TRIBUNMANADO.CO.ID - Kebun Raya Megawati Soekarnoputri hasil reklamasi lahan bekas tambang PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) menghadapi ancaman tambang rakyat. Bertahun-tahun, warga menggantungkan sumber pendapatan mereka dari kekayaan perut bumi di Bukit Mesel Ratatotok ini.
Dengan segala risiko kehidupan tambang rakyat, nyawa tak lagi nomor satu. Kecelakaan saat menambang hingga hukum rimba saling rebut lubang tambang, sudah menjadi hal biasa. Para penambang sudah betul risikonya, tapi semua demi sesuap nasi.
Lalu lalang kendaraan mobil dan motor terlihat di dalam kawasan Kebun Raya Megawati, Maret 2021. Ramai, bukan hanya sepuluh atau dua puluh, namun sekitar ratusan kendaraan. Umumnya adalah motor trail maupun mobil jeep. Kendaraan-kendaraan ini terlihat berlumpur.
Beberapa pengendara memakai lampu senter di kepala mereka, dengan baju terlihat kotor. Mobil jeep lalu lalang mengangkut puluhan karung putih berlumpur.
Di pintu masuk kebun raya, tampak beberapa orang berjaga. Ada polisi berseragam, polisi berbaju preman, maupun warga biasa. Di pintu masuk itu, keluar masuk warga yang diketahui adalah penambang rakyat tak berizin, bebas keluar masuk.
Tepat di sebelah kiri setelah pintu masuk kebun raya, terparkir puluhan motor warga. Motor-motor ini milik para penambang rakyat yang menambang di area lubang emas yang disebut Nibong. Lokasi inilah yang ramai beberapa bulan terakhir karena banyaknya kandungan emas di area ini.
Tambang rakyat di lubang Nibong ini ada yang masuk kawasan kebun raya, ada yang lokasinya di luar kebun raya. Tambang rakyat ini tak mengantongi izin.
Dari parkiran motor tersebut, berjalan memasuki hutan. Tak sulit untuk menemukan lokasi penambang rakyat ini. Tanah sudah membentuk jalan yang biasa dilalui warga. Memasuki area penambang rakyat, terlihat tenda-tenda yang dipasang warga, untuk menutup lubang tambang. Tenda-tenda ini sekaligus menjadi tempat melepas lelah usai menambang.
Makin ke dalam, lokasi tambang rakyat ini makin ramai. Bahkan bak perkampungan warga. Puluhan tenda bahkan mungkin ratusan, jumlah orangnya ada ratusan. Ada warung kecil, yang menyediakan berbagai keperluan penambang dan keluarga mereka yang mendampingi.
Air mineral 600 ml dijual Rp 5.000, lebih mahal sedikit dari warung di area kota. Pemilik warung mengaku ia membuka lapaknya 1x24 jam, tak pernah tutup, karena tambang rakyat ini tak pernah sepi.
Siang itu, warga yang berada di tenda-tenda yang berdiri bak perumahan tampak sedang bersantai. Mereka bercengkerama, tertawa, bahkan terdengar lagu-lagu nostalgia yang diputar di pengeras suara tanpa kabel.
Banyak pria yang bertelanjang dada, tampaknya baru saja naik dari lubang tambang. Tubuh mereka kecil dan kurus. Karena penambang memang harus berbadai kecil untuk masuk ke lubang dengan kedalaan ratusan meter yang hanya seukuran satu orang saja.
Ada ibu-ibu yang tampang menyiapkan makanan dan minuman. Ada yang sedang membangun tenda dan sementara menggali lubang yang baru saja dibuka. Banyak lubang yang tampak sudah dibiarkan begitu saja karena tak ada hasilnya.
Tak sisi lainnya, berjejer mobil jeep yang siap mengangkut material emas yang digali para penambang. Mobil jeep bolak-balik di medan yang sulit, mengangkut berkarung-karung material emas. Kawasan ini menurut pengakuan warga di situ berada di luar Kebun Raya Megawati. “Ini di luar kebun raya, sudah ada batas-batasnya. Kalau kebun raya kami tak berani,” kata salah seorang penambang.
