Berlarutnya konflik hutan adat di Sumatera dan Kalimantan mengorbankan ruang kelola dan nyawa warga.
Konflik mewarnai penantian terhadap pengakuan negara atas hutan-hutan adat di Sumatera dan Kalimantan. Tak sedikit ruang kelola dikorbankan menyebabkan hilangnya ruang kelola bagi masyarakat.
Hutan adat di Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, misalnya, telah hilang berganti sawit. Tidak hanya lahan bernafkah yang musnah, nyawa warga pun ikut melayang.
Belasan tahun lalu, mayoritas kawasan Desa Bangkal di Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, adalah hutan dan ladang warga. Kini, banyak lahan berganti kebun sawit. Sejak saat itu, konflik pun belum ketahuan ujungnya.
Selasa (28/11/2023) sore, wajah Maselin (45) murung. Dia kehilangan semangat saat hendak pulang meninggalkan aula kantor Desa Bangkal. Mediasi warga dan pemerintah tentang kebun plasma sawit pun tidak membuahkan hasil.
Tuntutan ratusan warga mendapat kebun plasma tidak dipenuhi. Artinya, pupus pula harapannya untuk mandiri menggarap lahan.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Sebelumnya, 7 Oktober 2023, Bangkal rusuh. Warga yang menggelar aksi bentrok dengan aparat. Salah satu korbannya, Gijik (35), kawan seperjuangannya, tewas ditembak. Sampai sekarang pelakunya belum ditangkap.
Kematian Gijik adalah buah dari bara yang tidak kunjung padam 18 tahun terakhir. Awalnya, ia ingat betul saat orang-orang datang ke desanya menggunakan mobil mewah. Semua kemewahan itu kontras dengan akses jalan yang masih rusak parah.
Panjang lebar orang-orang yang datang itu berbicara, meminta izin agar dibolehkan mengubah hutan jadi kebun sawit. Namun, kata Maselin, semua warga saat itu menolak.
Walakin, para pejabat tak menyerah. Mereka kembali ke desa dengan berbagai janji manis lapangan pekerjaan, kebun hak (kini disebut kebun plasma), hingga kesejahteraan. Warga pun luluh. Akan tetapi, janji tinggal kenangan. Delapan belas tahun berlalu, tidak semuanya dipenuhi.
Hutan dan ladang telanjur diberikan. Tempat warga berburu, meramu bumbu, hingga tempat ritual hilang tak tersisa.
Tak hanya di Seruyan. Konflik serupa juga terjadi di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng. Hutan adat mereka terancam perkebunan sawit. Dari total 16.000 hektar hutan adat yang diusulkan sejak 2018, hampir 4.000 hektar sudah dibuka untuk ditanami sawit.
Bahkan, masyarakat adat harus menghadapi proses hukum. Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dan lima warga lainnya sempat mendekam di balik jeruji.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki juga pernah berurusan dengan hukum karena dituduh korupsi. Banyak pihak menilai kasus itu terkesan dibuat-buat.
Kasus di Sumatera
Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak, Sumatera Utara, Mangapul Samosir (68), mengatakan, selama puluhan tahun, hak kelola Masyarakat Adat Simenak Henak atas hutan mereka terhalang keberadaan sebuah perusahaan monokultur. Perusahaan mengantongi izin kehutanan sejak 1992.
Perjuangan masyarakat menuntut kembali hutan adat mereka baru berbuah tahun lalu. Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung SK tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan pada 3 Februari 2022.
”Namun, kami belum bisa menikmati sepenuhnya hutan adat yang telah diberikan langsung oleh Presiden,” ujarnya.
Penyebabnya, hamparan hutan itu telah berubah jadi kebun. Selain karena masih adanya kebun eukaliptus yang akan dipanen perusahaan, legalitas hutan adat mereka juga terganjal belum terbitnya surat keputusan bupati tentang penetapan masyarakat adat. Kebijakan itu padahal menjadi kunci untuk finalisasi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hal serupa terjadi di Aceh. Kepala Imum Mukim Panga Pasi, Kabupaten Aceh Jaya, Hamidi mengatakan, hutan adat milik mereka juga sempat babak belur dijadikan konsesi perusahaan hak pengusahaan hutan. Pohon-pohonnya ditebang untuk ekspor ke luar negeri.
Perusahaan beroperasi era 1990-an. Pada masa Aceh dilanda konflik bersenjata, perusahaan-perusahaan pemegang izin beraktivitas dengan lancar, tetapi tidak melakukan kewajiban pemulihan hutan yang ditebang. Masyarakat bersyukur, hutan adat akhirnya dikembalikan negara kepada mereka.
”Sebenarnya perusahaan yang mengambil hutan kami. Melalui penetapan hutan adat, kami mengambil kembali hutan yang sempat dikuasai perusahaan,” kata Hamidi.
Ruang hidup
Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi menjelaskan, hutan adat bukan sekadar skema pemerintah belaka, melainkan ruang hidup. Mestinya pemerintah melihatnya dari kacamata adat atau kearifan lokal, bukan investasi semata.
”Berburu dan berladang merupakan aktivitas rutin yang dipraktikkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka di hutan adat, bahkan sebelum negara ini ada,” kata Habibi.
Senada, Direktur Advokasi Kebijakan Hak AMAN Pusat, Muhammad Arman, menilai, dukungan pemerintah terhadap penetapan hutan adat juga lebih rendah dibandingkan penetapan jenis perhutanan sosial lain, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, dan hutan tanaman rakyat.
KLHK memberi persetujuan perhutanan sosial 6,3 juta hektar per September 2023, dari target 12,7 juta hektar. Pada 2022, AMAN menemukan, skema perhutanan sosial di luar hutan hak justru merampas sekitar 250.000 hektar hutan adat.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang memfasilitasi proses hutan adat di Sumatera dan Kalimantan, menyebut lambatnya pengakuan negara disebabkan oleh beberapa hal. Di Jambi, proses di Hutan Adat Lubuk Mentilin dan Renah Alai, Kabupaten Merangin, lambat, padahal secara persyaratan sudah lengkap. Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah kewenangan untuk melakukan verifikasi masih di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK. Usulan kedua desa ini menjadi berbiaya besar jika dilakukan verifikasi teknis.
Pada sejumlah hutan adat lainnya, pengakuan lambat karena ada keraguan-raguan di tingkat kabupaten. Karena itu, perlu ada terobosan, di antaranya perda payung di tingkat provinsi tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.
”Perda payung ini melingkupi tata cara pengakuan masyarakat hukum adat di satu daerah maupun di lintas daerah,” kata Adi Junaedi, Direktur KKI Warsi.