WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo December 12, 2023

In the Hands of Millennials, We Pass on Indigenous Forests (bahasa Indonesia)

Country:

Authors:
a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Kaum milenial menjadi tim <i>ranger</i> Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo di Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023).
Millennials form the ranger team of Depati Karo Jaya Tuo Customary Forest in Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Sunday (26/11/2023). Image by Irma Tambunan. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


Younger generations, increasingly recognizing the significance of their ancestral forests, are taking the reins in safeguarding these territories for future legacies. Tulus Sinambela, at 24, represents a group of 76 youths from various regions in North Sumatra, forming the Naposo Pature Bona (NPB) organization to defend customary forests from impending threats by companies and governmental influences. Having seen the struggles of his parents, Tulus, part of the Pandumaan Sipituhuta Indigenous Community, embraces the responsibility of protecting their 4,399-hectare area recently legalized by the Ministry of Environment and Forestry.

Driven by the need to preserve their forests, Tulus and others delve into studying the forest's potential, especially in cultivating incense plants, which are a mainstay of the local economy. However, declining yields due to external factors like climate change and conflicts with companies have challenged their livelihoods. Seeking ways to add value to incense products and advocating for increased awareness among young people about their traditional territories, NPB was established not just for protection but for the development of these areas.

Transferring knowledge from older generations to the youth remains crucial, ensuring the forest's future. This involves striking a balance between economic empowerment and maintaining a connection to the forest and nature. An economic approach that doesn't create dependency on external factors, like promoting organic farming and climate adaptation, is essential. Encouraging creativity among the younger generation while preserving Indigenous wisdom remains vital for the sustainable protection of customary forests.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund coverage of Indigenous issues and communities. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Di Tangan Milenial, Kami Wariskan Hutan Adat

Anak-anak muda memegang tampuk pengelolaan hutan adat di desanya. Kreativitas dan dukungan transfer pengetahuan lokal dari generasi tua menjadi bekal milenial dalam menjaga hutan.


Semakin banyak anak muda kini terbuka dan sadar akan potensi hutan adatnya. Kaum milenial perlu terus merawat kelestarian hutan agar kelak dapat mewariskan kepada generasi berikutnya.

Di usia yang masih kepala dua, Tulus Sinambela lega mendapatkan pengakuan atas hutan adat mereka. Seumur hidup ia menyaksikan orangtuanya berjuang merebut kembali hutan adat itu dari perusahaan monokultur. Kini, tampuk perjuangan ada di tangannya.

Tulus (24) bersama 76 pemuda lain dari Kabupaten Tapanuli Utara, Samosir, Toba, dan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, bergabung membentuk organisasi pemuda petani Naposo Pature Bona (NPB).

”Cikal bakalnya karena masih banyak ancaman dari perusahaan, juga dari pemerintah. Kalau enggak dilindungi sama anak muda, ya, hutannya selesai juga,” ucap anggota Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta itu, Rabu (15/11/2023).

Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan dua tahun lalu mendapatkan legalitas seluas 4.399 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mereka bersama lima kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara bisa mengelola 7.224 hektar.

Lewat organisasi dampingan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mereka mulai pelajari potensi hutan. Salah satunya dengan mengurus tanaman kemenyan warisan.

Pohon kemenyan merupakan andalan ekonomi keluarganya meskipun mereka menggarap tanaman kebun lainnya untuk kebutuhan sehari. Sejak konflik lahan dengan perusahaan, pohon mereka tidak hanya berkurang, tetapi juga menurun produktivitasnya. Lima tahun menjadi petani, Tulus merasakan penurunan hasil getah bernilai ekspor itu karena faktor iklim.

”Di luar masa panen raya, kita juga rutin ke hutan untuk ambil tahir (sisa getah panen). Tapi, sehari di hutan paling dapat 2 kilogram, bahkan satu bakul saja enggak penuh. Padahal, dulu bisa dapat dua tiga kalinya,” kata Tulus. Harga tahir kemenyan sekitar Rp 100.000 per kilogram, lebih murah dari getah panen Rp 300.000 per kg.

Anggota Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, Tulus Fransiskus Sinambela (24), tiba di rumahnya dengan membawa hasil kemenyan dari hutan adat di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (15/11/2023).
Anggota Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, Tulus Fransiskus Sinambela (24), tiba di rumahnya dengan membawa hasil kemenyan dari hutan adat di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (15/11/2023). Foto oleh Nikson Sinaga. Indonesia, 2023.

Penurunan hasil kemenyan dirasakan meluas di Tano Batak. Mereka pun mulai mencari cara meningkatkan nilai tambah hasil kemenyan daripada menjualnya langsung kepada tengkulak. Salah satunya dengan berlatih membuat minyak wangi dari getah kemenyan. Ia berharap pelatihan berlanjut.

Ia juga ingin lebih banyak pemuda yang lebih terbuka dan paham dengan potensi wilayah adat mereka. Memang pernah ada fase ingin meninggalkan kampung setelah lulus sekolah menengah atas. Tidak sedikit anak muda ingin menyerah karena dilanda kesulitan ekonomi.