Di sebuah tenda, tiga orang pemuda tampak bersiap-siap masuk ke lubang. Mereka memakai lampu senter di kepala, yang merupakan barang wajib. Lubang itu hanya seukuran badan satu orang. Sejauh mata memandang di kedalaman lubang, terpasang papan penyangga di tiap sisipnya.
Menyusuri lebih dalam lagi kawasan Kebun Raya Megawati, tepatnya di area kolam yang dulunya bekas penggalian PT NMR. Di pinggir-pinggir kolam yang masuk di area kebun raya ini banyak penambang rakyat. Tenda beragam warna berjejeran. Mereka mengitari sisi-sisi kolam, dari bawah hingga bukit curam. Akses untuk ke tambang rakyat ini ada yang dari puncak lalu turun ke bawah, ada pula akses yang dari tepi kolam lalu menanjak ke bukit.
Jalur yang ditempuh curam dan berbahaya. Namun penambang rakyat yang ditemui, tampak sudah terbiasa dengan jalur tersebut. Sambil membawa barang-barang, mereka tampak lihai menapaki setiap jalur. Dari yang muda hingga penambang yang sudah beruban.
Tak usah jauh-jauh ke dalam kebun raya untuk ramainya aktivitas penambang emas di Ratatotok. Hal ini sudah bisa dilihat saat mulai memasuki Ratatotok. Di jalanan, terlihat lalu lalang warga mengangkut material emas di mobil dan motor. Pekarangan rmah warga penuh dengan material emas di dalam karung.
Hal ini makin kelihatan ketika menuju Kebun Raya Megawati. Di sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan jalan terhampar mesin-mesin tromol yang tak henti menggiling material emas. Begitu pula dengan jejeran karung berisi material emas.
Tambang Rakyat Sejak Zaman Penjajahan Belanda
Aktivitas tambang rakyat di Ratatotok ini telah bertahun-tahun lamanya digeluti masyarakat. Mereka menggantungkan perekonomian mereka dari hasil tambang di Bukit Mesel ini. Disebutkan, kegiatan menambang di Ratatotok ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Jejak sejarah eksplorasi penambangan emas telah ada sejak 1900an. Setidaknya kolonial Belanda pernah memasang 60 mesin penumbuk emas di wilayah ini. Sebuah catatan menginformasikan, Belanda kala itu sempat mengangkut setidaknya 5.000 kilogram emas dari perut bumi Ratatotok.
Tak sampai di situ, bertahun-tahun setelah itu, mesin-mesin modern datang mengeksploitasi kekayaan mineral perut bumi Ratatotok. Limbahnya dibuang ke teluk Buyat, lalu terjadi fenomena penyakit minamata pada masyarakat tahun 2004. Hal ini pula mendorong gugatan warga yang akhirnya memaksa perusahaan penambangan emas multinasional yakni PT Newmont Minahasa Raya angkat kaki dari sana.
Kerap kali terjadi kasus kecelakaan tambang di dalam kawasan Kebun Raya Megawati yang menewaskan warga. Dalam catatan pemberitaan, dalam setahun terakhir sudah ada sekitar belasan hingga puluhan warga penambang yang tewas di dalam Kebun Raya Megawati. Petugas dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara, TNI dan Polri juga sudah beberapa kali melakukan penertiban, namun aktivitas tambang rakyat di kawasan kebun raya tak juga berhenti.
Menurut catatan Asosiasi Penambang Rakyat (APRI) Minahasa Tenggara, kurang lebih ada 40 ribuan penambang rakyat di Ratatotok, baik di dalam kawasan kebun raya, maupun di luar. Ketua APRI Mitra Valdy Suak mengatakan pada akhir tahun 2020 lalu saat tambang Ratatotok diserbu warga, kurang lebih ada sekitar 15 ribu masyarakat setiap hari yang menambang. Sementara untuk jumlah lubang, tak ada catatan pasti. Valdy Suak hanya mengira-ngira di angka ribuan.
