WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo December 16, 2023

Indigenous Peoples, Forest Guardians with Difficult Access to Basic Services (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

The atmosphere of the hills and mountains in Mului Village, Swan Slotung Village, Muara Komam Subdistrict, Paser Regency, East Kalimantan, Sunday (19/11/2023). Image by Sucipto. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


Indigenous communities in Indonesia guard the environment, employing sustainable practices that mitigate the impact of climate change. Despite their crucial role, many face challenges accessing basic services. The Mului community, nestled in East Kalimantan's Paser Regency is one such example. These recognized Indigenous people, numbering 123, manage vast forest territories providing for their necessities - water from rivers, food from fields and forests, and shelter sourced from the surrounding woods. Employing traditional farming techniques, they sustainably tend to their land, fostering its fertility while nurturing an age-old harmony with nature.

However, their dedication to the environment is not met with reciprocal support for contemporary needs. The village's access remains hindered by treacherous roads, making medical emergencies an arduous ordeal. Umi's childbirth journey exemplifies this struggle, navigating rugged terrain to reach basic healthcare facilities. Moreover, limited education options contribute to high dropout rates, impacting the community's progress. Basic sanitation practices also remain a challenge, exposing them to health hazards.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Despite their invaluable contributions to maintaining forests and receiving carbon trading funds for East Kalimantan, many Indigenous groups, including Mului, lack legal recognition and struggle to access fundamental services, an irony considering their significant role in preserving the environment. Efforts are underway to address these disparities, with initiatives focusing on housing, sanitation, education, and healthcare. Yet, there's a pressing need for comprehensive recognition and support to honor their commitment to environmental preservation while ensuring their basic rights and amenities are met.

Masyarakat Adat, Penjaga Hutan yang Sulit Akses Layanan Dasar

Masyarakat adat berkontribusi menjaga tutupan hutan yang manfaatnya dirasakan dunia. Namun, mereka masih sulit mendapat akses layanan dasar layaknya seperti warga lain.


Mitigasi yang dilakukan masyarakat adat di Indonesia berandil penting membantu dunia bertahan dari perubahan iklim. Ironisnya, sebagian dari warga adat masih kesulitan mengakses layanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Hal itu terlihat saat Kompas mendatangi masyarakat hukum adat Mului di pedalaman Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, November 2023. Komunitas itu sudah diakui sebagai masyarakat adat pada 2018 atau yang pertama diakui pemerintah di Kaltim. Dengan total penduduk 123 jiwa, warga mengelola hutan adat 7.722 hektar.

Dari hutan yang terjaga, kebutuhan dasar warga terpenuhi. Air diambil dari sungai yang jernih. Kebutuhan pangan didapat dari ladang dan hutan. Asupan gula dari madu hutan serta kebutuhan protein hewani dari berburu dan menjala ikan.

Saat bertani, mereka juga bersahabat dengan alam. Tidak ada pupuk kimia disebar di sana. Dengan sistem ladang berpindah, warga membuka lahan dengan dibakar. Sisa pembakaran itu yang dipercaya menyuburkan tanah.


Agus (12) sedang membersihkan ladang milik keluarganya di Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Senin (20/11/2023). Foto oleh Sucipto. Indonesia, 2023.

Setelah panen, mereka akan berpindah ke lahan lain. Hal itu dilakukan sembari menunggu lahan lama meremajakan diri. Tandanya tumbuh rerumputan dan pohon-pohon liar kecil.

Ketika membangun rumah, mereka mengambilnya dari pohon di sekitar hutan adat. Warga ketat membatasi penebangan pohon untuk kebutuhan sehari-hari. Semua harus sesuai kesepakatan adat.

Pohon berdiameter kurang dari 60 sentimeter, misalnya, tidak boleh ditebang. Kayu khas penting sangat dijaga, seperti ulin, meranti, kapur, ruwali, rungur, jelutung, sungkai, bajur, dan mayas. Dengan semua perlakuan itu, mereka menjaga alam tetap asri tanpa takut kelaparan.


Umi (23), masyarakat adat Mului, menggendong anaknya di halaman rumah mereka di Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Selasa (21/11/2023). Foto oleh Sucipto. Indonesia, 2023.

Minim akses

Akan tetapi, kontribusi menjaga hutan itu tetap saja tidak cukup. Perlakuan ramah mereka pada alam belum sebanding dengan hak warga mendapatkan kemudahan hidup di masa sekarang. Warga Mului, misalnya, masih kesulitan mengakses beragam akses publik.

Jalan ke kampung masih terjal, becek, dan berbatu. Untuk menuju pusat kecamatan, tempat di mana layanan dasar berada, mereka mesti menghabiskan waktu tiga jam menggunakan sepeda motor.

Hal itu membuat sulit warga. Lianto Mahesa Dani (21) yang menikah dengan warga Mului dan menetap di kampung tersebut merasakan keterbatasan itu.

Saat Umi (23), istrinya, hendak melahirkan beberapa bulan lalu, ia mesti menjemput bidan dengan sepeda motor ke pusat kecamatan. Itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan. Tak ada sinyal telepon dan internet di kampung itu.

