Raungan mesin penyedot air bergema memantul dari dinding batu dan tanah. Raungannya terdengar berirama dan seakan saling bersaing mengeluarkan suara yang kuat. Setidaknya ada tujuh mesin pompa yang hidup. Semua pompa itu menyedot mata air yang sama di dasar lubang yang tampak bagai kawah gunung.
Air yang disedot lalu ditembakkan ke dinding tanah dan batu. Seorang pekerja yang memegang ujung selang berdiameter 1 inci bertugas mengarahkan tembakan air memecah dinding. Dinding tanah dan batu pun berguguran. Pekerja lainnya mengumpulkan tanah itu ke dalam karung. Begitu karung penuh terisi, segera dibawa ke sekelompok pekerja yang duduk melingkar.
Tanah dalam karung dikeluarkan dalam beberapa genggaman dan dipindahkan ke jae—peralatan dulang yang terbuat dari kayu atau alat dulang piringan besar berwarna hitam. Para pekerja yang mendulang sebagian besar adalah wanita. Mereka duduk melingkar, bekerja tanpa suara.
Di sebelah utara, sekitar 30 meter dari lokasi kelompok orang yang manggarai (mendulang), sebuah eskavator tengah bekerja. Alat berat berwarna kuning itu melakukan penggalian. Membuat lubang di sisi kemiringan runtuhan lubang besar. Sementara tanah galiannnya di buang ke lubang yang sudah tak terpakai.
Agak lebih jauh ke arah samping kanan, terlihat dua eskavator berkerjasama membuat trap. Dari atas terihat kedua alat berat bekerja dengan kompak. Sementara di sisi kiri lubang yang besarnya tidak kurang dari 100 meter X 300 meter, ada dua eskavator lainnya yang tengah bekerja. Kedua alat ini meruntuhkan tanah dinding lobang lalu mengonggokkannya pada tempat tertentu.
Di sisi lainnya, dari dasar lubang tampak sejumlah selang mengular naik ke atas. Ujung selang adalah peralatan peralatan untuk memisahkan tanah dan bebatuan dengan butiran emas. Siang itu belum dilakukan proses pencucian sebab eskavator masih membuat jalan dan belum melakukan penggalian.
Aktivitas di dalam lobang yang dalamnya sekitar 150 meter itu seakan tidak terganggung oleh teriknya matahari. Saat itu pukul 14.15 WIB, akhir Maret 2022. Matahari tampak lurus di atas mereka. Mengurangi sengatan matahari, semuanya memakai kemeja lengan panjang dan membaluti kepala mereka dengan kain dan topi.
Di atas lobang, beberapa buah alat berat juga melakukan aktivitas yang sama. Menggali tanah. Menumpuknya. Atau memasukkan ke atas peralatan khusus yang menyiraminya dengan air yang mengalir memisahkan tanah, batu dan emas.
Begitulah pemandangan yang tampak pada suatu tengah hari di akhir Maret 2022 lalu di Kimbahan. Kawasan yang berada dalam hutan ini populer namanya pasca meninggalkan 8 orang pekerja di tambang emas yang ada di situ akhir Mei 2021 lalu.
Kimbahan adalah salah satu lokasi tambang emas ilegal di Kabupaten Solok Selatan. Berada di Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari dan berjarak sekitar 60 km dari ibukota kabupaten, Padang Aro.
Tidak mudah mendatangi Kimbahan. Terutama setelah melewati Nagari Tanjung Durian yang terletak di sisi Sungai Sangir. Jalan tanah kasar dan belah-belah yang sesekali ditimbuni dengan koral dan pecahan batu.
“Kalau mau ke dalam mesti dengan motor besar. Atau motor yang sudah dimodif begitu. Tidak akan sampai kalau pakai motor matic ke sana,” kata seorang wanita muda pemilik kedai di depan jembatan buai yang melintasi Sungai Sangir seraya melarang pakai motor matic.
Tidak ada yang bisa ditumpangi atau sewa ojek ke dalam? “Yang bisa ditumpangi tidak ada. Tapi kalau ojek mungkin ada,” katanya. Ditanya berapa ongkos ojek ke dalam, wanita itu menjelaskan minyak untuk peralatan alat berat yang bekerja di Kimbahan dibawa oleh para tukang ojek. Ongkos bawa satu jerigen minyak Rp100 ribu. Sekali jalan mereka bisa membawa 3 jerigen.