Penambang yang datang akhir 2020 itu tak hanya masyarakat lingkar tambang, di area Ratatotok hingga Buyat, namun sudah datang dari seluruh penjuru Sulawesi Utara, bahkan hingga luar daerah. “Bahkan ada yang dari Surabaya dan Makassar waktu itu,” kata Valdy Suak yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Lingkat Tambang Ratatotok ini.
Sejak dulu, masyarakat di kawasan lingkar tambang memang sudah menggantungkan hidup mereka dari hasil tambang rakyat atau tradisional. Jumlah penambang rakyat saat ini jauh lebih banyak, setelah PT NMR angkat kaki dari Ratatotok.
Saat PT NMR masih beroperasi, akses masyarakat untuk menambang sangat terbatas karena masuk di area perusahaan. Warga di area lingkar tambang menikmati fasilitas dari perusahaan, seperti pembangunan jalan dan program bantuan lainnya. “Tapi ekonomi warga tak sebagus sekarang setelah bisa menambang. Dulu banyak masyarakat yang tak bisa menikmati kekayaan di tanah sendiri,” katanya.
Menurut catatan APRI Mitra, ada tujuh titik kawasan yang mengandung banyak emas di Ratatotok, dia antaranya kawasan Nibong, Rotan, Ogus, Lobongan, Limpoga, Pasolo, Alason. Sebagian besar kawasan tersebut masuk area PT Newmont Minahasa Raya, sehingga tak bisa dijangkau penambang rakyat.
“Dulu juga masyarakat masih pakai merkuri, jadi emasnya tak keluar. Waktu itu belum tahu apa itu sianida. Nanti setelah tahu pemakaian sianida ini, barulah terjadi penambangan besar-besaran. Seperti yang terjadi di area Nibong sekarang ini,” kata Valdy.
Nyawa Tak Lagi Nomor Satu Demi Sesuap Nasi
Seorang pria jongkok sambil memegang alat penyembur api yang menyala dan menghadapkannya di sebuah tungku kecil. Di samping dan belakang pria ini, ada empat pria yang tampak menunggu. Satu jam beralalu, apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Emas. Ukurannya kecil, hanya sebesar koin logam Rp 500. Seketika emas itu ditimbang pakai timbangan digital. emas ini seberat 47,99 gram. Wajah sekelompok pria ini tampak lega.
Rupanya hasil olahan emas itu sesuai dengan yang mereka diharapkan. Tak kurang, hanya lebih sedikit. Dikalikan Rp 770 ribu per gram, hasilnya Rp 36.952.300. Setiap kali mengolah material emas yang mereka tambang, selalu ada rasa harap-harap cemas. Karena hasil olahan tak bisa dipastikan. Bisa banyak, tapi juga bisa sangat sedikit, tergantung rezeki.
Baru saja 47,99 gram itu selesai diolah, beberapa orang lainnya sudah mulai material berikutnya untuk diolah. Rumah warga bernama Atid Paputungan, di Desa Buyat, Kecatamatan Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur ini tak pernah sepi beberapa bulan belakangan ini. Rumahnya menjadi tempat pengolahan material emas hasil tambang masyarakat. Meski sudah beda kabupaten, Buyat berada di kawasan lingkar tambang Ratatotok.
Selain bak perendaman dan alat-alat untuk mengolah material emas, rumah Atid juga dipenuhi material, hasil tambang ia dan 30 orang yang ia pekerjakan. Atid adalah seorang pemilik lubang tambang yang menghasilkan emas lumayan banyak. Lubangnya berlokasi di Nibong, Ratatotok.
