DESA Sedahan Jaya di Kabupaten Kayong Utara ini indah sekali. Pohon-pohon besar terlihat menghijau di perbukitan desa . Tiupan angin menerobos dari balik bukit yang dipenuhi hutan yang lebat. Kicauan burung terdengar di mana-mana.
Belasan tahun lalu, pembalakan liar banyak ditemukan di desa ini. Mayoritas warga bekerja sebagai penebang pohon. Sebagian besar kepala rumah tangga memiliki gergaji mesin. Itulah aset terpenting warga saat itu. Kayu-kayu bernilai tinggi menjadi incaran. Hutan adalah sumber pendapatan utama mereka.
Kini, desa Sedahan Jaya telah menjelma menjadi desa yang hijau. Pembalakan liar sudah jauh berkurang. Tutupan hutan kembali terjaga.
Kami datang ke desa ini atas undangan dari Hendriadi, Koordinator Program Reboisasi Klinik Asri.
Pagi itu, Hendriadi sudah menunggu kedatangan kami di rumah seorang warga. Sehari sebelumnya, kami telah bertemu di Klinik Asri di Sukadana. Pria yang cekatan dan murah senyum itu berjanji mempertemukan kami dengan warga desa yang dulunya bekerja sebagai pembalak liar.
“Kenalkan ini Pak Junaidi. Beliau ini dulunya, sejak muda sudah bekerja sebagai logger (penebang pohon),” kata Hendriadi. Sang tuan rumah yang diperkenalkan pun menyambut dengan ramah dan mempersilakan masuk ke rumahnya. Junaidi lantas bercerita mengenai pengalaman hidupnya selama menjadi penebang kayu.
Pria 43 tahun itu mengaku sudah menjadi penebang liar sejak 2005. Sulitnya mencari pekerjaan di masa itu, menjadi alasannya melakukan aktivitas ilegal tersebut. “Menjadi logger itu sebenarnya bukan pekerjaan yang baik, tapi karena tidak ada pilihan lain, jadi saya lakoni,” ujarnya.
Mayoritas warga di desanya memiliki pekerjaan yang serupa. Pekerjaan itu diwariskan dari orang tua mereka. Anak-anak yang mulai beranjak remaja juga sudah mulai dikenalkan cara menggunakan gergaji mesin. Kelak setelah dewasa mereka akan mengikuti jejak orang tuanya.
Meski menebang di sekitaran desanya saja, namun aktivitasnya itu terlarang karena berada di kawasan taman nasional. Permintaan yang besar terhadap kayu membuat aktivitas tersebut sulit dihentikan. Kayu-kayu olahan dijual pada para penampung, untuk selanjutnya dijual kembali pada konsumen.“Saya menjadi penebang kayu hingga tahun 2018. Kalau dihitung ya sekitar 13 tahun. Setelah itu saya berhenti,” ungkapnya.
Seorang tetangganya, Jono Karno, kerap merayunya agar berhenti menebang kayu. “Pak Jono bilang, hutan itu adalah warisan untuk anak cucu. Kalau hutan habis, kasihan anak cucu nanti,” kata Junaidi.
Jono Karno yang dimaksud Junaidi adalah tetangganya yang kini direkrut Klinik Asri menjadi sahabat hutan. Tugasnya adalah mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Sejak itulah Junaidi mulai meninggalkan pekerjaannya sebagai penebang liar. Kini ia membangun usaha toko kelontong tepat di depan rumahnya. Meski keuntungan dari usaha tersebut tak seberapa besar, hal itu dirasa lebih baik ketimbang menjadi penebang pohon yang merusak hutan.
Untuk menambah penghasilan Junaidi menyambi bertanam padi dan aktivitas lain. Kondisinya itu sudah ia syukuri daripada harus menjadi penebang liar lagi. Rasa bersalah atas aktivitas ilegalnya di masa lalu masih melekat hinggi kini.
Baik Jono maupun Junaidi sekarang aktif menjadi relawan. Mereka yang mantan pembalak liar itu justru giat menanam pohon. Sudah ribuan bibit yang mereka tanam di kawasan Taman Nasional Gunung Palung.
Kini Dusun Begasing tempat Jono dan Junaidi tinggal mendapat predikat ‘Dusun Kuning’ dari Klinik Asri. Artinya, desa ini relatif berhasil melestarikan hutan. Meski masih ada warga yang bekerja sebagai pembalak liar, pembabatan hutan sudah jauh berkurang dibanding beberapa tahun sebelumnya.
