An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Lokahita, a recent high school graduate, finds herself teaching five students in a remote school, SDN 012 Kampung Mului, located in East Kalimantan. This school relies on visiting teachers assigned by the government to these remote areas.
The lack of regular teachers after its initial establishment has led to a situation where many children have dropped out and struggle with illiteracy. Lokahita, part of a timber company's CSR program, instructs using materials provided by the company, earning IDR 1 million monthly.
Recognition from the government has enabled the Mului Indigenous community to establish a traditional school, offering a unique curriculum taught within their customary forest. This initiative aims to help residents gain basic education, ensuring that research conducted by outsiders can be understood and utilized by the villagers.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Cegah Pengetahuan Mului Berkarat dengan Sekolah Adat
Setelah diakui sebagai masyarakat adat, Mului menyiapkan sekolah adat yang menyelenggarakan kejar paket A, B, dan C.
Di sebuah ruangan berdinding kayu, Lokahita duduk di depan lima siswa SD. Lantai ruangan itu berupa keramik rusak. Langit-langitnya terkelupas nyaris jatuh. Pembatas ruangannya pun telah bolong. Sudah tiga bulan, perempuan 20 tahun itu mengajar dari Senin sampai Sabtu di ruangan tersebut.
Lokahita satu-satunya pengajar di sekolah itu. Lima siswa di hadapannya merupakan semua siswa sekolah dasar kunjung SDN 012 Kampung Mului Gunung Lumut, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Para siswa duduk di kelas berbeda, dari kelas I sampai V.
Sekolah dasar kunjung adalah istilah untuk sekolah di daerah terpencil. Kata kunjung bermakna ’guru sekolah di sana berasal dari sekolah terdekat’. Guru ditugaskan pemerintah berkunjung dan mengajar ke kampung terpencil.
Akan tetapi, guru yang berkunjung hanya bertahan sepanjang enam tahun pertama sekolah itu berdiri, 2002-2008. Setelah itu hampir tak ada guru yang rutin mengajar. Akibatnya, banyak warga desa usia anak-anak dan remaja tidak bisa baca-tulis lantaran putus sekolah.
Bahkan, Lokahita sebenarnya belum mengenyam pendidikan formal menjadi guru. Dia mengajar karena menjadi bagian dari program tanggung jawab sosial (CSR) sebuah perusahaan kayu yang beroperasi di dekat hutan adat masyarakat Mului.
Alasannya, Lokahita adalah satu-satunya warga kampung yang bersekolah sampai jenjang SMA. Lokahita baru saja lulus tahun ini.
”Saya mengajar sesuai buku yang dikasih perusahaan. Saya digaji Rp 1 juta per bulan,” kata Lokahita pagi itu, Senin (20/11/2023).
Tidak Betah
SD 012 tersebut berada di daerah terpencil Kaltim di kawasan hutan adat milik masyarakat Mului. Tak ada jaringan internet dan GSM di kampung.
Menuju kampung ini butuh waktu sekitar tiga jam dari pusat kecamatan yang berjarak 300 kilometer dari Samarinda, ibu kota Kaltim. Perjalanan mesti melewati jalan tanah yang berlumpur saat hujan.
Jalannya pun naik dan turun bukit. Hanya kendaraan bergardan garda yang sanggup masuk kampung. Jika tidak, kendaraan bisa terperangkap di lumpur dalam saat musim hujan.
Kondisi pendidikan dan ekonomi kebanyakan warga di kampung ini juga sangat kompleks. Sejumlah anak yang berusia belasan tahun tak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP setelah lulus SD.
SMP terdekat hanya ada di pusat desa atau dua jam berkendara sepeda motor. Di sana, warga biasanya menitipkan anak di rumah keluarga. Mereka rutin mengirim beras hasil panen untuk kebutuhan makan.
Untuk SMA, jaraknya lebih jauh lagi. Letaknya di pusat kecamatan atau tiga jam dari kampung.
Biasanya, di sana anak harus indekos dengan biaya Rp 500.000 per bulan dan uang makan Rp 500.000. Biaya antar-jemput dari kampung ke pusat kecamatan sedikitnya Rp 68.000 untuk 4 liter bensin eceran. Di Kampung Mului, hanya ada bensin eceran yang dijual Rp 17.000 per liter.
Bukan perkara mudah bagi warga yang sebagian besar peladang menyisihkan uang sebesar itu. Kebutuhan beras anak yang sekolah bisa menggunakan hasil panen. Namun, mereka harus menjual hasil hutan, seperti madu, durian, lai, rambutan, rajutan rotan, dan kulit kayu untuk biaya hidup.
Setelah musim panen padi, mereka juga kerap bekerja sampingan mendulang emas di Sungai Mului dengan cara tradisional. Hal itu biasanya terjadi pada pertengahan tahun.
Perkumpulan Padi Indonesia, organisasi nonpemerintah yang fokus pada keanekaragaman hayati dan masyarakat adat, mendata, rata-rata penghasilan warga dengan kegiatan itu Rp 1,5 juta per bulan.
Jumlah itu memang lebih kecil dari upah minimum Kabupaten Paser yang Rp 3,2 juta per bulan. Namun, kebutuhan pokok warga terpenuhi karena seluruh kebutuhan makan didapat dari hasil panen, berburu, dan berladang. Selain itu, jika hasil mendulang emas tinggi, warga bisa menabung dan dapat penghasilan lebih.
