An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Over decades, Bangkal Village in Seruyan Regency, Central Kalimantan, saw vast forested lands transformed into oil palm plantations, fueling enduring conflicts. Residents' hopes for employment and the fulfillment of promises from the palm oil industry have been dashed, leaving their ancestral lands exploited. A tragic death during clashes with authorities highlights an 18-year-old dispute, originating from the government's attempts to gain permission for plantation conversion.
Initially resisting offers to convert their forests, villagers later succumbed to enticing promises, yet these commitments remain unfulfilled. The loss of ancestral grounds, hunting areas, and rituals evokes a poignant sentiment of being forcibly displaced. This story reveals a stark contrast between past livelihoods, where forests provided essentials like bongkal tree leaves for cooking, and the current reality of cultural erosion and conflict escalation.
Bangkal's struggle mirrors a broader trend, exemplified by the Kinipan Village conflict, where Indigenous communities face similar challenges of land exploitation, legal battles, and altered livelihoods due to oil palm expansion. The conflict-stricken regions call for attention to customary territories, emphasizing the need for resolution through dialogue to prevent further disturbances while prioritizing the community's welfare over investments.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund coverage of Indigenous issues and communities. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Hutan Adat di Seruyan Hilang, Nyawa Pun Ikut Melayang
Hutan adat di Bangkal, Seruyan, hilang berganti sawit. Tidak hanya lahan bernafkah musnah, nyawa warga pun ikut melayang.
Belasan tahun lalu, mayoritas kawasan Desa Bangkal di Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, adalah hutan dan ladang warga. Kini, banyak lahan berganti kebun sawit. Sejak saat itu, konflik pun belum ketahuan ujungnya.
Selasa (28/11/2023) sore, wajah Maselin (45) murung. Dia kehilangan semangat saat hendak pulang meninggalkan aula kantor Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan.
Hari itu seperti mengulang kisah-kisah muram dalam hidupnya. Mediasi warga Bangkal dengan pemerintah tentang kebun plasma sawit tanpa hasil.
Tuntutan ratusan warga mendapat kebun plasma tidak kunjung terpenuhi. Artinya, pupus pula harapannya untuk mandiri menggarap lahannya.
Tiba di rumah, 2 kilometer dari kantor desa, gairah Maselin tiba-tiba muncul saat ditanya tragedi 7 Oktober 2023. Kala itu, Bangkal rusuh. Warga yang menggelar aksi bentrok dengan aparat.
Salah satu korbannya adalah Gijik (35). Kawan seperjuangannya itu tumbang. Gijik tewas ditembak. Sampai sekarang, pelakunya belum ditangkap.
Maselin mengatakan, kematian Gijik adalah buah dari bara yang tidak kunjung padam 18 tahun terakhir. Awalnya, ia ingat betul saat orang-orang datang ke desanya menggunakan mobil mewah. Semua kemewahan itu kontras dengan akses jalan yang masih rusak parah.
Orang-orang berseragam itu turun dari mobil. Mereka lalu bertemu warga, termasuk dirinya.
Panjang lebar mereka bicara. Kata Maselin, intinya, orang-orang itu meminta izin agar dibolehkan mengubah hutan jadi kebun sawit.
”Semua orang saat itu menolak,” kata Maselin.
Walakin, para pejabat itu tak menyerah. Mereka kembali ke desa dengan berbagai janji manis.
Ada lapangan pekerjaan di perusahaan, kebun hak (kini disebut kebun plasma) untuk masyarakat, hingga kesejahteraan yang bakal membaik. Warga pun luluh.
Namun, janji tinggal kenangan. 18 tahun berlalu, tidak semuanya dipenuhi.
Padahal, hutan dan ladang terlanjur diberikan. Tempat warga berburu, meramu bumbu, hingga tempat ritual hilang tak tersisa.
Salah satu kehilangan yang dirasakan Maselin adalah keberadaan pohon bongkal. Pohon itu sulit sekali ditemukan. Padahal, dahulu daunnya merupakan andalan para ibu memasak.
Saking banyaknya pohon itu, leluhur mereka menamai desa mereka dengan nama Kampung Bongkal. Penyebutannya lama-lama berubah menjadi Bangkal sampai hari ini.
Daun pohon bongkal ini berfungsi sama seperti daun sengkubak dan sungkai (Pycnarrhena cauliflora Diels). Diels yang dalam kajian etnobotani, daun-daunan itu memiliki kandungan menyerupai monosodium glutamate (MSG) atau penyedap rasa (Kompas, 5 Agustus 2020).
”Dulu ayah berburu, ibu yang kumpulkan bahan untuk masak. Itu semua hilang sekarang, yang seperti itu sudah tidak ada lagi. Makanya, kami heran, kami ini seperti terusir dari tanah leluhur kami,” ungkap Maselin.
Ingatan serupa juga diungkapkan James Watt (50). Sewaktu perusahaan sawit belum datang ke kampungnya, hutan merupakan tempat warga berburu rusa dan babi hutan hingga rotan dan getah nyatu (Artocarpus elasticus).