“Butuh waktu dua tahun bagi Dusun Begasing untuk dapat predikat kuning. Sebelumnya, dusun ini berpredikat merah,” ujar Agus Supiyanto, Koordinator Monitoring dan Sahabat Hutan, Klinik Asri.
Agus mengatakan, Klinik Asri menawarkan diskon atau potongan biaya perawatan kesehatan kepada desa yang berhasil mengurangi kegiatan penebangan liar, termasuk Desa Sedahan Jaya. Penilaian itu berdasarkan hasil pemantauan tiga kali per tahun.
Jika desa tersebut berada pada penilaian tertinggi, berwarna hijau, maka akan mendapatkan potongan sebesar 70 persen. Jika berwarna kuning memperoleh potongan 50 persen. Dan untuk tingkat terendah, berwarna merah, mendapat potongan 30 persen.
“Kalau dusun hijau syarat-syaratnya, dusun itu berbatasan langsung dengan taman nasional. Kedua, mereka bekerja sama dengan Klinik Asri. Desanya tidak ada pengolahan kayu, tidak ada saw mill di situ. Tidak ada juga jalan akses logging menuju ke taman nasional. Kemudian masyarakatnya pro-aktif menjaga hutan. Karena selama ini yang banyak merusak daerah mereka itu orang luar bukan dari daerah mereka sendiri,” kata Agus.
Predikat ‘desa hijau’ adalah hasil pendekatan Klinik Asri kepada masyarakat di desa-desa sekitar kawasan taman nasional. Masyarakat terus diberi penyadaran supaya tak menebang pohon. Desa yang berhasil, dicatat. Begitu juga yang gagal. Data inilah yang kelak jadi bahan penentuan kriteria desa.
Dusun Nirmala, Desa Gunung Sembilan butuh waktu beberapa tahun untuk meraih predikat ‘desa hijau’. Dulu di sini setiap hari terjadi pembabatan hutan. Sebagian hutan desa sudah habis ditebang. Sekarang, tidak lagi. “Di desa ini sudah tidak ditemukan lagi deforestasi. Sempat ada logger, tapi kini sudah berhenti. Dua tahun lalu masih kuning, sekarang hijau,” jelasnya.
Pembibitan
Pagi itu, Hendriadi, staf klinik Asri, sibuk merapikan ratusan bibit pohon di satu tempat khusus di belakang gedung Klinik Asri. Tempat persemaian itu berupa greenhouse yang dilapisi waring atau jaring. Di sana ada beragam bibit, mulai dari tengkawang, belian, hingga pohon buah seperti durian. “Bibit-bibit ini dari para pasien yang berobat di sini,” kata pria yang biasa disapa Bang Hen itu.
Para pasien yang berobat di Klinik Asri memang bisa membayar biaya berobat dengan menggunakan bibit pohon. Nantinya, ratusan bibit pohon itu akan ditanam di sejumlah kawasan di Taman Nasional Gunung Palung. Terutama kawasan gundul bekas pembalakan liar.
Konsep desa hijau dicetuskan oleh Klinik Asri. Klinik kesehatan yang didirikan dokter asal Amerika Serikat Kinari Webb ini memberi penghargaan lebih besar bagi desa-desa yang mampu menjaga hutannya.
Kinari Webb menjelaskan, desa hijau adalah desa yang tidak ada penebangan liar atau kebakaran hutan. “Kalau desa mereka hijau, mereka dapat prioritas dari klinik Asri. Desa merah adalah kebalikannya. Daerah yang ada illegal logging atau kebakaran hutan. Dua-duanya bisa bikin desa merah. Kami masih melayani, mereka masih dapat diskon namun tidak sebesar desa yang hijau,” jelas Kinari.
Agus Supiyanto menjelaskan, saat ini ada enam dusun yang masih memperoleh predikat dusun merah. Yakni Dusun Sebadal, Desa Gunung Sembilan; Dusun Jelutung, Desa Matan Jaya; Dusun Sawah Sebokor, Desa Sempurna; Dusun Cali, Desa Pangkalan Teluk; Dusun Sinar Timur, Desa Penjalaan, dan Dusun Matan, Desa Matan Jaya.
