An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
In North Sumatra's traditional territories, the Indigenous communities of Pandumaan, Sipituhuta, and other districts continue a timeless legacy - the cultivation and harvesting of frankincense. For centuries, this fragrant resin has been the essence of the community's existence. From the wooden ceilings of their homes, to the meticulously crafted tools like guris and agat, passed down through generations, their lives intertwine intimately with the cycles of these ancient trees.
The cultivation process, a year-long endeavor, starts with the careful tending of the frankincense trees nestled in the natural forests at altitudes between 1,000 to 1,400 meters above sea level. Farmers meticulously clear the grass around the trees, clean their trunks, and carefully tap the trees' bark to collect the resin, a labor of love that yields around 150 kilograms of sap per tree annually. This resin, priced at IDR 300,000 per kilogram, translates into a meaningful income for the community, enabling them to pay for education and daily expenses while contributing billions to the regional and national economy. Their silent, harmonious existence and forest-friendly practices contribute not only to their livelihood but also to the global trade of benzoin, derived from frankincense, permeating the world with its delicate fragrance while maintaining their ancestral connections to the land.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Peradaban Sunyi Kemenyan Tanah Batak yang Mendunia
Masyarakat adat di hutan kemenyan menghasilkan triliunan rupiah. Mereka menghidupi tradisi marhaminjon berabad-abad.
Peradaban kemenyan hidup berabad-abad lamanya di Tanah Batak. Dalam jalan sunyi menjaga hutan, masyarakat adat telah menghasilkan triliunan rupiah setiap tahun. Semerbak kemenyan menyebar ke seluruh dunia.
Suasana di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, lengang, Rabu (15/11/2023) siang. Hanya terlihat anak-anak bermain di halaman dan sejumlah ibu mengerjakan aktivitas rumah tangga.
Kaum bapak dan pria dewasa sudah pergi ke hutan kemenyan sejak Senin. Bahkan, ada yang sudah hampir dua pekan belum pulang. Biasanya mereka akan kembali ke desa pada akhir pekan.
November adalah awal musim panen kemenyan di kawasan itu. Menjelang sore, Tulus Fransiskus Sinambela (24) muncul dari ujung jalan yang berkabut embun menembus udara dingin di desa yang berada di pinggir hutan adat pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut itu. Tulus berpakaian hitam lusuh dan sepatu karet mengendarai sepeda motor bebek.
Dia memikul bakul berisi beberapa kilogram kemenyan yang baru dipanen. ”Saya seharusnya bekerja selama satu minggu di hutan adat kemenyan. Namun, baru dua malam saya sudah pulang karena sudah mendapat hasil kemenyan,” kata Tulus.
Kompas mengunjungi beberapa komunitas masyarakat adat yang hidup dari kemenyan, yakni Masyarakat Adat Pandumaan Sipitu Huta, Nagasaribu Onan Harbangan di Tapanuli Utara, serta Simenak Henak di Kabupaten Toba. Tiga kabupaten itu merupakan penghasil utama kemenyan.
Tulus adalah generasi muda masyarakat adat yang konsisten melanjutkan peradaban kemenyan (marhaminjon). Mereka mewarisinya dari leluhur yang hidup dalam wilayah dan hukum masyarakat adat.
Kemenyan diperkirakan sudah hidup lebih dari 1.000 tahun. Peradaban itu membentuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Hampir semua aspek kehidupan mereka dipengaruhi kemenyan.
Rumah petani kemenyan, misalnya, semuanya berplafon dari papan kayu sebagai tempat menjemur dan menyimpan kemenyan. Rumah-rumah telah berganti dari rumah panggung menjadi rumah beton, tetapi plafon kayu untuk menjemur kemenyan tidak pernah berubah.
Arnold Lumbanbatu (55), petani kemenyan lainnya, di Pandumaan Sipituhuta, mengajak Kompas naik ke langit-langit rumahnya melalui tangga kecil. Begitu pintu horizontal dibuka, wangi kemenyan menyeruak. Sebagian kemenyan dari hasil periode sebelumnya masih disimpan di sana sebagai tabungan keluarga.
Di plafon juga disimpan alat-alat bertani kemenyan, seperti guris, panuktuk, dan agat yang merupakan alat yang khusus dibuat pandai besi di daerah itu. Ada pula alat lain seperti bakkul, tali, dan suksung (corong dari kulit kayu).
Budidaya kemenyan
Kemenyan tumbuh secara alami di hutan-hutan alam di ketinggian 1.000 meter-1.400 meter di atas permukaan laut. Hanya bisa tumbuh di hutan alam yang masih bagus di antara tanaman-tanaman hutan lain. Kemenyan tidak bisa tumbuh tanpa vegetasi peneduh.
