, farmers in the region continue to protect the forests and springs that are precious to them.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund more than 170 reporting projects every year on critical global and local issues. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Merindu Air di Lereng Gunung Lawahing
Larangan memindahkan batu dan menebang pohon melindungi mata air di lereng Gunung Lawahing, Kabupaten Alor, tetap terjaga.
BAGI pasangan suami-istri, Teofilus Tapaha, 65, dan Betseba MoU, 58, berkebun di lereng Gunung Lawahing merupakan berkah tersendiri. Lawahing berada di sisi barat Kelurahan Kalabahi Tengah, Kecamatan Teluk Mutiara,Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Tanahnya subur sehingga tidak butuh pupuk untuk menyuburkan tanaman dan ketersediaan air yang melimpah. Lokasi kebun seluas dua hektare ini warisan orangtua Teofilus, berjarak 500 meter dari mata air Halhili.
“Kami sangat terbantu dengan air dari Halhili, tidak pernah mengering,” kata Teofilus Tapana.
Tiga tahu lalu, setelah Teofilus Tapaha pensiun sebagai guru di kota, ia bersama istri membangun gubuk di tengah kebun itu untuk berteduh dan mulai bercocok tanam serta beternak babi.
Mereka juga menanam talas, jagung, pisang, dan merawat tanaman perkebunan yang sudah ada seperti kopi, mangga, sukun, jeruk, pisang, dan kelapa. Saban pagi, mereka datang ke kebun dan pulang jelang petang ke rumah yang berjarak dua kilometer, sambil membawa hasil kebun untuk dijual ke pasar.
Satu kantong bunga pepaya, satu ikat jagung dan pisang masing-masing akan dijual ke pasar seharga Rp5.000, sedangkan sukun dijual Rp10.000 per buah. Menurut Teofilus hasil kebunnya mampu memenuhi perekonomian keluarga.
Seperti kemunculan mata air lainnya di kawasan hutan itu, mata air Halhili juga keluar dari celah bebatuan dan akar pepohonan. “Dengar itu suara gemuruh air dari akar pohon,” kata Marcianus Moto sambil menunjuk ke arah sebuah pohon berukuran besar.
Dia bersama Dalo dan Os, rekannya menenami perjalanan Media Indonesia ke mata air Halhili siang itu. Gemuruh air seperti itu pertanda air yang memancar keluar dari dalam bumi sangat kencang.
Marcianus menyebutkan warga tidak boleh memindahkan batuan atau menebang pohon, tempat mata air itu muncul. Tujuannya mencegah mata air hilang atau mati. Mengalir lewat sungai, air Halhili bebas dimanfaatkan petani untuk mengairi tanaman hortikultura di kebun yang ada di beberapa titik di bantaran sungai, termasuk Teofilus Tapaha bersama sang istri.
Barulah di wilayah bernama Tombang, air dialirkan lewat pipa untuk kebutuhan air baku di empat kampung di pinggir hutan, yaitu Bor Wehe, Bor Po’o, Bapa Mihi dan Sabunga.
Perhutanan sosial
Kepala Tata Usaha Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Alor, Marten Keti menyebutkan lewat program perhutanan sosial, masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan, diberikan akses mengelola hutan dan lahan.“Boleh kelola hutan dan Berkebun, tetapi tidak boleh merusak,” katanya.
Perusakan hutan seperti pembakaran dan penebangan pohon, jika pelakunya tertangkap, siap-siap menghadapi tuntutan pidana di pengadilan. Pernah pada 2019, seorang petani asal Kecamatan Alor Barat Daya membakar semak di kebunnya. Namun, api tidak terkendali dan merembet ke kawasan hutan hingga menimbulkan kebakaran besar. “Hasil panen kemiri milik petani lainnya ikut terbakar sehingga petani ini dipenjara,” ujarnya.
Lain halnya Markus Owkoil, petani yang bermukim di pinggir hutan Gunung Kabola serta suami istri Basanial Ouw dan Naema Tanglo yang bermukim di Gunung Alila, dua gunung yang mengapit Lawahing. Mereka tidak ingin membuka kebun dengan cara membakar.
Apalagi, puncak kemarau seperti saat ini dan hembusan angin kencang membuat api cepat membesar dan merembet ke manamana, menimbulkan kerugian ekologis dan musnahnya flora dan fauna.
“Nenek moyang kita sampai orangtua selalu berpesan jangan tebang pohon di pinggir kali dan jangan membakar hutan,” kata Markus Owkoil.
Ia menginginkan kelak datang lagi ke Halhili atau ke dua gunung di sekitarnya, masih bisa menikmati teduhnya hutan, kicauan burung, dan gemuruh air mengalir melalui sungai ke kampung-kampung nun jauh di kaki gunung itu. (N-1)
Ujian berat menjaga siklus air di Rote
JIKA petani tidak melawan penyedotan air oleh pengusaha, bisa jadi mata air Oemau di Kelurahan Mokdale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, tinggal kenangan.