Rotan dibuat menjadi bahan dasar keranjang, tikar, dan banyak perkakas lainnya. Sementara getah nyatu dibuat menjadi hiasan ruangan. Sampai saat ini, getah nyatu menjadi salah satu kerajinan tangan khas Kalimantan.
”Kami awalnya tidak mau hutan itu jadi kebun sawit. Kami mau kelola sendiri saja hutan itu, tetapi pemerintah datang menjanjikan banyak hal. Akhirnya banyak yang menerima. Mau tidak mau kami terima juga,” kata James. Tiga tahun lalu, James pernah dipenjara karena dituduh mencuri sawit di kebunnya sendiri.
Korban jiwa
Konflik itu membuat warga lelah dipanggil berkali-kali ke Polda Kalteng. Lahan tak didapat justru proses hukum yang datang.
Setidaknya, 35 orang dipanggil Polda Kalteng dengan berbagai kasus, mulai dari persoalan penembakan Gijik hingga tuduhan mengganggu keamanan.
Ironisnya, kematian Gijik tidak menjadi pelajaran. Perseteruan justru meruncing.
Warga mengetahui jika PT HMBP beroperasi di luar HGU dengan luas lahan 1.175 hektar. Namun, pemerintah bersama perusahaan hanya ingin membagi uang dari sisa hasil usaha (SHU) untuk mengganti tuntutan warga yang ingin lahannya dikembalikan. Warga menolaknya.
Direktur PT HMBP Roby Zulkarnaen tak mau berkomentar soal itu. Ketika ditanya potensi pelanggaran perusahaan beroperasi di luar HGU, ia menjawab sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
”Nanti dikoordinasi dengan pemda. Kami sudah melakukan kebijakan mengikuti UU Cipta Kerja,” kata Roby.
Konflik Kinipan
Tak hanya di Seruyan. Konflik serupa juga terjadi di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng. Hutan adat mereka kini terancam perkebunan sawit.
Dari total 16.000 hektar hutan adat yang diusulkan sejak 2018, hampir 4.000 hektar sudah dibuka untuk ditanami sawit.
Masyarakat adat Kinipan juga menghadapi proses hukum, serupa dengan konflik di Seruyan. Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing ditangkap karena dituduh menjadi dalang aksi perusakan fasilitas perusahaan.
Selain itu, lima warga lainnya juga ditangkap. Mereka kemudian dibebaskan dengan status masih menjadi tersangka. Pembebasan dilakukan setelah polisi mendapatkan tekanan luar biasa dari masyarakat luas, termasuk di media sosial.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki juga pernah berurusan dengan hukum karena dituduh korupsi. Banyak pihak menilai kasus itu terkesan dibuat-buat.
Hengki dinyatakan tidak bersalah oleh persidangan. Dia bisa menghirup udara bebas setelah ditahan hampir selama proses hukum berjalan.
”Semua itu tidak menyurutkan niat kami mendapatkan hutan adat, mendapatkan pengakuan dan perlindungan,” ungkapnya.
Wilayah adat
Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibie menjelaskan, hutan adat bukan sekadar skema pemerintah belaka, melainkan ruang hidup. Mestinya pemerintah melihatnya dari kacamata adat atau kearifan lokal, bukan investasi semata.
”Berburu dan berladang merupakan aktivitas rutin yang dipraktikkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka di hutan, adat bahkan sebelum negara ini ada,” kata Habibie.
Habibie menambahkan, konflik mulai mewarnai kehidupan masyarakat adat ketika industri kelapa sawit hadir di wilayah mereka. Pola produksi masyarakat adat pun berubah. Selain itu, industri kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan kehidupan sosial masyarakat adat di wilayah tersebut.
”Akses mereka terhadap tanah dan hutan semakin terbatas dan ruang hidup mereka semakin sempit,” kata Habibie.
Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo menjelaskan, segala konflik seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah agar iklim investasi tidak terganggu dan masyarakat bisa mendapatkan manfaatnya.
”Yang selalu kami tekankan adalah investasi bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Ke depan, persoalan seperti ini sebaiknya dimusyawarahkan dengan baik,” ungkap Edy.
Edy menambahkan, APBD Kalteng di tahun 2024 meningkat menjadi Rp 8,7 triliun dari sebelumnya Rp 6,1 triliun. Salah satu faktor yang meningkatkan APBD itu berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) yang meningkat, yakni royalti tambang batubara dan dana bagi hasil perkebunan sawit.
”Jadi bukan hanya pembagian (anggaran) dari pusat saja, melainkan karena PAD yang meningkat,” ujarnya.
Kalteng memang wilayah yang masih berpotensi untuk mengembangkan perkebunan sawit juga tambang batubara. Namun, tidak seharusnya semua menyisakan konflik. Hutan adat yang menjadi ruang hidup masyarakat seharusnya bisa mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar lagi ketimbang investasi.