“Kalau Abang sanggup tiga ratus ribu bisa saya carikan tukang ojeknya,” kata wanita itu seraya menelpon seseorang. Si tukang ojek yang kemudian datang mengaku bisa membawa ke dalam dengan ongkos segitu. Tetapi karena mau pulang dengan dia juga, ia minta ongkos Rp400 ribu. “Itu sudah banyak kortingnya,” ujar si tukang ojek.
Pono (35), tukang ojek itu, menjelaskan jarak ke Kimbahan dari Tanjung Durian tidak sampai 30 km. Tetapi untuk6 sampai ke sana paling tidak perlu waktu 2 hingga 3 jam. “Jalannya susah, banyak mendaki dan berbatu-batu. Pada beberapa tempat Abang mesti turun, tak kuat motor ini mendakinya,” katanya.
Tak berlebihan ucapan Pono. Jalannya memang terjal dan mendaki. Ditimbuni kerikil dan pecahan batu. Bila tidak hati-hati roda motor bisa tergelincir dan jatuh. Salah satu sisi jalan itu adalah tebing dengan kemiringan yang cukup tinggi yang berakhir dengan lembah yang dalam. Jalan memotong sisi kemiringan perbukitan. Pada banyak tempat, roda sepeda motor harus masuk ke dalam lobang semacam rel.
“Kalau musim hujan membawa minyak ke dalam hanya bisa satu kali sehari. Jalan licin sekali. Sering harus ditarik motornya. Itu sebabnya kalau kau ke dalam harus berombongan. Bisa saling tolong menolong,” jelas Pono pula.
Tinggalkan Lubang
Pengakuan beberapa penambang di sejumlah lokasi, semenjak tahun 2020 aktivitas tambang emas di Solok Selatan sudah memperlihatkan penurunan. Masa puncaknya adalah dari tahun 2015 hingga 2019.
“Waktu itu di Kimban ini ribuan orang yang kerja. Kalau malam hutan ini seperti menjadi kota. Dulu itu, kalau sudah sampai di sini, malas mau ke luar. Semua ada di sini,” cerita Pono yang pernah menjalankan pekerjaan manggarai. “Dulu puluhan alat (berat) di dalam ini. Kerja siang malam.”
Kimbahan atau yang oleh warga sekitar disebut Kimban, adalah salah satu kawasan tambang emas ilegal yang masih aktif sampai sekarang. Berada dalam kawasan hutan lindung. Areal pencarian emas yang luasnya sekitar 35 hektar bagaikan sebuah lembah yang sekelilingnya adalah perbukitan. Tak beda dengan tempat lainnya, keberadaan emas dalam perut bumi daerah ini sudah diketahui dan dikelola semenjak zaman penjajahan Belanda.
Hanya sepertiga dari kawasan lembah itu yang dilakukan aktivitas pencarian emas. Selebihnya adalah lahan bekas penambangan. Sebagaimana yang terlihat sekarang, lahan-lahan bekas galian atau bukit-bukit tempat menumpuk tanah dan bebatuan galian. Sebagian besar lahan kawasan itu berupa kolam-kolam besar yang sangat dalam dengan tumpukan batu di sekeliling.
Tak beda dengan Kimbahan, kawasan di Sungai Pamong Gadang dan Pamong Ketek di Jorong Jujutan, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir kini berubah menjadi kolam-kolam besar yang pagari dengan tumpukan tanah dan batu. Dua kawasan tambang emas yang berjarak sekitar 10 km dari Padang Aro ini telah ditinggalkan para penambang.
“Tidak ada emasnya lagi,” ujar seorang pendulang emas yang pindah ke Kilo Duobaleh. Selain itu, lahan ini sangat dengan dekat perkampungan karenanya sering didatangi petugas yang melakukan razia.
