WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo December 12, 2023

The Long Wait in the Talun Sakti Customary Forest (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

Hundred-year-old plants can still be found in the Talun Sakti Customary Forest, Muara Seluro Hamlet, Raden Anom Village, Batangasai, Sarolangun Regency, Jambi, Thursday (11/23/2023). Image by Irma Tambunan. Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


In Sarolangun's Talun Sakti Traditional Forest, locals have safeguarded nature for generations, yet face threats from illegal activities, notably illicit gold mining that clouds the once-clear river. Despite challenges, the community fiercely defends their land and water sources, confronting miners to protect their environment.

With an emphasis on preserving the customary forest, the community enforces rules against destructive practices, allowing traditional gold panning but banning heavy equipment. Strict penalties, like fines equivalent to almost IDR 10 million and regulations mandating replanting of trees for each harvested one, have effectively shielded the forest from harm, maintaining its rich biodiversity.

While awaiting government recognition, which has been a prolonged process due to bureaucratic complexities, the community is anxious for formal acknowledgment of their custodianship. Authorities are reviewing the customary forest's status, ensuring its long-standing existence and validating the Indigenous community's historical ties to the land. The forest's ecological diversity, home to rare plants and endangered animals, underscores the urgent need for continued preservation rooted in the wisdom of the Indigenous people.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Penantian Panjang di Hutan Adat Talun Sakti

Hampir satu dasawarsa menanti, Hutan Adat Talun Sakti tak kunjung diakui. Masyarakat bertanya, apa hal yang merintangi?


Berbagai ancaman kerusakan mengintai kelestarian Hutan Adat Talun Sakti di Sarolangun. Namun, adat berhasil melindungi alam setempat secara turun-temurun. Warga kini menagih komitmen pemerintah akan pengakuan hutan adat itu.

Sungai berair jernih di Hutan Adat Talun Sakti mendadak keruh. Rupanya alat berat diselundupkan masuk Sungai Seluro Kecil untuk menambang liar emas. Karena tak rela alam hancur, masyarakat ramai-ramai mengusir.

Di saat desakan alat berat tambang emas liar telah meluluhlantakkan sungai-sungai yang bermuara ke Batangasai dan Batanghari, Sungai Seluro Kecil masih aman dijaga. Namun, satu pagi, warga terkaget mendapati air sungai itu keruh bagaikan kopi susu.

”Kalau air tiba-tiba keruh, pasti ada tambang liar masuk ke sungai,” ujar M Sapar, Ketua Pengelola Hutan Adat Talun Sakti di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023).

Sapar mengerahkan para pemuda menyusuri sungai. Berjalan terus ke arah hulu. Setibanya di jantung hutan itu, tampak alat berat dari kejauhan tengah menggaruk-garuk tepian sungai. Ada delapan pekerja tambang di sana.

Mengetahui itu, masyarakat ramai-ramai mengusir. Kunci ekskavator direbut dari tangan pekerja tambang. Adu mulut pun terjadi. Peristiwa itu nyaris bikin bentrok. Petambang liar akhirnya menyerah dan pergi.

Sapar memastikan masyarakat teguh menjaga hutan adat. Talun Sakti telah menjadi bukti kuatnya ikatan mereka pada alam selama turun-temurun.


Hutan Adat Talun Sakti di Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.

Praktik tambang emas liar berskala besar di Jambi telah mengoyak wajah alam. Aliran sungai dirusak oleh pengerahan alat berat. Sedimen diaduk-aduk hingga air sungai bagaikan kopi susu. Kini, tersisa di hulu-hulu saja yang air sungainya masih dapat dimanfaatkan sebagai air minum.

Pengelola hutan adat, Karnadi (34), mengatakan, masyarakat Raden Anom bukan antipati pada emas. Sehari-harinya, masyarakat juga mencari emas di sungai. ”Diperbolehkan mencari emas, tapi dengan cara tradisional, yakni mendulang,” katanya. Yang ditolak warga adalah masuknya alat-alat berat yang bekerja masif dan merusak lingkungan.

Perihal larangan masuknya alat berat ke dusun merupakan kesepakatan bersama. Seluruh warga setuju ingin sungai tetap jernih. ”Daripada kami mandi air mata, lebih baik mandi air sungai. Untuk itulah, kami melestarikan hutan adat ini,” ujar Sapar.


Beragam jenis tumbuhan dilindungi masih mudah ditemui di Hutan Adat Talun Sakti, Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.

Demi menjaga hutan dan sungai, sejak 2014 desa menetapkan kawasan itu sebagai hutan adat. Mereka tuangkan aturan yang melindungi hutan lewat peraturan desa. Isinya mengatur larangan mencuri dan memperjualbelikan kayu dalam hutan adat.