Muliadi (29) dan kakaknya, Sardi (30), warga setempat, misalnya, mendapat 27 gram emas pada musim mendulang tahun ini. Emas lalu dijual di pusat kecamatan dan mereka mendapat sedikitnya Rp 20 juta. Saat itu, 1 gram emas dihargai Rp 750.000.
”Buat beli motor untuk pergi ke ladang atau jual hasil panen ke kecamatan,” kata Sardi.
Akan tetapi, hasil sebesar itu tidak lantas membuat semua anak yang sekolah di luar kampung antusias. Beberapa dari mereka justru kabur dan kembali ke kampung sebelum lulus. Rata-rata beralasan tak terbiasa hidup di luar kampung.
Karena melihat remaja di kampung demikian, banyak anak di kampung itu tidak berminat sekolah. Agus (12), misalnya, lebih senang berladang bersama keluarga. Ia memilih tak melanjutkan sekolah. Akibatnya, Agus tidak lancar membaca dan menulis.
”Enak di ladang. Kalau belajar, pusing,” katanya.
Sekolah adat
Kondisi tersebut mulai dibenahi setelah masyarakat adat Mului diakui pemerintah. Pada 24 April 2018 terbit Surat Keputusan (SK) Bupati Paser Nomor 413.3/Kep – 268/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mului.
Dua tahun setelahnya, hutan adat masyarakat Mului seluas 7.722 hektar diakui pemerintah melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu terbit pada 1 Oktober 2020 dengan No SK.5474/MENLHK-PSL/PKTHA/PSL.1/10/2020.
Dengan dua pengakuan itu, masyarakat adat Mului bisa lebih leluasa memikirkan warga di kampungnya sekaligus memanfaatkan hutan adat secara penuh. Salah satunya, hutan dimanfaatkan sebagai sekolah. Pada Oktober 2023, warga mendirikan sekolah adat dengan didampingi Perkumpulan Padi Indonesia.
Cara belajar sekolah itu dengan berkeliling hutan adat sambil mempelajari apa yang ada di sana. Pada 22 November 2023, misalnya, tiga warga masyarakat adat mengukur diameter pohon buah lai, sejenis durian dengan tekstur daging buah yang lebih padat. Mereka kemudian membahas manfaat, masa panen, dan cara untuk merawat pohon tersebut.
”Selain mengenali hutan adat, kami bersama warga adat Mului sedang menyiapkan sekolah adat ini dengan kurikulum nasional,” kata M Syaiful Imam (28), fasilitator Perkumpulan Padi Indonesia yang mendampingi warga Mului.
Dengan kurikulum yang sesuai dengan sekolah pada umumnya, mereka berharap warga yang putus sekolah bisa belajar di dalam kampung untuk jenjang SD, SMP, dan SMA.
Dengan demikian, mereka bisa mengikuti kejar paket A, B, dan C untuk mendapatkan ijazah. Setidaknya, ada program untuk warga yang belum lancar membaca dan berhitung.
Sekolah itu disiapkan dengan menghimpun dana dari kas adat. Mereka membolehkan orang luar untuk berkunjung ke hutan adat untuk wisata khusus.
Setiap peneliti, pencinta alam, atau komunitas fotografi yang masuk ke hutan adat akan dikenai tarif untuk kas adat. Setiap kelompok akan dikenai Rp 500.000. Adapun jika butuh pendampingan dari warga untuk masuk ke hutan, pengunjung dikenai tarif Rp 100.000 per hari.
Ketua Adat Mului Jidan (61) menjabat sebagai Kepala Sekolah Adat Mului. Ia berharap upaya mereka bisa terus berkembang.
Sebab, sudah banyak peneliti yang datang ke kampung dari berbagai lembaga, termasuk luar negeri, Namun, dengan keterbatasan warga untuk membaca dan menulis, hasil penelitian tak bisa dipelajari oleh warga.
Jahan (53), salah satu anggota tim patroli penjaga hutan adat Mului yang kerap mengantar peneliti, merasakan kendala itu. Mengandalkan ingatan dan pengetahuan lokal, ia piawai mendampingi dan menunjuk arah di dalam hutan. Namun, karena tidak pernah mengenyam bangku sekolah, ia kebingungan jika harus membaca dan menulis.
”Peneliti tanya, itu pohon apa. Saya jawab, itu menggeris, rotan, begitu. Kalau diminta buat baca atau tulis, susah,” katanya.
Ke depan, Jidan berharap sekolah adat bisa mengantarkan warga kampung untuk kuliah dan membangun kampung. Kemampuan warga nantinya akan didukung dengan hasil semua penelitian yang dilakukan berbagai pihak.
”Kami mewajibkan hasil riset mesti diserahkan ke kampung setiap ada penelitian. Siapa tahu itu berguna nanti,” kata Jidan.
Dia mengakui hutan adat dan masyarakat adat Mului tidak hanya memberi rasa aman bagi warga terhadap sumber kehidupan. Mereka kini percaya diri beranjak lebih jauh, mengupayakan pendidikan bagi generasi selanjutnya. Niat baik itu tentu akan lebih mulus jika negara turut hadir membantu.