Padahal, lahan Pamong Gadang dan Pamok Ketek itu sebelumnya adalah lahan persawahan yang subur. “Dulunya kawasan itu adalah lahan sawah warga. Cukup subur dan mendapatkan air yang cukup dari sungai Pamong yang mengalir di situ,” sebut Rainal Daus, Program Manager Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Pihak KKI Warsi Sumbar mengaku pernah melakukan pembinaan terhadap warga yang punya sawah di Pamong Gadang dan Pamong Ketek tersebut. Namun dikalahkan antusias warga yang merasa akan mendapatkan hasil yang lebih banyak dengan mengubah sawah menjadi tambang emas. “Nyatanya sekarang emas habis, lahan tersebut menjadi rusak,” kata Rainal.
Kerusakan yang sama juga terjadi di Balun, Sampan dan Lompatan di Nagari Pakan Rabaa Utara, Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh. Pencarian emas di sini menggunakan mesin pompa air yang ditembakkan ke perbukitan. Lalu air dan tanah turun dialirkan ke pipa kayu yang berjenjang. Di ujung pipa diletakkan karpet sebagai penahan butiran emas. Di Solok Selatan aktivitas pencari emas ini dikenal dengan istilah marobin.
Walau tidak menggunakan alat berat, namun reruntuhan dinding bukit sangat mengkuatirkan bila terjadi hujan lebat. Penggalian dilakukan semaunya tanpa mempertimbangkan kerusakan yang terjadi.
Jauh ke dalam hutan kerusakan lingkungan yang terjadi justru makin berat. Mungkin karena aktivitas dilakukan sesukanya tanpa peduli dengan kerusakan. Di pihak lain, para pekerja dan penambang bisa jadi tidak merasa takut. Mereka berada jauh dalam hutan dan tidak semua orang sanggup masuk ke dalam.
Bayangkan saja, untuk sampai lokasi tambang mereka di Bukit Kandih, Bukit Sapek, Bukit Guo, Bukit Tambang Pinang dan Sungai Anduriang di Nagari Pakan Rabaa Timur, mesti berjalan kaki 5 hingga 7 jam. “Tidak bisa naik sepeda motor. Harus jalan kaki,” ujar seorang warga di Muaro, tak jauh dari tempat penitipan sepeda motor penambang yang masuk hutan.
Pengakuan seorang warga yang manggarai, sudah berkurang aktivitas dalam hutan. Terlihat dari sedikitnya alat berat yang berada di lokasi. Saat didatangi akhir Maret 2022 lalu, ada empat alat berat yang melakukan pencarian emas di Bukit Kumani itu.
Sejumlah alat berat juga bekerja di Lubuak Pakak, Antokan, Bukit Simaung dan Lubuak Lakok. Untuk mendatangi kawasan tambang ini mesti naik tempek (perahu bermotor) sekitar satu jam.
“Dulu puluhan alat yang ada di dalam,” sebut Marno, warga yang bekerja sebagai pembawa minyak ke dalam hutan.
Perusak Hutan
Bekas tambang emas yang kini ditinggalkan dengan lobang-lobang besar dan dalam ada di Bukit Kadih, Bukit Sapek, Bukit Guo, Bukit Tambang Pinang, Bukit Tanah Taban, Ngalau Randah dan Bukit Parak Kopi. Kadar kerusakan alam di bekas tambang itu tidak jauh berbeda.
Kerusakan juga terjadi dengan daerah aliran sungai (DAS) Batanghari. Puluhan lokasi tambang yang ada di pinggir sungai dan kawasan perbukitan tersebar di Nagari Lubuk Ulang Aling Tengah, Lubuk Ulang Aling Selatan dan Lubuk Ulang Aling Induk. Sebagian dari lokasi tambang itu sudah ditinggalkan. Yang tampak sekarang lubang-lubang besar, dinding bukit yang runtuh, tumpukan tanah dan batu bekas galian.
Pejabat Walinagari Lubuk Ulang Aling Tengah, Lukman SE, mengakui aktivitas tambang di Sungai Batanghari dan kawasan perbukitan yang ditenggarai merusak habitat alam menyebabkan seringnya terjadinya banjir di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Dharmasraya dan Jambi itu.
“Salah satu akibatnya terjadi banjir pada tahun 2019 lalu. Itu banjir paling selama ini. Tinggi air sampai ke sini,” tunjuknya pada pertengahan jendela ruang kantor walinagari. “Pada waktu itu tambang emas memang lagi marak-maraknya,” jelasnya.