Pasalnya setiap hari, tidak kurang 50 truk tangki berkapasitas 5.000 liter menyedot air secara bergantian untuk dijual yang mem buat mata air sempat mengering.
Pasokan air baku ke 4.000 keluarga pengguna air ikut tersendat dan ribuan areal persawahan di wilayah itu terganggu, yaitu Halkasa, Ndu Dale, Alukama, Alukama Konak, dan Alukama Kik.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup, Rote Ndao, Leksi Foeh mengisahkan perlawanan 203 petani pada 2016 sebagai terobosan berharga yang membuat air Oemau masih mengalir sampai sekarang. “Waktu itu bupati setuju dengan tuntutan petani menghentikanpenyedotan air,” cerita Leksi Foeh.
Selanjutnya, bupati mengeluarkan aturan untuk memperkuat larangan tersebut.
Terletak di tengah kota, Air Oemau dikenal sebagai satu-satunya mata air terbesar di Lobalain, dengan debit 54 liter per detik. Air ditampung di kolam yang luas sekaligus sebagai tempat pemandian, mengalir melalui selokan menuju persawahan terus ke permukiman penduduk di pesisir pantai sejauh 4 kilometer. Di beberapa titik selokan yang dillewati air, warga mandi dan mencuci pakaian.
Sekitar 500 meter dari Oemau ke arah barat berjejer mata air Tanggaloi dan Siokoen, kemudian mata air Oesamboka 3,3 kilometer di barat laut Oemau tepatnya di Desa Persiapan Lelain.
Inilah empat mata air terbesar dari 20 mata air yang menghidupi 30.789 warga Kecamatan Lobalain, Air mengalir dari satu daerah tangkapan air di perbukitan Desa Sanggaoen.
Rote merupakan pulau kecil di selatan Indonesia dengan luas 1.222,8 kilometer persegi. terbagi dalam 10 kecamatan, 112 desa, dan 7 kelurahan dan memiliki 128 mata air dan luas hutan 17.019,84 hektare.
Menurut Leksi Foeh, pemerintah melarang pemilik lahan di daerah tangkapan air menebang pohon seperti mereka lakukan sebelumnya. Jika ada warga yang nekat menebang satu pohon saja, disanksi menanam kembali 5 pohon.
Namun, berjalannya waktu, dampak penebangan pohon di daerah tangkapan air untuk kebutuhan bahan bangunan rumah, beberapa tahun lalu baru terasa.
Diperparah fenomena El Nino yang menyebabkan kekeringan berbulan-bulanmembuat kandungan air tanah terus menurun.
“Dulu air yang keluar dari mata air di Oemau itu sangat kencang, tidak seperti sekarang mengecil,” sebut Leksi Foeh yang juga menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Belum diketahui berapa perseren penurunan debit air Oemau tahun ini karena belum diukur. Leksi mengukurnya lewat ketinggian genangan air di kolam. “Berkurang satu jengkal tangan dibandingkan sebelumnya,” sebutnya.
Lain lagi mata air Oesamboka. Di sini, penurunan debit air juga diukur dari ketinggian air di kolam tampungan lalu membandingkan dengan hasil pengukuran beberapa bulan sebelumnya, ternyata mengalami penurunan 50 sentimeter. Alhasil, hampir setengah dari 20 hektare sawah yang menerima pasokan air Oesamboka gagal panen.
Masih beruntung karena pasokan air baku ke tiga desa, yaitu Desa Persiapan Lelain, Holoama dan Tuanatuk belum terganggu, tetapi gagal panen membuat produktivitas pertanian terganggu. Salah satunya Os Sina, petani yang mengolah tujuh petak sawah, tiga petak di antaranya gagal panen karena keterbatasan air.
Kepala Desa Holoama, Simon Dunggun, menyalahkan pembangunan perumahan di wilayah antara daerah tangkapan air dan mata air Oesamboka jadi biangnya. “Setiap rumah punya sumur air minum kedalaman 6-8 meter membuat air yang keluar di mata air menjadi berkurang,” kata Simon.
Sebenarnya, ada embung yang diibangun sejak 1990-an di wilayah tangkapan air untuk menampung air pada musim hujan dan dimanfaatkan pada musim kemarau, tetapi seiring bertambahnya pemukim dan pembukaan kebun hortikultura, air yang tertampung di embung berangsur mengering.
“Curah hujan tahun ini kurang dilihat dari air yang tertampung di embung sedikit, tetapi penyedotan air besar-besaran oleh masyarakat, efeknya air di embung terus berkurang,” pungkas Simon Dunggun. (PO/N-1)