WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo March 8, 2021

Caring for the Forest With Coffee (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
A community reforestation project in Central Java, Indonesia.
English

Despite having the largest share of the world's tropical forest, Southeast Asia has become the world...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Tasuri, an environmental activist, walking through a dense forest.
Tasuri, an environmental activist in Petungkriyono, is committed to protecting the forest by utilizing existing coffee plants without clearing new land that can destroy forests and endanger animal habitats. Image by Siti Masudah Isnawati.

PEPOHONAN besar menjulang tinggi serta tajuk-tajuk pohon yang bersentuhan membentuk kanopi tampak di sepanjang jalan memasuki kawasan hutan di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Kadang dijumpai air terjun dan sungai yang mengalir sangat jernih.

Sejumlah papan larangan berburu satwa liar di hutan, terpasang di sejumlah titik di sepanjang jalan. Sesekali, salah satu “pemilik rumah”, seekor Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) menampakkan diri.

Kondisi itu sedikit menggambarkan ekologi hutan di Kecamatan Petungkriyono. Ekologi hutan di Petungkriyono masih terjaga dengan baik hingga saat ini seiring berkurangnya ancaman perburuan satwa dan aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di hutan.

“Kalau warga tidak berhenti melakukan pembalakan kayu dan perburuan satwa, hutan di Petungkriyono pasti sudah habis,” kata Tasuri (53), warga RT 01/ RW 01 Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Minggu, 21 Februari 2021.

Hutan di Kecamatan Petungkriyono tercatat seluas 5.516,62 hektare (ha), atau 74,96 persen dari luas wilayah Kecamatan Petungkriyono sebesar 7.358,52 ha. Dalam kecamatan tersebut, ada dua jenis hutan yaitu hutan lindung dan hutan produksi terbatas dengan tanaman pokok pinus.

Hutan di kecamatan tersebut ditetapkan sebagai hutan dengan konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF). Berada pada ketinggian 1.000-1900 meter di atas permukaan laut (mdpl), hutan di Petungkriyono merupakan karakter hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa.

Hutan Petungkriyono sudah dilanda pembalakan kayu dan perburuan satwa sejak tahun 1990an. Saat itu, hampir sebagian besar warga di sembilan desa di Petungkriyono menopang hidupnya dengan membalak kayu dan berburu satwa di hutan. Warga mengeksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tak terkecuali Tasuri.

“Dulu, saya sering membalak kayu di hutan. Saya jadi buruh tebang dan buruh panggul. Untuk satu pohon yang saya tebang, saya dapat upah Rp 2.000. Sedangkan untuk upah manggul, saya diberi Rp 5.000,” terangnya.

Dalam sehari, Tasuri menebang sepuluh hingga 15 batang pohon. Pohon yang ditebang di antaranya pohon babi (Crypteronia sp) yang banyak dicari karena kualitasnya paling bagus untuk kerangka rumah.

Selain membalak kayu, warga juga berburu satwa di hutan. Keanekaragaman hayati di hutan Petungkriyono memang melimpah. Ada 253 spesies, meliputi 63 spesies burung, 104 spesies kupu-kupu, 41 spesies anggrek, 19 spesies paku-pakuan, 22 spesies pohon dan empat spesies primata.

Bahkan, beberapa spesies yang berhabitat di Petungkriyono, merupakan spesies langka yang dilindungi. Di antaranya Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Surili (Presbytis comata), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Julang Emas (Rhyticeros undulatus) dan Elang Hitam (Ictinaetus malaiensis).

Agroforestri berbasis kopi yang diterapkan warga di hutan Petungkriyono tidak hanya memberikan penghasilan kepada warga, tetapi juga memberi manfaat bagi lingkungan, di antaranya meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengatur iklim. (suaramerdeka.com/Isnawati)
Agroforestri berbasis kopi yang diterapkan warga di hutan Petungkriyono tidak hanya memberikan penghasilan kepada warga, tetapi juga memberi manfaat bagi lingkungan, di antaranya meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengatur iklim. (suaramerdeka.com/Isnawati)

Burung Cucak Ijo (Chloropsis cyanopogon) menjadi salah satu incaran para pemburu karena harganya sangat mahal, sekitar Rp 500.000, saat itu. “Sembari menebang pohon, saya menjaring burung. Kalau beruntung, bisa dapat Cucak Ijo. Tapi karena tinggi pohonnya bisa mencapai empat meter, tidak selalu dapat burung itu. Yang paling sering, dapat burung biasa yang harganya Rp 2.000 hingga Rp 5.000,” kenang Tasuri.

Senada disampaikan Wahyono, warga RT 02/ RW 02 Dusun Tinalum, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono. Wahyono juga menjadi buruh penebang pohon dan berburu satwa di hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya dapat upah Rp 2.500 perbatang pohon yang sama tebang. Kalau mengingat hal itu, saya menyesal. Tapi saat itu untuk makan jalurnya hanya itu,” kata Wahyono.