Tanaman kemenyan mulai menghasilkan resin (getah) saat berusia 10 tahun. Satu siklus (periode) pengolahan kemenyan berlangsung satu tahun. Petani akan memulai periode dengan membersihkan rumput di sekitar pohon kemenyan. Setelah itu, batang pohon dibersihkan dari lumut dan kotoran dengan alat bernama guris.
Petani juga akan membuang ulat batang dan benalu yang tumbuh di batang kemenyan. Setelah itu, kulit akan disadap (manugi) dengan alat yang disebut agat. Kulit pohon ditusuk hingga menyentuh batang lalu dicongkel sedikit. Lubang itu lalu diketuk dengan bagian belakang agat dengan tempo yang teratur.
Dalam satu hari, seorang petani dapat membersihkan, merawat, dan menyadap 5-7 batang kemenyan. ”Tanaman kemenyan hanya bisa disadap saat daunnya mulai tumbuh lebat setelah musim gugur,” kata Jonris Simanjuntak (49), Ketua Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan, di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara.
Dalam satu periode, petani kemenyan mampu mengerjakan 150 pohon kemenyan. Membersihkan kemenyan biasanya dimulai pada April dan berakhir pada Juni. Resin kemenyan akan menetes pelan dan bisa dipanen setelah 4-5 bulan. Getah menggumpal di bawah dan di luar kulit pohon.
”Satu batang kemenyan bisa menghasilkan 1 kilogram getah dalam setahun. Jadi, kami bisa mendapat 150 kilogram setahun,” kata Jonris.
Kemenyan memang membawa kemakmuran bagi petaninya. Dengan harga kemenyan kualitas 1 Rp 300.000 per kilogram, petani bisa mendapat rata-rata Rp 45 juta saat musim panen. Hasil musim panen digunakan untuk membayar uang sekolah hingga uang kuliah anak-anak petani. Mereka umumnya bersekolah di kota.
Untuk keperluan sehari-hari, petani kemenyan menjual getah jenis tahir. Getah ini didapat saat membersihkan batang kemenyan. Getah berupa butiran kecil ini hasil penyadapan periode sebelumnya yang masih mengeluarkan sedikit getah. Dalam seminggu, petani bisa mengumpulkan sekitar 6 kilogram tahir dengan harga Rp 100.000 per kilogram.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional di Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk Aswandi mengatakan, peradaban kemenyan sudah berjalan berabad-abad di hutan adat kawasan Danau Toba. ”Perdagangan kemenyan dan kapur barus di Pelabuhan Barus, pantai barat Sumut, bahkan sudah tercatat lebih dari 1.000 tahun lalu,” kata Aswandi.
Aswandi mengatakan, ada tiga jenis kemenyan yang tumbuh endemik di dataran tinggi Toba, yakni kemenyan toba (Styrax sumatrana), bulu (Styrax paralleloneurus), dan durame (Styrax benzoin). Di Vietnam, Myanmar, dan Jepang ada tumbuh jenis Styrax tonkinensis, tetapi tidak menghasilkan resin. ”Kemenyan adalah anugerah Tuhan bagi masyarakat adat di kawasan Danau Toba,” kata Aswandi.
Produktivitas kemenyan, kata Aswandi, meningkat dalam beberapa tahun ini. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perkebunan Sumut, produksi kemenyan pada 2021 mencapai 8.845 ton dengan luas 23.172 hektar. Produksinya pernah mencapai 11.000 ton dan turun hingga 4.000 ton. Kini, produksinya mulai membaik karena harga yang stabil.
Dengan harga Rp 300.000 di tingkat petani, nilai ekonomi yang beredar di petani mencapai Rp 2,65 triliun. Nilai yang didapat di tingkat eksportir tentu jauh lebih besar.
Kemenyan diperdagangkan dengan nama benzoin di perdagangan dunia. Benzoin digunakan untuk bahan obat, pengawet makanan, kosmetik, hingga parfum. Harga Rp 1 liter minyak benzoin mencapai Rp 5 juta. Selaku peneliti BRIN, Aswandi sedang mengembangkan teknik pembuatan minyak kemenyan.
Biaya produksi 1 liter minyak benzoin hanya sekitar Rp 400.000. ”Produksinya bisa dibuat di tingkat petani dengan skala usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan hilirisasi ini, nilai tambah yang didapat bisa berkali lipat,” kata Aswandi.
Dalam jalan sunyi, petani kemenyan menghasilkan triliunan rupiah setiap tahun untuk perekonomian daerah dan nasional. Menjaga hutan sekaligus menyebarkan wangi kemenyan ke seluruh dunia.