“Kerusakan alam sebagai akibat penambangan emas adalah dampak yang tidak bisa dielakkan karena dilakukan tanpa arahan dan pembinaan. Tambang berkurang mudah-mudahan kerusakan juga berkurang,” ujarnya.
Dipertanyakan aktivitas mereka yang berdampak buruk pada alam, para pencari emas di Kimbahan, Kilo Duobaleh dan Pinti Kayu malah mengaku tidak melakukan perusakkan hutan. “Mencari emas itu tentu harus menggali tanah. Mana bisa dapat emas kalau tidak menggalinya. Lama-lama bekar galian ini akan tertutup sendiri,” kata seorang pencari emas di Kilo Duobaleh dengan marobin.
“Kalau dibandingkan dengan hutan yang luas itu belum seberapa yang rusak karena kami ini. Merusak hutan itu kalau menebangi kayu. Ini juga tambang lama yang kembali digali,” sebut pendulang di Kimbahan.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Solok Selatan, Feri A, mengaku tidak punya data kerusakan hutan yang terjadi karena tambang emas ilegal. “Belum tahu kita karena belum pernah melakukan pendataan. Mungkin masyarakat yang tahu,” ujarnya.
Namun pihak KKI Warsi menyatakan setidaknya terjadi kerusakan pada lahan seluas 4.975 hektar di Kabupaten Solok Selatan dalam rentang waktu tiga tahun, dari 2017 hingga 2020. Penyebab utamanya adalah karena penambangan emas ilegal. Penurunan tutupan hutan di Solok Selatan terluas kedua setelah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
“Data tersebut didapatkan dengan melakukan analisis citra satelit. Untuk tahun ini belum dilakukan analisa,” sebut Rainal didampingi Ahmad Salim Ridwan yang melakukan analisis.
"Dari analisis kita tambang emas ilegal sudah masuk ke dalam kawasan hutan. Terdapat empat ribu hektare kawasan sempadan sungai yang sebagiannya berada dalam kawasan hutan dirusak oleh penambangan emas ilegal ini," ungkapnya.
Pihak Walhi punya pendapat yang sama. Bahwa aktivitas tambang emas ilegal di Solok Selatan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan warga sekitar. “Keberadaan tambang emas ilegal sejatinya tidak menguntungkan masyarakat lokal yang menjadi pekerja tambang, melainkan pihak di baliknya yang memiliki modal besar,” ujar Wengki Purwanto, Direktur Walhi Sumbar, menjawab padanginfo.com.
Menurutnya, solusi untuk masyarakat agar tidak terlibat penambangan emas ilegal yang berdampak pada kerusakan alam adalah dengan mengedepankan pengembangan produk dari komoditas pertanian atau perkebunan utama di wilayah tersebut. “Upaya ini lebih memberi dampak jangka panjang bagi masyarakat, karena tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.”
Kerusakan lingkungan yang terjadi diperkirakan akan terus meluas sepanjang aktivitas tambang ilegal masih berjalan. Seperti yang terjadi kawasan Pamong Gadang dan Pamong Ketek yang ditinggalkan karena emasnya tidak ada lagi, para pencari emas berpindah makin ke dalam hutan. Yakni ke Muaro Sungai Pahik, Simabuo, Kilo Duobaleh dan Lubuk Bingkuang. Saat didatangi akhir Maret 2022 lalu, didapatkan tiga alat berat dan puluhan robin yang bekerja pada empat lokasi tambang itu.
Koordinator Inspektur Tambang Penempatan Sumbar Kementerian ESDM, Hendri M Sidik, yang dihubungi padanginfo.com enggan memberikan penjelasan. “Kalau soal itu saya tidak bisa ngomong. Coba surati saja Dirjen Minerba ESDM,” katanya.
Abdul Aziz, mantan Ketua KPA Wilnasa yang kini aktif di Walhi Sumbar, tidak melihat ada langkah yang dilakukan pemerintah daerah dan provinsi sebagai solusi memperbaiki atau menghentikan kerusakan lingkungan akibat tambang. “Solusinya adalah menghentikan tambang ilegal itu,” tegasnya. (Afrimen MN)
Laporan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center.