WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo November 5, 2023

Keeping Small Island Forests Sustainable (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
A picture of a spring.
English

Three small islands in East Nusa Tenggara (NTT), namely Semau, Rote and Timor, have springs that...

SECTIONS

The efforts of communities on a number of small islands in East Nusa Tenggara, Indonesia, to become environmentalists are paying off. Image courtesy of Media Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Media Indonesia, follows.


Basanial and Naema in Menbang Village, East Nusa Tenggara, rely on a winding forest road with a steep slope to fetch water from the mountain's spring, a critical task they undertake daily. The well-maintained forest conditions in their village ensure a constant water supply, with no logging reported. The story highlights the integral role of forests in water conservation, emphasizing the interconnectedness of intact ecosystems and sustaining life.

The significance of forest preservation is reiterated in Semau Island, where Uiasa Spring in Uiasa Village remains a reliable water source due to the village's commitment to forest protection. Strict rules and fines are imposed on those who harm the forest, contributing to the continued flow of the spring. The connection between intact forests and water retention is explained by a mining expert, emphasizing the role of impermeable rock layers and tree roots in maintaining water sources.

On Rote Island, however, challenges arise as tree clearing in catchment areas leads to reduced spring discharge. Residents face difficulties in the dry season, prompting the local government to enforce regulations against tree cutting. The story underscores the critical need to balance human activities with environmental conservation to ensure sustainable water resources and agricultural success.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Menjaga Hutan Pulau Kecil Tetap Berkelanjutan

BASANIAL ouw, 68, dan istrinya Naema Tanglo, 60, tinggal di ujung Kampung Menbang, di punggung Gunung Desa Lawahing, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kediamannya merupakan rumah terakhir sebelum memasuhi hutan yang rimbun. 

Hutan yang memiliki jalan berkelok dengan kemiringan antara 70-80 derajat menjadi jalan satu-satunya menuju mata air yang berada di kaki gunung. Air mengalir melalui sungai ke hilir di wilayah Desa Alila Timur, Kecamatan Kabola dan berakhir di laut. "Turun dari sini ke mata air sekitar 20 menit, kalau naik kembali ke puncak gunung agak lama karena membawa air," kata Naema Tonglo kepada wartawan yang didukung Rainforest Journalism Fund Pulitzer Center, pekan lalu.

Sore itu, Naema membawa 20 liter air bersih dalam empat jerigen. Keempat jerigen itu lalu dimasukan ke dalam bakul yang dijunjungnya di kepala. Pekerjaan yang jarang dilakukan perempuan seusianya. "Tiap hari saya dua kali pergi mengambil air," tambahnya.

Kondisi hutan yang terjaga dengan baik membuat pasokan air terjaga. Basanial dan Naema mengklaim tidak ada pembalakan hutan di desa mereka.

  Pulau Alor merupakan salah satu pulau kecil di NTT seluas 2.119 kilometer persegi dengan luas hutan 83.071,38 hektare (ha) terdiri dari kawasan Hutan Omtel seluas 2.840 ha Kelompok Hutan Gunung Besar seluas  79.677,50 ha dan kelompok hutan Tuti Adagae seluas 5.537,88 ha. Air di kaki gunung Lawahing itu berada di kawasan hutan Omtel meliputi tiga gunung, yakni Kabola, Lawahing dan Alila.

Banyak mata air bermunculan di lereng dan kaki gunung, dimanfaatkan sebagai air baku, mengairi kebun dan areal persawahan, juga mengalir lewat sungai ke Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor yang berpenduduk 53.339 jiwa. Di Kalabahi, air dikelola oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) untuk melayani kebutuhan warga.

Kepala Desa Kopidil, Kecamatan Kabola, Imanuel Lokowait menyebutkan lebatnya hutan membuat air membuat air hujan yang turun di wilayah itu meresap dengan sempurna ke dalam tanah, dan keluar sebagai mata air di kaki gunung.

Itulah pentingnya menjaga hutan tetap lestari, sebab menjaga kelangsungan ekosistem hutan sama halnya menjaga sumber kehidupan. "Mata air muncul dari mana-mana, dari akar-akar pohon, dari dalam tanah dan dari pinggir tebing bergabung menjadi satu dan masuk ke sungai," kata Imanuel Lokowait.

Hutan Pulau Semau

Kondisi hutan yang masih utuh juga terlihat juga di Pulau Semau. Pulau kecil seluas 143.42 kilometer persegi di Kabupaten Kupang yang dihuni tidak kurang 8.000 orang.

Di Semau terdapat Mata Air Uiasa di Desa Uiasa, Kecamatan Semau yang airnya tidak pernah mengering sepanjang musim. Selama bertahun-tahun Air Uiasa menjadi sumber air baku bagi masyarakat desa setempat sampai desa tetangga.

Tepat di mata air, telah dibangun kolam yang juga dijadikan tempat permandian oleh warga. Kolam terhubung dengan selokan yang mengalirkan air ke persawahan dan mamar. Di selokan itulah, warga mencuci pakaian kotor dan mandi.

Kepala Desa Uiasa Egel Laiskodat menyebutkan Mata Air Uiasa tetap mengalir karena kawasan hutan di daerah tangkapan air seluas 15,7 hektare, masih utuh. Sejak 2020, pemerintah desa bersama Yayasan Pikul Kupang menerapkan aturan ketat demi melindungi hutan desa. Warga yang merusak hutan dikenai denda membayar satu ekor babi dan kain adat ke lembaga adat.

Bukan itu saja. Pakar pertambangan Universitas Nusa Cendana Kupang, Noni Banunaek mengungkapkan alasan Uiasa menjadi sumber mata air penting di pulau kecil ini.

Akar pohon menyerap dan menahan air hujan sehingga lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah, tertahan di antara lapisan akuifer dan lapisan batuan kedap air. "Lapisan batuan di Uiasa didominasi batuan kedap air (impermeable) berukuran luas dan tebalnya antara 60-80 meter," ujarnya.

Beda lagi di Pulau rote. Pulau kecil seluas 1.222,8 kilometer persegi di selatan Indonesia ini, punya persoalan terkait sulitnya menjaga siklus air. Di Kecamatan Lobalain, terdapat 20 mata air, empat mata air di antaranya memiliki debit terbesar mendapat pasokan air dari satu daerah tangkapan air yaitu Oemau Tanggaloi, Siokoen, dan Oesamboka.

Akan tetapi, pembabatan pohon di daerah tangkapan air selama bertahun-tahun membuat debit sumber-sumber mata air berkurang. Pengurangan debit air air terasa terutama pada musim kemarau yang berlangsung selama delapan bulan kekeringan berbulan-bulan membuat kandungan air tanah terus menurun.

Belakangan, warga membangun rumah di antara daerah tangkapan air dan sumber mata air.Setiap rumah membangun sumur bor dengan kedalaman 6-8 meter. Di Mata Air Oesamboka misalnya, penurunan debit air membuat hampir setengah dari 20 hektare sawah yang menerima pasokan air Oesamboka gagal panen .

Menyusul berkurangnya debit sumber air, pemerintah daerah setempat melarang pemilik lahan di daerah tangkapan air menebang pohon. Jika ada warga yang nekat menebang satu pohon saja, dihukum menanam kembali lima pohon. "Saya mengolah tujuh petak sawah, tidak petak gagal panen karena keterbatasan air," kata Os Sina, petani di Persawahan Desa Persiapan Lelain. (Z-3)