Lokasi yang belakangan banyak diserbu penambang rakyat. Atid menegaskan, meski tak berizin, lubang tambang miliknya berada di luar kawasan Kebun Raya Megawati. Atid Paputungan tergolong pendatang baru di dunia pertambangan rakyat, baru sekitar tiga hingga empat bulan dirinya memberanikan diri untuk terjun di bisnis tambang rakyat.
Tak mudah jalan yang Atid lewati untuk bisa mendapat untung menambang. Ia berkali-kali rugi karena lubang yang tak ada hasil. Padahal biaya operasional untuk menambang ini tak sedikit. Modal yang dibutuhkan menyentuh angka ratusan rupiah. Namun Atid sadar betul, ketika ia berani melepas modal tersebut, ia sudah harus siap dengan segala konsekuensinya. Bak di meja judi, lenyap, atau uang itu kembali berlipat-lipat.
Di dua bulan pertama ia menggeluti bisnis ini, lubang tambang yang ia beli tak ada hasil sama sekali. Atid tak pantang menyerah. Ia terus berdoa dan berusaha, dengan harapan rezeki akan berbalik pada dirinya. Pada bulan ketiga, tanda-tanda emas mulai bermunculan.
Mulai dari standar di bawah satu gram untuk satu koli, sebutan untuk satu karung, hingga saat ini sudah nyaris menyentuh standar dua gram per koli. Dari yang hanya empat sampai lima orang pekerja, kini sudah ada 30 orang pekerja. “Intinya berusaha, berdoa dan tetap sabar. Karena hasil tambang ini tergantung rezeki,” katanya saat berbincang di rumahnya, awal Maret 2021.
Atid sangat bersyukur, hasil tambang rakyat ini sangat membantu perekonomian keluarganya. Lebih dari itu, Atid juga bersyukur sudah bisa memberi rezeki bagi orang lain. Bahkan dengan penghasilan yang terbilang fantastis. Para pekerjanya bahkan bisa meraup Rp 10 juta dalam sekali mengolah material. Atid memprioritaskan keluarga dan kerabat dekat untuk bekerja bersamanya. “Alhamdullilah dari usaha in saya boleh bagi-bagi rezeki untuk mereka,” katanya.
Para pekerja Atid ada yang sudah bisa beli kapling untuk bangun rumah dan motor. Atid memang mewanti-wanti para pekerjanya untuk menggunakan uang hasil tambang dengan baik, jangan untuk hura-hura. “Saya selalu ingatkan mereka, beli yang perlu dan penting, jangan hanya habis begitu saja. Karena berpikir, gampang dapat uang. Menambang lagi, bisa dapat uang lagi. Tapi bukan seperti itu,” ujarnya.
Di balik hasil tambang yang menggiurkan, Atid tahu betul risiko yang menghantui dirinya dan para penambang. Keselamatan hingga kekacauan di lubang tambang. Karena tak berizin, sistem kepemilikan lubang tambang ini menggunakan hukum rimba. Siapa kuat, dialah penguasanya.
Tak bisa saling klaim, karena tak berizin dan berada di kawasana hutan milik negara. Atid mengaku, ia menghindari hal yang bisa memicu konflik dengan penambang lainnya. “Makanya saya atur baik-baik jadwal para penambang. Pekerja saya dan mereka yang meminta bagian di lubang tambang saya,” katanya.
Sebagai seorang penambang rakyat, Atid berharap pemerintah bisa memberikan izin bagi warga, biar asap di dapur mereka bisa terus mengepul. Sebab banyak warga yang menggantungkan hidup dari hasil tambang rakyat. “Coba kalau ada aturan, pasti bisa tertib. Bisa juga jadi pemasukan untuk negara. Semoga pemerintah memerhatikan nasib para penambang rakyat,” katanya.
Hasil tambang emas juga menopang kehidupan Andi Puasa (31). Ia sudah menambang sekitar 18 tahun lamanya, sejak masih remaja. Menjadi penambang tradisional memang tak mudah bagi Andi, namun penghasilannya yang menggiurkan membuatnya bertahan hingga kini.