”Untung bayi dan ibunya sehat, jadi enggak perlu dibawa ke rumah sakit,” kata pria yang akrab disapa Dani itu, Selasa (21/11/2023).

Dani termasuk beruntung. Beberapa tahun lalu, warga kampung berduka. Seorang warga Mului yang didera sakit dengan ciri-ciri malaria meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Beberapa warga juga belum menerapkan sanitasi yang baik di rumahnya. Mereka masih terbiasa mencuci piring di dapur. Sisa makanan dibuang begitu saja di sekitar dapur yang masih berupa rumah panggung.


Suku Dayak Paser Mului melintasi kampung untuk pergi ke ladang di sekitar kampungnya di RT 008 Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Sabtu (13/3/2021). Foto oleh Sucipto. Indonesia, 2023.

Akibatnya, sisa makanan dan air menggenang. Baunya mengundang satwa liar mendekati rumah. Tidak mengherankan, warga kerap menemukan ular di dapur mereka.

Kondisi itu juga berpotensi membuat bakteri berkembang di sekitar rumah. Dapur menjadi bau dengan aroma sisa makanan yang membusuk. Mereka butuh semacam pendampingan untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

Kondisi itu menjadi tantangan bagi warga Mului yang ingin mengembangkan wisata alam khusus di hutan adat. Belum ada rumah warga yang bisa dijadikan tempat menginap dengan nyaman untuk para tamu dari luar kampung.

”Selama ini, kalau ada tamu banyak, mereka tinggal di rumah singgah. Di sana ada dua kamar,” kata Jahan (55), warga Mului. Rumah singgah kayu itu dibangun dari dana pemerintah daerah setempat.

Untuk akses pendidikan juga memprihatinkan. Mului hanya punya satu SD. Sekolah setingkat SMP dan SMA hanya ada di pusat kecamatan. Akibatnya, angka putus sekolah pun tinggi.

Perhimpunan Padi Indonesia yang mendampingi warga Mului mencatat, pada 2020 sebanyak 73 anak tidak tamat SD, 6 tamat SMP, dan tak ada yang tamat SMA. Baru ada satu lulusan SMA di kampung itu pada 2023.

Butuh pengakuan


Seorang warga membawa kayu untuk membangun rumah di Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Rabu (22/11/2023). Foto oleh Sucipto. Indonesia, 2023.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMD) Kaltim Anwar Sanusi mengatakan, berbagai masalah itu satu per satu coba diselesaikan. Pihaknya berkolaborasi dengan pemda dan perusahaan yang beroperasi di dekat masyarakat adat Mului.

Untuk persoalan rumah layak huni, dia mengarahkan program tanggung jawab sosial perusahaan ke Mului. Beberapa rumah sudah dibangun dan diperbaiki.

Untuk persoalan pola hidup bersih dan sehat, Anwar mendorong pendampingan dari pemerintah desa. Saat ini sudah dilakukan pembangunan toilet bersama dari dana desa.

”Untuk pendidikan, kami mengupayakan agar masyarakat adat mendapat beasiswa sampai kuliah,” kata Anwar.

Sementara itu, mengenai layanan kesehatan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Paser dan pemerintah desa setempat. Harapannya, ada puskesmas pembantu di Mului yang dilengkapi alat komunikasi khusus. Dengan begitu, tenaga kesehatan bisa berkomunikasi dengan tenaga kesehatan di luar kampung meski tak ada jaringan internet dan telepon.


Jalan terjal dan becek menuju Kampung Mului di Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Minggu (19/11/2023). Foto oleh Sucipto. Indonesia, 2023.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Saiduani Nyuk mengatakan, banyak masyarakat adat lain di Kaltim bernasib serupa. Mereka berkontribusi mempertahankan hutan, tetapi tak kunjung diberi perlindungan hukum berupa pengakuan. Banyak di antara komunitas adat itu juga sulit mendapat akses layanan dasar.

Padahal, masyarakat Mului dan masyarakat adat lain punya andil dalam prestasi Kaltim memperoleh dana perdagangan karbon. Sejak awal tahun 2023, Pemprov Kaltim mengumumkan mendapat dana dalam program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Program ini diinisiasi sejak 13 tahun lalu dan merupakan bagian kontrak dari Bank Dunia.

Pemprov Kaltim mencatat, dana yang diterima Rp 69,15 miliar sebagai pembayaran di muka dari total 110 juta dollar AS (setara Rp 1,7 triliun, kurs Rp 15.633 per dollar AS). Total nilai itu setara anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) perubahan satu kabupaten di Kaltim.

Komunitas adat yang tergabung di AMAN Kaltim ada 77 komunitas adat. Di luar itu, ada banyak komunitas adat yang belum teridentifikasi dan terdata. Padahal, banyak di antara mereka yang terlibat konflik dengan perusahaan demi mempertahankan hutan adat yang belum diakui pemerintah.

”Seharusnya mereka juga bisa menikmati dana karbon yang diterima Kaltim untuk layanan dasar mereka dan perlindungan ruang hidup,” kata Saiduani.