An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
The Indigenous communities in North Sumatra, particularly the Simenak Henak Indigenous Community, are reclaiming their land from PT Toba Pulp Lestari (TPL), a company primarily engaged in euclayptus plantations and pulp production in the region. Despite a presidential decree transferring 236 hectares to them, eucalyptus plantations still persist on their territory.
The Indigenous communities' fight spans decades against PT TPL, which held massive concessions in North Sumatra, affecting their land and threatening their livelihoods. Reductions in forested areas due to corporate control have disrupted their traditional practices, especially frankincense cultivation.
Eucalyptus plantations worsen conditions, causing droughts, pollution, and reduced productivity in the Indigenous communities' forested areas. Though they aspire to replant coffee and regain their economic base, the land's recovery remains a challenge, affecting their farming efforts.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund coverage of Indigenous issues and communities. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Bibit Harapan di Tanah Batak
Pengakuan negara atas hutan adat jadi lembaran baru, tetapi perjuangan masih panjang untuk memulihkannya.
Bibit-bibit jagung berumur kurang dari dua minggu tersebar di hamparan bukit kering nan gersang pada ketinggian 1.000 meter lebih di atas permukaan laut. Lahan yang sebelumnya ditanami eukaliptus itu dibabat Masyarakat Adat Simenak Henak.
Ketua Kelompok Masyarakat Adat Simenak Henak Mangapul Samosir (68) memandang jauh ke sisi perbukitan lain yang masih menjadi lahan masyarakat adatnya. Di sana sejumlah bidang perkebunan eukaliptus milik PT Toba Pulp Lestari (TPL) masih berdiri tegak.
Kondisi ini terjadi kendati lahan seluas 236 hektar di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, itu telah hampir dua tahun beralih ke masyarakat adat lewat Surat Keputusan (SK) Indikatif Hutan Adat. Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung SK tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan pada 3 Februari 2022.
”Namun, kami belum bisa menikmati sepenuhnya hutan adat yang telah diberikan langsung oleh Presiden,” ujar warga Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, tersebut, Kamis (16/11/2023).
Selain karena masih adanya kebun eukaliptus yang akan dipanen perusahaan, legalitas hutan adat mereka juga terganjal SK bupati terkait penetapan masyarakat adat yang belum keluar. Kebijakan itu kunci untuk finalisasi penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selama puluhan tahun, hutan itu dikelola PT TPL sejak 1992. Awalnya, mereka menguasai areal konsesi seluas 269.060 hektar di Sumatera Utara. Sejak 2020, luasan konsesi mereka tercatat 167.912 hektar di sebelas kabupaten dan kota di Sumatera Utara, termasuk Kabupaten Toba.
Sepanjang keberadaan perusahaan itu, areal konsesi perusahaan tidak hanya tumpang tindih dengan lahan rakyat, tetapi juga mengancam kelangsungan hutan masyarakat adat yang masih ada. Berkurangnya lahan akibat pengambilalihan hutan membuat sumber penghidupan mereka berkurang. Padahal, Masyarakat Adat Simenak Henak selama turun-temurun memanfaatkan hasil hutan, khususnya kemenyan.
Pohon endemik Sumatera Utara itu tumbuh dengan dukungan tanaman alam lainnya. Masyarakat memanfaatkannya dengan mengambil getah pohon, dengan panen raya sekali setahun. Hasil kemenyan itu kemudian dijual ke pasar atau melalui tengkulak sebagai komoditas ekspor.
Di sisi lain, adanya perkebunan eukaliptus menimbulkan dampak, seperti menurunkan produktivitas pohon kemenyan akibat kekeringan dan polusi bahan kimia untuk pengusir hama. Aktivitas perkebunan juga meningkatkan gangguan, seperti perpindahan hama ke hutan adat hingga kebakaran ketika perusahaan membersihkan lahan.
Akibatnya, masyarakat adat setempat tidak lagi menggantungkan kemenyan sebagai sumber ekonomi utama. Mayoritas Masyarakat Adat Simenak Henak, kata Mangapul, kini senang berkebun kopi dan jagung serta beternak untuk hidup. Untuk itu, mereka ingin segera memanfaatkan lahan bekas konsesi untuk perkebunan mereka.