Andi sudah merasakan asam garam di dunia tambang rakyat. Andi pernah menambang hingga kedalaman 800 meter, hanya dengan peralatan manual, seadanya. Dirinya bahkan nyaris meninggal karena tertimbun saat sedang menambang di kedalaman ratusan meter.
Andi mengisahkan, peristiwa sepuluh tahun lalu itu sempat membuat ia pasrah. Ia tertimbun dalam lubang tambang dari kaki hingga leher. Beruntung saat itu, temannya bisa menyelamatkan dirinya dari timbunan tanah dan bebatuan di dalam tambang.
Andi mengakui, peristiwa itu membuatnya trauma hingga kini. Ia menjadi sangat sensitif terhadap suara, apalagi suara-suara retakan seperti tanda mau longsor. Namun trauma Andi tak menghentikannya untuk menjadi penambang rakyat. Alasannya, sudah pasti karena ekonomi.
Apalagi Andi memang lahir dan besar dari keluarga penambang manual. “Saya sudah bisa beli rumah dan kendaraan, juga bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari hasil tambang ini,” katanya. Menambang adalah satu-satunya pekerjaan Andi dan ia mengaku akan terus menambang selama fisiknya masuk menunjang.
Seperti Andi, Gunawan Lasambu (42) juga rela bertaruh nyawa menambang demi ekonomi keluarganya. Sudah sekitar 25 tahun Gunawan jadi penambang emas. Berbeda dengan Andi, Gunawan bersyukur tak pernah mengalami kecelakaan parah dalam lubang tambang. Hasil dari menambang selama puluhan yang ia lakoni, bisa menunjang perekonomian keluarganya. “Hasil tambang ini memang kalau banyak, bisa banyak sekali,” katanya.
Gunawan selalu menyiapkan fisiknya agar prima saat turun ke lubang. “Karena sangat melelahkan. Harus menghancurkan material saat di bawah, belum lagi harus menyusuri lubang yang hanya seukuran badan,” katanya. Gunawan mengaku akan terus menambang selama fisiknya masih bisa. “Pokoknya akan terus menambang,” katanya.
Pengawasan Lemah, Penertiban Tak Beri Efek Jera
Pemerintah Kabupaten Minahasa tenggara mengklaim, sudah melakukan upaya maksimal untuk menjaga kebun raya dari penambang rakyat. Kenyataan di lapangan, masyarakat masuk keluar area tambang dengan mudah. Bahkan masuk melalui pintu utama Kebun Raya Megawati Soekarnoputri. Dalam area kebun raya, ramai aktivitas penambang rakyat.
Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap, sudah berkali-kali memberi pernyataan keras terkait aktivitas tambang rakyat di dalam Kebun Raya Megawati. Beberapa kali James Sumendap turun ke lokasi menggandeng TNI dan Polri untuk menertibkan lokasi tambang rakyat di kawasan terlarang tersebut. Saat ditertibkan, tenda-tenda penambang rakyat bahkan dibakar. Sumendap menyebut penertiban itu untuk memberi efek jera pada masyarakat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Tenggara, Muchtar Wantasen mengatakan hingga Maret 2021, sudah tujuh kali penertiban tenda penambang rakyat. Ia mengatakan Bupati James Sumendap telah menegaskan tak boleh ada aktivitas apapun di dalam kebun raya. “Pemkab Mitra bekerja sama dengan Polri telah memasang baliho peringatan ancaman pidana bagi penambang ilegal. Saat penertiban dilakukan, petugas telah membakar tenda-tenda penambang rakyat,” katanya.
Wantasen menampik, pengawasan pemerintah lemah sehingga aktivitas tambang rakyat di dalam kawasan kebun raya masih berlangsung. Wantasen malah mempertanyakan kinerja petugas jaga di dalam kebun raya, ketika tambang rakyat masih berlangsung.