”Makanya, NPB itu dibentuk bukan cuma untuk mengelola dan melindungi wilayah adat dan hutannya, tetapi juga mengembangkannya,” ucapnya

Kreativitas milenial

Tak hanya di Tano Batak, geliat anak muda menjaga hutan kini hidup di Desa Rantau Kermas, Merangin, Jambi. Ketua Pengelola Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo Agustami (30) menceritakan, dirinya membulatkan tekad pulang kampung selepas lulus kuliah di Kota Jambi. Ia pun ditantang oleh para tetua untuk melanjutkan tampuk pengelolaan hutan adat. Agustami menerimanya.

Setelah pengurus baru terbentuk, Agus mengajak sesama milenial untuk bersama-sama mengurus hutan adat. Rantau Kermas akhirnya memasuki lembaran baru lewat regenerasi kepengurusan hutan adat.

Anak-anak muda menjadi pengurus Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo di Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023).
Anak-anak muda menjadi pengurus Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo di Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023). Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia, 2023.

Kreativitas kaum milenial melengkapi bekal pengetahuan lokal dan hukum adat dari para orangtua. Lewat itulah tumbuh berbagai inovasi. Mulai dari mengelola pohon asuh, membangun ekowisata, homestay, jalur trekking hutan adat, membangun energi bersih air, listrik, dan persampahan, hingga pengembangan rumah produksi kopi.

Berbagai terobosan di Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo membawa masyarakat hidup nyaman dan sejahtera. Dari sisi ekonomi, hasil pengelolaan hutan adat mendatangkan lebih dari Rp 400 juta per tahun.

Hasil yang melimpah itu dibagi-bagikan untuk masyarakat. Mulai dari bantuan kebutuhan pokok, pendidikan anak miskin, membangun masjid, pengembangan BUMDes, hingga honor bagi tim patrol dan pengurus hutan.

Dari enam pengurus hutan adat itu, lima di antaranya berusia 30 tahun ke bawah. Hanya satu yang berusia hampir 40 tahun. Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Hutan adat itu meraih Best Practice Awards Winner 2023 dari Unesco Global Geopark. Berlanjut dengan meraih penghargaan Desa Proklim 2023 dari Kementerian KLHK.

Ketua dan bendahara Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo, Agustami (30) dan Ledia (30), mewakili para pengurus hutan adat itu di Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023). Hutan adat kini dikelola para anak muda, membawa hutan lestari dan dikelola ekowisatanya. Desa pun mandiri energi bersih.
Ketua dan bendahara Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo, Agustami (30) dan Ledia (30), mewakili para pengurus hutan adat itu di Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023). Hutan adat kini dikelola para anak muda, membawa hutan lestari dan dikelola ekowisatanya. Desa pun mandiri energi bersih. Foto oleh Irma Tambunan. Indonesia, 2023.

Para pengurus hutan punya hobi yang sama. Menjelajah hutan dan menikmati pohon-pohon bertajuk luas. Mereka pastikan tak boleh satu batang pohon pun ditebang dalam hutan adat.

Pendekatan ekonomi

Direktur KSPPM Delima Silalahi mengatakan, pengelolaan hutan adat perlu dilengkapi dengan transfer pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda. Selama ini, lemahnya wawasan dan rendahnya ekonomi kerap menghambat transfer pengetahuan tersebut.

Transfer pengetahuan bisa dilakukan dengan menjembatani kebutuhan ekonomi pemuda. Ia tidak memungkiri bahwa tantangannya banyak orang tua di desa hidup susah karena menjadi petani sehingga tidak ingin anaknya tinggal di kampung.

Ia mengusulkan pemerintah perlu mendukung dengan cara tanpa menawarkan program yang membebani keuangan warga. Yang perlu dihindari, misalnya, menawari pinjaman kredit usaha atau menyuplai produk untuk pertanian dari luar. Hal itu menciptakan ketergantungan di kemudian hari.

Pendekatan ekonomi dengan menurunkan biaya menjadi cara tepat untuk memberdayakan masyarakat adat, khususnya anak muda. Misalnya, lewat pertanian organik atau menyalurkan biaya adaptasi iklim. ”Bagi kami, perlu sangat hati-hati ketika membuat program atau melakukan perencanaan bersama. Jangan sampai program yang kita tawarkan itu membawa mereka dalam perangkap menjadi masyarakat ekonomis, yang menjauhkan mereka dari hutan dan alamnya,” ujarnya.

Anggota Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023).
Anggota Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan, Jonris Simanjuntak (49) dan Sarno Simamora (37), beraktivitas di hutan adat kemenyan mereka di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (17/11/2023). Foto oleh Nikson Sinaga. Indonesia, 2023.

Senada itu, Kepala Sub-Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Yuli Prasetyo Nugroho mengatakan, dukungan pengelolan hutan adat coba diberikan dengan menyesuaikan kebutuhan. Generasi muda diharapkan kreatif. Bantuan dari pemerintah diupayakan menghilangkan ketergantungan masyarakat. ”Membuat bibit lokal melalui tanaman lokal mereka, itu kita sarankan,” katanya.

Oleh karena itu, saatnya membekali generasi muda menjadi penerus bagi perlindungan hutan-hutan adat. Bekal kearifan lokal dari generasi tua berpadu dengan kreativitas anak muda. Lewat merekalah, masa depan bumi kita sandarkan.