”Seandainya lahan ini sudah dibersihkan dari eukaliptus perusahaan, kami sudah bisa menanam kopi dan dua tahun lagi kami sudah mulai bisa memanen. Ini yang kami harapkan. Ini sumber kehidupan untuk kami dan anak cucu kami,” katanya.
Awal perjuangan
Sejumlah kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara sudah mendapatkan penetapan hutan adat dari negara. Capaian itu melalui perjuangan yang panjang.
Sejak 2016-2023, menurut data KLHK, sebanyak enam kelompok masyarakat adat telah mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 7.224 hektar, termasuk wilayah indikatif Hutan Adat Simenak Henak dan Janji Maria di Kabupaten Toba. Namun, pengakuan ini masih menjadi awal dari perjuangan baru mereka.
Di Kabupaten Tapanuli Utara, Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan atau Nagasaribu Onan Harbangan pada 2022 lalu berhasil mendapatkan kembali 1.586 hektar hutan adat mereka, dari total 1.710 hektar yang mereka ajukan bersama lembaga swadaya masyarakat Kelompok Studi dan Pengembangan Prakasa Masyarakat (KSPPM) pada 2018.
Lahan itu juga dikembalikan dari wilayah konsesi eukaliptus PT TPL. Selama pengajuan itu diproses, Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan telah bersepakat agar perusahaan tidak lagi menanam pohon. Meski perusahaan sempat melanggar kesepakatan pada 2019, lahan baru masyarakat adat perlahan dibersihkan.
Di sebagian lahan hutan adat bekas kebun eukaliptus, rerumputan dan tanaman pendek lainnya tumbuh kontras dengan pepohonan hutan alam yang menua di sekitarnya. Ketua Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan Jonris Simanjuntak (49) mengatakan, mereka pernah coba menanam tanaman kebun, seperti kopi dan jagung. Namun, usaha itu kerap gagal.
”Tanahnya masih sakit, belum pulih. Gersang sekali, lah,” ujarnya pada Jumat (17/11/2023).
Jonris mengakui, mereka belum mengetahui cara yang tepat dan efisien untuk bisa memanfaatkan lahan kritis tersebut. Ia berpikir, lahan itu hanya perlu waktu untuk memulihkan dirinya.
“Kalaupun ada pengembangan, nanti, ya, tinggal kita memilih mana yang cocok. Tapi, pada dasarnya kan fungsinya memang hutan, ya, kita harus kembalikan jadi hutan lagi,” ucapnya.
Hutan adat yang masih eksis secara adat dijaga sebagai sumber ekonomi utama mereka. Tanaman kemenyan menjadi warisan leluhur yang terus mereka jaga. Keluarga Jonris, contohnya, telah mengelola hutan hingga 18 generasi. Dari hutan, mereka juga kerap mengambil hasil alam lain, seperti tanaman obat hingga pepohonan kayu, salah satunya ingul.
”Kemenyan sendiri ibarat bank untuk masyarakat Nagasaribu ini. Dia jadi tabungan untuk kami. Yang lain, misalnya, hasil berladang hanya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti kopi, beras karena kami punya sawah yang lumayan luas, kayu manis, dan lain-lain,” ujarnya.
Setelah status hutan adat mereka diakui, Jonris menyadari, mereka masih menghadapi ancaman dari luar lainnya. Misalnya, perubahan iklim yang membuat musim hujan lebih basah sehingga mengurangi hasil tanaman kemenyan. Ada juga ancaman bencana alam, seperti banjir bandang yang sering terjadi beberapa tahun belakangan, dan berdampak ke ladang mereka.
Bagaimanapun, Masyarakat Adat Nagasaribu Siharbangan masih akan menjaga hutan adat mereka dengan menjalankan adat istiadat. Salah satunya adalah dengan menjaga ”tombak raja”, yaitu bidang hutan yang tidak bisa sembarangan diambil kayunya.