Yang melanggar akan menuai hukuman. ”Denda adat berupa 1 kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa, dan 2 mayam emas,” katanya.

Satu gantang setara dengan 3 kilogram, sedangkan 1 mayam setara dengan 3 gram emas. Jika dihitung dengan rupiah, denda bagi pencuri kayu bernilai hampir Rp 10 juta. Selain itu, perdes juga melarang masuknya tambang emas liar ke dalam hutan adat.

Warga boleh memanfaatkan hasil kayu dari hutan adat untuk memenuhi kebutuhan papan. Misalnya untuk membangun rumah di dusun dan fasilitas umum. Namun, setiap pengambilan kayu wajib menanam baru dengan jumlah 10 kali lipat.

Tegasnya hukuman berhasil menyelamatkan hutan adat itu dari berbagai ancaman perusakan. Itu sebabnya, masih mudah ditemukan puluhan spesies tumbuhan berusia ratusan tahun menjulang dalam hutan.

Pengakuan negara

Namun, masyarakat belakangan gelisah. Sudah hampir satu dasawarsa menanti, Hutan Adat Talun Sakti tak kunjung diakui negara. Masyarakat jadi bertanya-tanya, apa hal yang merintanginya?

”Sudah diajukan, tetapi belum ada kabar pengesahannya hingga kini,” kata Sapar.


Tanaman obat daun cakar ayam (Selaginella intermedia) banyak ditemui di Hutan Adat Talun Sakti, Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.

Komitmen perlindungan hutan adat awalnya mendapatkan dukungan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Terbitlah Surat Keputusan Bupati Sarolangun tentang penetapan Hutan Adat Talun Sakti.

Masyarakat ingin mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat. Lalu, usulan pengakuannya diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rupanya, proses yang dibutuhkan terbilang panjang. Itu karena Hutan Adat Talun Sakti berada dalam status kawasan hutan lindung.

Kepala Seksi Penyuluhan Kehutanan dan Pemberdayaan Masyarakat Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Limau, Sarolangun, Sri Liah Suzanto mengatakan, prosesnya menjadi lebih panjang karena pemerintah harus terlebih dahulu mengubah status dari semula kawasan hutan lindung menjadi hutan hak.


Beragam jenis cendawan banyak ditemukan di Hutan Adat Talun Sakti, Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.

Perubahan status kawasan sangat dimungkinkan terjadi. Namun, itu membutuhkan proses. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa kelompok masyarakat adat yang mengelola memang serius. Dengan demikian, perlu ada verifikasi, mulai dari sejarah adatnya, wilayah hukumnya, dan kelembagaan masyarakat hukum adatnya. Semuanya harus jelas. ”Perlu dipastikan dulu apakah memang hutan adatnya sudah ada sejak dulu atau hanya sulap-sulapan,” ujarnya.

Dari hasil verifikasi lapangan, pihaknya memastikan masyarakat setempat memang turun-temurun menjaga hutan tersebut. ”Bisa dibilang hutan adatnya ini jadi hutan larangan yang berfungsi menyangga kehidupan masyarakat,” katanya.

Dari situlah dimulai lagi proses pembentukan Masyarakat Hukum Adat. Pembentukan ini akan ditegaskan lewat SK Bupati tentang Masyarakat Hukum Adat Batangasai. ”Prosesnya masih di bagian hukum pemkab. Mudah-mudahan bisa segera dikukuhkan,” katanya.


Tim patroli hutan beristirahat di sebuah kamp dalam Hutan Adat Talun Sakti, Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.

Hutan Adat Talun Sakti memiliki kontur perbukitan curam sebagai rumah bagi beragam spesies tumbuhan dan satwa bernilai konservasi tinggi. Hasil inventarisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Limau Unit VII Hulu Sarolangun mendapati banyak tumbuhan langka dan dilindungi. Mulai dari kibut (Amorphophallus titanum), murau (Shorea gibbosa brandis), tembesu (Fagraea fragrans), balam merah (Palaquium gutta), temalun (Parashorea lucida), dan jelutung (Dyera costulata).

Kawasan itu juga habitat bagi satwa-satwa dilindungi, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata), rusa sambar (Cervus unicolor), baning cokelat (Manouria emys), dan rangkong gading (Rhinoplax vigil). Ditemukan pula beragam spesies burung, serangga, satwa melata, ikan, hingga ragam cendawan.

Semoga kekayaan alam tersebut dapat terus terjaga. Segala harapan disandarkan lewat kearifan hidup masyarakat adat.


Biodiversitas di Hutan Adat Talun Sakti, Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom, Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Kamis (23/11/2023). Tampak satwa melata, mengkulum, melintas di dalam hutan. Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia.