Kepastian hukum dan penguatan kelembagaan masyarakat adat menjadi solusi bagi mitigasi bencana akibat perubahan iklim.
JAKARTA — Hutan adat menghadapi kondisi memprihatinkan dari konflik agraria hingga perubahan iklim yang mengganggu ekosistem. Penetapan status hutan adat dan penguatan kelembagaan masyarakat adat jadi solusi mengatasi permasalahan tersebut.
Liputan Kompas pada lima wilayah di Pulau Kalimantan dan Sumatera, November-Desember 2023, menemukan hutan di sebagian wilayah adat alami dampak deforestasi dan perubahan iklim.
Di Kampung Mului, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, dua tahun terakhir lebih sering diguyur hujan. Hama walang sangit berkembang pesat, lantas menyerang padi gunung. ”Ndak bisa kami usir itu walang sangit. Sekarang saja kami sudah beli beras buat jaga-jaga kalau beras dari ladang habis,” kata Sri Edan (38).
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Tahun ini ia hanya menanam setengah hektar padi gunung untuk penuhi kebutuhan empat anggota keluarga. Karena walang sangit begitu banyak, hasil panen padi turun. Banyak gabah kopong alias tak berisi.
Di Sumatera Utara, kebergantungan masyarakat pada tanaman kemenyan terhadang ekspansi monokultur. Produktivitas pohon kemenyan juga anjlok akibat kekeringan dan polusi bahan kimia untuk pengusir hama. ”Padahal, ini sumber kehidupan untuk kami dan anak cucu,” kata Mangapul Samosir (68), Ketua Masyarakat Adat Simenak Henak, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Penetapan status hutan adat menjadi poin krusial. Wilayah-wilayah adat harus didukung penegakkan hukum hingga peningkatan kapasitas pengelolaan hutannya.
Organisasi Madani Berkelanjutan mencatat, sampai 2021, ada 90 juta hektar hutan alam, termasuk yang ada di wilayah adat. Hutan alam, menurut definisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah di luar hutan yang ditanam, yang masih bervegetasi lebat.
Dari jumlah tersebut, 27 juta hektar tumpang tindih dengan perizinan eksplorasi hutan, seperti perkebunan sawit, minyak dan gas bumi, mineral dan batubara, logging atau kayu, dan tanaman industri. Paling banyak izin pemanfaatan kayu 14 juta hektar.
Spesialis Sistem Informasi Geografis Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan, pemerintah membuat dua kebijakan untuk lindungi hutan alam. Ada Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang terkait penghentian pemberian izin baru hutan. Lalu, Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) untuk alokasi kelola masyarakat lewat perhutanan sosial. Dua kebijakan itu untuk menjaga tutupan hutan.
Kendati demikian, ia temukan skema itu tidak lepas dari tumpang tindih izin dan longgarnya implementasi kebijakan. Penghentian izin penggunaan hutan yang dimaksud dalam PIPPIB, kata Fadli, dikecualikan untuk proyek strategis nasional. Pengecualian ini keluar dari evaluasi enam bulan sekali.
”Secara regulasi seharusnya ada penguatan terkait indikatif yang betul-betul. Jadi, harusnya tidak lagi berubah-ubah setiap enam bulan,” katanya.
Alokasi hutan nyatanya juga dihantui tumpang tindih perizinan baru. Ancaman itu adalah fasilitas pengajuan izin pengelolaan hutan untuk pemerintah daerah dalam Peta Arahan Pemanfaatan Hutan untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Berdasarkan data, ada hampir 5 juta hektar hutan tutupan rapat yang masuk dalam lokasi perencanaan tersebut.
Di sisi lain, analisis mereka juga menemukan, sampai 2021 ada hutan-hutan yang belum memiliki izin pemanfaatan, pun belum masuk skema perlindungan pemerintah. Luasannya mencapai sekitar 9,8 juta hektar dari 90 juta hektar tutupan hutan. Hutan tersebut ingin mereka dorong ke pemerintah agar dimasukkan ke dalam peta indikatif PIPPIB dan PIAPS.
”Kalau katakanlah wilayah adat ini diakui semua, sebetulnya akan lebih banyak lagi hutan alam kita yang terlindungi. Kan, dia ada di dalam wilayah adat. Coba sebutkan di mana ada wilayah adat yang merusak hutannya? Saya yakin enggak ada dan itu bisa kita buktikan. Kalaupun mereka merambah hutan, kearifan lokal cenderung mengajarkan mereka untuk memulihkannya,” ujarnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyayangkan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Direktur Advokasi Kebijakan Hak AMAN Pusat Muhammad Arman mengatakan, aturan itu mencederai hak-hak masyarakat adat karena akan mengesampingkan aktivitas ekonomi lokal yang tradisional.
Mitigasi
Hutan adat merupakan bagian wilayah adat yang dipelihara secara turun-temurun berdasarkan hukum adat karena memiliki berbagai fungsi, baik spiritual, ekonomi, maupun ekologis. Pemberdayaan masyarakat adat terkait isu ekonomi dan masalah perubahan iklim yang menjadi ancaman baru penting dilakukan.
Ancaman terkait perubahan iklim, menurut dia, pemerintah memanfaatkan hutan-hutan di wilayah adat sebagai proyek karbon. ”Padahal, Perjanjian Paris, kan, tidak bicara soal perdagangan karbon,” katanya.
Celakanya, kemudian ada aturan bahwa hak masyarakat adat atas karbon itu justru dihilangkan karena menjadi domain negara. ”Padahal, di dalam konteks perlindungan, hutan adat tidak hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Ada sejarah filosofis yang mengandung makna lebih dalam dan ada identitas budayanya. Dia (hutan) merupakan fungsi spiritualitas, fungsi ekologi, dan fungsi ekonomi terakhir,” ujarnya.
Data AMAN, dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi perampasan 301 wilayah adat. Itu mencakup wilayah seluas 8,5 juta hektar. Kriminalisasi 672 anggota masyarakat adat juga terjadi.
Direktur Advokasi Kebijakan Hak AMAN Pusat Muhammad Arman menyebut potensi ekonomi yang berada di wilayah adat tidak bisa diremehkan dalam pembangunan. Hasil studi AMAN pada enam wilayah adat menunjukkan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam lestari mencapai Rp 159,21 miliar per tahun. Sementara nilai ekonomi dari jasa lingkungan menghasilkan Rp 170,77 miliar per tahun. Nilai ekonomi wilayah adat tersebut lebih tinggi dari produk domestik regional bruto (PDRB) di daerah.
Ia pun menemukan, skema perhutanan sosial di luar hutan hak justru merampas sekitar 250.000 hektar hutan adat. Ini terkait mudahnya penetapan hutan adat di wilayah area peruntukan lain (APL) dibandingkan dengan yang ada di hutan negara. Hal ini ditengarai terjadi di Jambi yang cepat keluar SK Hutan Adatnya dengan jumlah terbanyak untuk 29 komunitas.