Hutan Amarasi yang berganti nama menjadi Tahura Prof Ir Herman Johannes pernah jaya di masanya. Tidak ada orang yang berani mengambil dahan pohon yang mengering dan runtuh dan tergeletak di sisi jalan, apalagi menebang pohon, siap-siap dikenai sanksi adat.
Raja-raja Amarasi memang menerapkan aturan adat yang ketat untuk melindungi hutan dari kerusakan. Rakyat tidak boleh memanfaatkan hasil hutan kayu dan berburu hewan liar.
Di era Orde Baru, aturan seperti itu masih dipertahankan. Pelanggaran ringan seperti mengambil kayu kering dan tertangkap petugas, wajib membayar denda satu karung beras, uang Rp500 ribu dan seekor hewan.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Bila tertangkap melakukan pelanggaran berat seperti menebang pohon, membuka kebun atau mengambil pohon endemi cendana, kayu merah, mahoni, dan kemiri, pelaku dijebloskan ke penjara.
Setiap desa juga memiliki aturan yang berisi denda antara Rp50 ribu sampai Rp150 ribu kepada warga yang melakukan pelanggaran ringan maupun berat. Namun, itu dulu. Di akhir Orde Baru pula, kejayaan hutan ini mulai terganggu karena aktivitas penyerobotan lahan dan pengembalaan ternak.
Bukan pemerintah tidak tinggal diam. Demi melindungi hutan sebagai daerah tangkapan air dan penyokong persediaan air bagi masyarakat, pemerintah membentuk lembaga adat yang anggotanya diisi orang-orang yang menjadi panutan warga di desa.
Mereka bertugas melindungi hutan dari pembalakan dengan cara berpatroli serta melakukan reboisasi. “Lembaga adat berkedudukan di kecamatan, dan di setiap desa yang masuk kawasan hutan, sebutannya sub lembaga adat,” cerita Joni Tabun, warga Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi.
Aturan adat
Lembaga adat Desa Sonraen, Kecamatan Amarasi Selatan memiliki 30 anggota. Di zamannya, mereka sering keluar-masuk hutan untuk berpatroli termasuk Bonifasius Taneo, warga setempat.
Dia masih ingat empat warga desanya masuk penjara gara-gara tertangkap basah membuka kebun di dalam hutan. Pembukaan kebun dengan sistem menebang pohon kemudian dibersihkan dengan cara membakar.
Sayang, anggota dari lembaga adat ini tidak terlihat lagi melintas di hutan. Mendengar namanya saja tak pernah sama sekali. Sebaliknya yang dibicarakan warga adalah pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) yang dibentuk pada 2009. Kelompok ini dibentuk oleh dinas kehutanan provinsi bersama tokoh masyarakat setempat.
Pam Swakarsa mengawasai hutan secara ketat. Pohon yang tumbang tidak boleh diambil. Biarkan tergeletak di situ dan menjadi humus. Bukannya, berbagai aturan mmembuat hutan aman dari aktivitas pengrusakan dan penjarahan.
Data Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur menyebutkan antara 2008-2013, pembalakan hutan masih berlangsung. Pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan sembilan tipe tutupan Tahura Prof Ir Herman Johannes di antaranya terdapat lahan pertanian warga seluas 35,62 hektare (ha) dan tanah terbuka 55,99 ha.
Bisa saja, ukuran papan yang memuat tulisan larangan berladang, menebang pohon, memunggut hasil hutan dan berburu yang di dalam hutan, terlalu kecil sehingga tidak terbaca.
Satu papan berada di sisi kiri gerbang hutan menghadap ke rumah penduduk. Sebuah papan lagi di dalam kawasan hutan nyaris tertutup pepohonan.