Hampir satu dasawarsa menanti, Hutan Adat Talun Sakti tak kunjung diakui. Masyarakat bertanya, apa hal yang merintangi?
Berbagai ancaman kerusakan mengintai kelestarian Hutan Adat Talun Sakti di Sarolangun. Namun, adat berhasil melindungi alam setempat secara turun-temurun. Warga kini menagih komitmen pemerintah akan pengakuan hutan adat itu.
Sungai berair jernih di Hutan Adat Talun Sakti mendadak keruh. Rupanya alat berat diselundupkan masuk Sungai Seluro Kecil untuk menambang liar emas. Karena tak rela alam hancur, masyarakat ramai-ramai mengusir.
Di saat desakan alat berat tambang emas liar telah meluluhlantakkan sungai-sungai yang bermuara ke Batangasai dan Batanghari, Sungai Seluro Kecil masih aman dijaga. Namun, satu pagi, warga terkaget mendapati air sungai itu keruh bagaikan kopi susu.
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
”Kalau air tiba-tiba keruh, pasti ada tambang liar masuk ke sungai,” ujar M Sapar, Ketua Pengelola Hutan Adat Talun Sakti di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023).
Sapar mengerahkan para pemuda menyusuri sungai. Berjalan terus ke arah hulu. Setibanya di jantung hutan itu, tampak alat berat dari kejauhan tengah menggaruk-garuk tepian sungai. Ada delapan pekerja tambang di sana.
Mengetahui itu, masyarakat ramai-ramai mengusir. Kunci ekskavator direbut dari tangan pekerja tambang. Adu mulut pun terjadi. Peristiwa itu nyaris bikin bentrok. Petambang liar akhirnya menyerah dan pergi.
Sapar memastikan masyarakat teguh menjaga hutan adat. Talun Sakti telah menjadi bukti kuatnya ikatan mereka pada alam selama turun-temurun.
Praktik tambang emas liar berskala besar di Jambi telah mengoyak wajah alam. Aliran sungai dirusak oleh pengerahan alat berat. Sedimen diaduk-aduk hingga air sungai bagaikan kopi susu. Kini, tersisa di hulu-hulu saja yang air sungainya masih dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
Pengelola hutan adat, Karnadi (34), mengatakan, masyarakat Raden Anom bukan antipati pada emas. Sehari-harinya, masyarakat juga mencari emas di sungai. ”Diperbolehkan mencari emas, tapi dengan cara tradisional, yakni mendulang,” katanya. Yang ditolak warga adalah masuknya alat-alat berat yang bekerja masif dan merusak lingkungan.
Perihal larangan masuknya alat berat ke dusun merupakan kesepakatan bersama. Seluruh warga setuju ingin sungai tetap jernih. ”Daripada kami mandi air mata, lebih baik mandi air sungai. Untuk itulah, kami melestarikan hutan adat ini,” ujar Sapar.
Demi menjaga hutan dan sungai, sejak 2014 desa menetapkan kawasan itu sebagai hutan adat. Mereka tuangkan aturan yang melindungi hutan lewat peraturan desa. Isinya mengatur larangan mencuri dan memperjualbelikan kayu dalam hutan adat.
Yang melanggar akan menuai hukuman. ”Denda adat berupa 1 kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa, dan 2 mayam emas,” katanya.
Satu gantang setara dengan 3 kilogram, sedangkan 1 mayam setara dengan 3 gram emas. Jika dihitung dengan rupiah, denda bagi pencuri kayu bernilai hampir Rp 10 juta. Selain itu, perdes juga melarang masuknya tambang emas liar ke dalam hutan adat.
Warga boleh memanfaatkan hasil kayu dari hutan adat untuk memenuhi kebutuhan papan. Misalnya untuk membangun rumah di dusun dan fasilitas umum. Namun, setiap pengambilan kayu wajib menanam baru dengan jumlah 10 kali lipat.
Tegasnya hukuman berhasil menyelamatkan hutan adat itu dari berbagai ancaman perusakan. Itu sebabnya, masih mudah ditemukan puluhan spesies tumbuhan berusia ratusan tahun menjulang dalam hutan.
Pengakuan negara
Namun, masyarakat belakangan gelisah. Sudah hampir satu dasawarsa menanti, Hutan Adat Talun Sakti tak kunjung diakui negara. Masyarakat jadi bertanya-tanya, apa hal yang merintanginya?
”Sudah diajukan, tetapi belum ada kabar pengesahannya hingga kini,” kata Sapar.
Komitmen perlindungan hutan adat awalnya mendapatkan dukungan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Terbitlah Surat Keputusan Bupati Sarolangun tentang penetapan Hutan Adat Talun Sakti.
Masyarakat ingin mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat. Lalu, usulan pengakuannya diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rupanya, proses yang dibutuhkan terbilang panjang. Itu karena Hutan Adat Talun Sakti berada dalam status kawasan hutan lindung.
Kepala Seksi Penyuluhan Kehutanan dan Pemberdayaan Masyarakat Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Limau, Sarolangun, Sri Liah Suzanto mengatakan, prosesnya menjadi lebih panjang karena pemerintah harus terlebih dahulu mengubah status dari semula kawasan hutan lindung menjadi hutan hak.
Perubahan status kawasan sangat dimungkinkan terjadi. Namun, itu membutuhkan proses. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa kelompok masyarakat adat yang mengelola memang serius. Dengan demikian, perlu ada verifikasi, mulai dari sejarah adatnya, wilayah hukumnya, dan kelembagaan masyarakat hukum adatnya. Semuanya harus jelas. ”Perlu dipastikan dulu apakah memang hutan adatnya sudah ada sejak dulu atau hanya sulap-sulapan,” ujarnya.
Dari hasil verifikasi lapangan, pihaknya memastikan masyarakat setempat memang turun-temurun menjaga hutan tersebut. ”Bisa dibilang hutan adatnya ini jadi hutan larangan yang berfungsi menyangga kehidupan masyarakat,” katanya.
Dari situlah dimulai lagi proses pembentukan Masyarakat Hukum Adat. Pembentukan ini akan ditegaskan lewat SK Bupati tentang Masyarakat Hukum Adat Batangasai. ”Prosesnya masih di bagian hukum pemkab. Mudah-mudahan bisa segera dikukuhkan,” katanya.
Hutan Adat Talun Sakti memiliki kontur perbukitan curam sebagai rumah bagi beragam spesies tumbuhan dan satwa bernilai konservasi tinggi. Hasil inventarisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Limau Unit VII Hulu Sarolangun mendapati banyak tumbuhan langka dan dilindungi. Mulai dari kibut (Amorphophallus titanum), murau (Shorea gibbosa brandis), tembesu (Fagraea fragrans), balam merah (Palaquium gutta), temalun (Parashorea lucida), dan jelutung (Dyera costulata).
Kawasan itu juga habitat bagi satwa-satwa dilindungi, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata), rusa sambar (Cervus unicolor), baning cokelat (Manouria emys), dan rangkong gading (Rhinoplax vigil). Ditemukan pula beragam spesies burung, serangga, satwa melata, ikan, hingga ragam cendawan.
Semoga kekayaan alam tersebut dapat terus terjaga. Segala harapan disandarkan lewat kearifan hidup masyarakat adat.