Enam dusun ini merupakan penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Di sini, masih kerap terdengar suara gergaji mesin penebang pohon dari kejauhan. “Dusun merah berarti di sana masih ditemukan pembalakan liar dan ada titik akses logging dari taman nasional. Selain itu masih ada tempat penumpukan kayu hasil pembalakan liar. Biasa juga masih ditemukan sawmill mini, atau tempat pengolahan kayu,” ujar Agus Supiyanto.
Menurutnya, dusun yang memperoleh predikat desa merah hanya mendapatkan potongan berobat yang sedikit. “Dusun yang masih merah, bayar berobatnya agak mahal. Klinik hanya memberikan potongan berobat sebesar 30 persen. Berbeda dengan desa hijau yang mencapai 70 persen,” ujarnya.
Ini disengaja, kata Agus, untuk memberi penghargaan lebih kepada warga yang telah menjaga hutannya, sekaligus menjadi pancingan bagi daerah lain untuk melakukan hal serupa.
“Pertama saya masuk di Klinik Asri, belasan tahun lalu, kondisi Taman Nasional itu sudah parah ya. Banyak sekali illegal logging di berbagai tempat. Sekarang kita lihat sudah jauh berkurang. Hampir di setiap dusun ada pengurangan. Tetapi untuk penghentian sama sekali itu belum. Kalau kita pantau ada beberapa dusun yang sudah masuk kategori hijau yang sebelumnya merah. Di masyarakat sudah ada kesadaran untuk menjaga hutan,” jelasnya.
Bupati Kayong Utara Citra Duani mengatakan, Program Klinik ASRI adalah melestarikan Taman Nasional Gunung Palung. Salah satu strategi yang dipakai adalah bagaimana agar masyarakat tidak lagi menebang tetapi mau menanam pohon. Proses pendekatan yang dilakukan cukup unik.
Masyarakat yang tidak mampu atau tidak memiliki uang untuk berobat bisa membayarnya dalam bentuk bibit tanaman atau pupuk. Biaya berobat pun bisa ditebus dengan jasa menebas rumput, atau produk kerajinan tangan seperti anyaman tikar.
Selain itu, Klinik Asri juga memiliki program penanaman bibit di sepanjang kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Bibit pohon sebagian diperoleh dari pasien sebagai ganti biaya berobat. Dengan konsep ini, Klinik Asri berusaha menghijaukan kembali daerah-daerah di sekitar Taman Nasional Gunung Palung.
Kini sudah banyak warga yang sadar akan pentingnya menjaga hutan. Bukan hanya soal mengharapkan potongan berobat, namun juga menyadari bahwa mempertahankan hutan adalah demi kepentingan mereka sendiri.
“Jadi ada perubahanlah dari pola hidup masyarakat. Mereka merasakan kalau debit air sudah mulai berkurang. Jadi mereka mulai sadar, ketika mereka menebang pohon, mereka juga mengurangi jatah air untuk hidup mereka,” katanya.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung, Matheas Ari Wibawanto mengatakan, pihaknya telah lama berkolaborasi dengan Yayasan ASRI untuk bersama-sama menjaga kelestarian plasma nutfah di TNGP. “Ini merupakan program satu-satunya di Indonesia, bahkan dunia yang menggabungkan layanan kesehatan dengan program penyelamatan hutan. Saat ini sudah masuk periode kedua kolaborasi kami dengan Klinik Asri,” ungkapnya.
Menurut Ari, sejak tahun 2000, kawasan TNGP merupakan salah satu kawasan yang terancam deforestasi. Ribuan orang bekerja menebang kayu di kawasan TNGP. Banyak sekali chainsaw yang dimiliki warga. “Tapi seiring perjalanan waktu berkat kolaborasi ini, jumlah logger semakin berkurang. Tentu leader-nya tetap pemerintah melalui TNGP,” ujarnya.
Jika dilihat dari tutupan lahan, banyak kawasan yang dulunya berupa lahan terbuka sekarang sudah berubah menjadi hutan sekunder. Menurut data Cifor pada 2018, dari 108 ribu hektare luasan TNGP, hanya 18 hektare saja yang terbuka. Bandingkan dengan 2017 di mana ada 32 hektare, 2016 ada 269 hektare, dan 2015 ada 490 hektare. “Upaya yang kita lakukan bersama ini terbukti berhasil mengurangi penggundulan hutan,” ujarnya.