Perambahan hutan menjadi salah satu penyebab utama berkurangnya tutupan pohon di hutan Petungkriyono. Dari penelusuran di laman Global Forest Watch, pada tahun 2001, Kabupaten Pekalongan kehilangan tutupan pohon seluas 198 ha. Tiga tahun berikutnya, hilangnya tutupan pohon mencapai 342 ha.

Agroforestri Kopi

Di tengah hujan yang mengguyur Petungkriyono siang itu, Tasuri sedang menggiling biji kopi, aktivitas yang dijalaninya sejak empat tahun terakhir. Aroma kopi menguar hingga ke seluruh ruangan.

Biji kopi itu berasal dari para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Wiji Mertiwi Mulyo. Tasuri dan 800 warga Petungkriyono lainnya memperoleh akses untuk mengelola tanaman kopi di hutan Petungkriyono dari Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pekalongan Timur.

Dari pembalak kayu, mereka beralih menjadi pembudidaya kopi. Mereka membudidayakan kopi di hutan dengan sistem agroforestri (wanatani) berbasis kopi. Para petani menyebutnya “kopi umbaran” (umbaran dalam bahasa Jawa artinya “dibiarkan”). Karena tanaman kopi yang dibudidayakan adalah kopi liar yang tumbuh di bawah naungan atau tegakan pohon-pohon besar di kawasan hutan di Petungkriyono.

Dalam budidaya tersebut, tidak ada perawatan sama sekali, termasuk penggunaan bahan-bahan kimia atau pestisida. “Setahun sekali pasca pemanenan, biji kopi diproses petani. Kalau sudah kering dibawa ke sini,” kata Tasuri.

Di Dusun Sokokembang, petani mengelola tanaman kopi di lahan Perhutani seluas 30 ha. Sementara itu, di Desa Tlogopakis, petani mengelola 20.000 tanaman kopi di lahan seluas 570,6 ha. Tercatat ada 50 petani di enam dusun yang mengelola tanaman kopi tersebut.

Sebelum mengenal pemrosesan biji kopi, petani menjual biji kopi dalam bentuk biji basah. Sehingga harganya sangat rendah. Harga jual kopi petik bebas hanya Rp 3.500 perkilogram.

Untuk meningkatkan nilai jual biji kopi, para petani diberi pelatihan dan pendampingan untuk mengolah biji kopi. Kegiatan ini diinisiasi Yayasan Swara Owa. Sejumlah barista dan pakar kopi didatangkan untuk memberikan edukasi bagaimana mengolah biji kopi mulai dari pascapanen hingga pemrosesan.

Peneliti dari Yayasan Swara Owa Arif Setyawan mengatakan , ia melihat masih banyak warga yang melakukan perambahan hutan dan perburuan satwa saat melakukan penelitian Owa di hutan Petungkriyono pada tahun 2006. Pembukaan hutan untuk perluasan budidaya kopi juga masih terjadi.

“Daripada meningkatkan produksi kopi dengan melakukan ekspansi ke dalam hutan dan menebang pohon yang bisa mengancam konservasi hutan dan membahayakan satwa, saya berpikir mengapa tidak mengoptimalkan produksi yang ada,” kata Arif Setyawan.

Berdasarkan penelitian, tanaman kopi robusta yang tumbuh di hutan Petungkriyono sangat toleran dengan sinar matahari dan bisa tumbuh dengan baik di bawah naungan (shade grown coffee).“Tanaman kopi dengan tipikal shade grown coffee kualitasnya jauh lebih bagus dibandingkan kopi yang dibudidayakan di perkebunan,” sambung Arif.

Setelah mengenal pemrosesan biji kopi, petani mulai melakukan penyortiran biji kopi setelah dipanen. Kopi petik hijau dijual ke pasar, sementara kopi petik merah diolah menjadi kopi siap saji (roast bean) ataupun kopi bubuk. Pengolahan biji kopi tersebut memberikan nilai tambah yang cukup tinggi. Harga biji kopi terdongkrak hingga berkali-kali lipat.

Wahyono mengatakan, setelah melalui pemrosesan, harga biji kopi mencapai Rp 40.000 per kilogram. “Dulu, setelah panen langsung dijual. Harganya hanya Rp 3.500 per kilogram. Kini, setelah melalui pemrosesan, harganya mencapai Rp 40.000 per kilogram,” kata Wahyono.

Seiring meningkatnya pengetahuan petani tentang pengolahan biji kopi, muncul unit-unit kelompok usaha kopi di hampir semua desa di Petungkriyono. Di Dusun Sokokembang, ada “Kopi Owa” yang diproduksi Tasuri bersama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nyi Parijotho.

Kopi Owa dijadikan branding karena kawasan hutan di Dusun Sokokembang merupakan habitat Owa Jawa. Dalam satu minggu, KUB Nyi Parijotho memproduksi 200 bungkus kopi kemasan 100 gram. Rata-rata pendapatan dari penjualan “Kopi Owa” kisaran Rp 3 juta per bulan.