Ia memang mengakui masalah tambang rakyat bukan perkara mudah. Ada unsur kemanusian, di mana masyarakat menggantungkan hidup dari hasil tambang tradisional. Sementara di sisi lain, aktivitas tersebut merusak lingkungan.
Di samping kesadaran masyarakat yang rendah, Wantase mengakui pengawasan di area kebun raya memang sulit karena banyak jalan tikus yang dilalui masyarakat untuk masuk. Meski pemerintah sendiri sudah mengantongi semua titik lokasi tambang rakyat di Ratatotok. “Yang pasti segala upaya telah kami lakukan. Tak boleh ada aktivitas tambang rakyat di dalam kebun raya,” ujarnya.
Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan pihaknya sudah melakukan penjagaan ketat. Penjagaan melibatkan pihak kepolisian maupun pemerintah daerah. "Tapi yang namanya hutan lindung itu kan luas. Tidak mungkin kami membentuk pagar betis," ujarnya.
Jules mengakui pihaknya sering kecolongan terhadap penambang yang masuk ke area tambang ilegal tersebut lewat 'jalan tikus'. Sebenarnya bagi masyarakat yang melanggar bisa dikenakan sanksi secara tegas. Sanksi yang bisa dikenakan tentu berdasar Undang-Undang (UU) yang berlaku yakni UU Lingkungan Hidup, Amdal, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan.
"Tidak ada satupun yang boleh memasuki kawasan hutan lindung tanpa izin. Apalagi beraktivitas. Maka kami ajak semua pihak terkait termasuk Pemda dan Dinas KLHK, ayo sama-sama kita awasi," katanya.
Bupati Usulkan Koperasi Penambang Rakyat
Pemerintah mengatur pembentukan wilayah pertambangan rakyat (WPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Sesuai beleid tersebut, WPR memilki beberapa kriteria di antaranya mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai, mempunyai cadangan primer logam atau batu bara dengan kedalaman maksimal 25 meter, dan luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 24 hektare (ha).
Peraturan Daerah Minahasa Tenggara Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah menetapkan daerah sekitar kebun raya sebagai area pertambangan. Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap memberi solusi bagi penambang rakyat dengan pembentukan koperasi.
Sumendap menyebut akan memberikan rekomendasi bagi masyarakat yang ingin membuat koperasi penambang rakyat di Ratatotok. Catatan Pemkab Mitra, hingga kini sudah ada tiga perusahaan pertambangan yang beraktivitas. Sementara ada empat koperasi baru mendapatkan rekomendasi pemkab untuk memulai pertambangan di sana.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat (APRI) Minahasa Tenggara mengatakan koperasi penambang rakyat yang dibuat Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara bisa saja menjadi solusi bagi penambang rakyat di Ratatotok. Sebab jika ada regulasi bagi penambang rakyat, kehidupan di tambang bisa teratur. Bahkan menurut Suak, hal ini bisa menyumbang PAD bagi daerah. Kehidupan tambang yang berlaku hukum rimba, serta tak terlalu memedulikan keselamatan, dikarenakan tak ada aturan.
“Tambang tak akan kacau kalau ada aturan. Faktor keselamatan juga tak dipedulikan karena ada rasa was-was, ditertibkan atau lubang tambang ini direbut orang lain. Tak ada beda kami dengan petani dan nelayan, yang menggantungkan hidup dari situ,” ujarnya yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Lingkar Tambang Ratatotok ini.
Suak menyebut pada dasarnya masyarakat mendukung ada pembangunan Kebun Raya Megawati Soekarnoputri, juga pembersihan lokasi tambang di luar kebun raya. Namun pihaknya meminta pada pemerintah untuk menyisakan lahan tambang bagi masyarakat untuk mengais rezeki. “Sudah hampir dua tahun kami mengurus izin tapi belum terealisasi. Belum ada kepastian, meski Undang-undang menyebut pemerintah harus bahkan wajib menyediakan Wilayah Pertambangan Rakyat,” ujarnya.
Laporan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center.