Selain “Kopi Owa”, warga juga memproduksi kopi dengan merek “Kopi Ciblon”. Kopi ini merupakan pengembangan produk lokal dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Weloasri yang mendapat akses dari Perhutani KPH Pekalongan Timur untuk mengelola wisata di Sungai Welo. Ketua Pokdarwis Weloasri, Kuswoto (46), mengatakan, dalam sebulan produksi “Kopi Ciblon” rata-rata 20 kilogram hingga 30 kilogram.

Manfaat Ekologis

Bagi warga Petungkriyono, kopi tidak hanya bermakna ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga sebagai bentuk upaya mereka untuk menjaga kelestarian hutan.

Agroforestri berbasis kopi yang mereka terapkan, memberikan mereka penghasilan dan juga memberi manfaat bagi lingkungan karena para petani mengolah biji kopi tanpa menebang pohon di hutan. Langkah ini membantu mereka mempertahankan cadangan karbon dan air tanah dalam lanskap.

Beberapa penelitian menyebutkan, agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Selain itu, sistem wanatani ini dapat meningkatkan ketersediaan air tanah karena air hujan dapat diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat struktur tajuknya yang berlapis.

Agroforestri berbasis kopi juga berperan dalam mengatur iklim lokal melalui proses penyerapan dan penyimpanan cadangan karbondioksida dengan adanya keanekaragaman pohon penaung, sehingga emisi karbondioksida dapat dikurangi. Penelitian lain menyebutkan, agroforestri berbasis kopi juga berkontribusi terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan berperan mempertahankan keberadaan spesies endemik.

Kasi Sumber Daya Hutan KPH Pekalongan Timur Sri Sulistyowati mengatakan, suatu kawasanhutan dikatakan dalam kondisi baik ketika kelimpahan satwa yang ada stabil. “Dari hasil pemantauan satwa yang kami lakukan setiap tahun, kondisinya stabil. Itu bisa menjadi indikator kawasan tersebut bagus fungsi konservasinya,” terangnya.

Lebih lanjut Sri mengatakan, kondisi hutan di Petungkriyono cukup stabil dari tahun ke tahun. Tidak ada alih fungsi lahan dan penebangan pohon. Ia menyebutkan tidak ada kasus illegal logging di hutan Petungkriyono dari tahun 2010 sampai 2019. “Tutupan lahannya sangat bagus. Segi flora faunanya juga bagus. Illegal logging nihil,” sambungnya.

Kini, kegiatan berburu satwa dan membalak kayu yang mengeksploitasi sumber daya hutan, sudah tergantikan dengan kegiatan ekonomi produktif yang melestarikan hutan. Tasuri, yang sekarang menjadi pegiat lingkungan, mengatakan penduduk setempat senantiasa mengingat pesan para peneliti yang melakukan penelitian di Petungkriyono. “Rawat yang sudah ada dan jangan buka lahan baru karena akan merusak hutan dan membahayakan habitat satwa,” kata Tasuri.

Saat ini, semua desa di Petungkriyono telah memiliki Peraturan Desa (Perdes) tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes tersebut di antaranya mengatur tentang larangan menangkap satwa yang dilindungi untuk diperjualbelikan dan menebang pohon di wilayah hutan desa dan di wilayah mata air yang akan berdampak pada rusaknya atau hilangnya mata air.

Dengan penerapan agroforestri berbasis kopi, kondisi tutupan pohon di hutan lindung Petungkriyono yang sebelumnya banyak terbuka akibat aktivitas perambahan, perlahan-lahan menunjukkan perbaikan. Berdasarkan penelusuran di laman Global Forest Watch, Kabupaten Pekalongan kehilangan tutupan pohon seluas 198 ha pada tahun 2001. Namun pada tahun 2019, hilangnya tutupan pohon seluas 93 ha.

Sementara itu, secara akumulasi, sejak tahun 2001 hingga 2019, Kabupaten Pekalongan kehilangan 2,15 kilohektare (kha) tutupan pohon. Jumlah ini setara dengan penurunan 4,0 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 1,06 Mt emisi karbondioksida.

Namun dari kajian Global Forest Watch, kehilangan tutupan pohon tidak selalu berarti deforestasi. Hilangnya penutup pohon dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk deforestasi, kebakaran dan penebangan dalam rangka kegiatan kehutanan yang berkelanjutan. Di hutan yang dikelola secara berkelanjutan, kerugian pada akhirnya akan muncul sebagai keuntungan, seperti pohon-pohon muda dapat menjadi besar untuk mencapai naungan tertutup.


Tulisan ini adalah bagian dari proyek kolaborasi Southeast Asia Forest Recovery di bawah Climate Tracker yang mendapatkan dukungan dari Rainforest Journalism Fund dan Pulitzer Center.