”Tombak itu fungsinya untuk resapan air, bisa untuk diambil kayu untuk (bangun) rumah. Tapi, kita harus kasih tahu dulu (ke pemerintah adat), saya mau bangun rumah. Yang harus kita lakukan berikutnya, pastikan dulu keamanannya, lalu kalau tebang satu, harus tanam lima,” ucapnya.
Bagi masyarakat adat lain, pengakuan status hutan adat sejauh ini memberi mereka ketenangan setelah lama berjuang merebut wilayah mereka.
Hal ini dirasakan Masyarakat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, yang juga sudah hampir tiga dekade berkonflik dengan PT TPL. Berbagai bentuk ancaman dari perusahaan telah masyarakat itu alami, antara lain penebangan hutan secara diam-diam, perlawanan bersenjata, dan kriminalisasi oleh oknum aparat penegak hukum.
Hingga akhirnya, negara turun pada 2018 untuk mengakui hutan adat milik sekitar 700 keluarga melalui pemberian SK pencadangan hutan seluas 5.172 hektar. Kemudian, Presiden mengesahkannya dengan memberikan SK Hutan Adat seluas 4.399 hektar yang keluar di akhir 2021.
Arnold Lumban Batu (55), tokoh adat Pandumaan Sipituhuta, mengatakan, mereka ingin memberikan tapal batas di wilayah hutan adat bekas kelola PT TPL dan memberikan waktu pemulihan untuk lahan tersebut. Sementara itu, mereka akan tetap menjaga dan memanfaatkan hutan adat eksisting untuk penghidupan warga.
”Bagi kami sekarang, kita nyaman dulu dalam mengerjakannya (hasil hutan),” ujarnya saat ditemui pada Rabu (15/11/2023).
Direktur KSPPM Delima Silalahi menilai, pengakuan hutan adat oleh negara setidaknya memberi ketetapan hukum kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan di wilayah adatnya. ”Mungkin secara ekonomi belum bisa kita lihat (manfaatnya), tapi penerima SK Hutan Adat ini sudah merasa lebih nyaman untuk mengelola hutan mereka,” ujarnya.
Bantuan pengelolaan
Pascapenerbitan SK Hutan Adat, masyarakat adat perlu merumuskan tata kelola hutan mereka sesuai dengan kebutuhan dalam koridor kebijakan negara. Seperti diketahui, negara memberi ruang agar hutan adat dapat memiliki fungsi konservasi, lindung, dan produksi.
Delima mengatakan, masyarakat adat perlu secara partisipatif menentukan fungsi hutan mereka, terlebih karena sebagian memiliki lahan kritis bekas konsesi. Pengelolaan lahan kritis itu selain tidak mudah, juga berbiaya tidak murah. Perhitungan KSPPM menemukan, untuk membersihkan 1 hektar lahan bekas kebun eukaliptus dibutuhkan dana sekitar Rp 15 juta untuk menyewa alat berat.
Tantangan itu, menurut dia, juga harus dijamin pemerintah. Apalagi, hal ini diamanatkan Pasal 67 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Masyarakat Hukum Adat, yang menyebut masyarakat adat yang diakui berhak mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
”Negara harus mengambil tanggung jawab mengambil peran untuk itu karena negara juga punya kepentingan melestarikan hutan adat,” ujar Delima.
Mulai 2023, pemerintah memang mulai memberikan bantuan kepada masyarakat adat yang telah mendapat pengakuan lewat Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah sepuluh kementerian. Sejauh ini, antara lain akan diterima masyarakat binaan mereka, yakni Nagasaribu Siharbangan.
Bantuan itu akan berupa pendanaan untuk penguatan kelembagaan adat. Namun, ia berharap bantuan itu bisa lebih ditargetkan dalam membangun ketangguhan ekonomi masyarakat adat. ”Bantuan ketangguhan ekonomi yang harusnya bisa dipadukan dengan upaya pemulihan hutan adat,” ujarnya.
Kepala Komunikasi Perusahaan PT TPL Salomo Sitohang mengatakan, TPL menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat perdesaan. ”Kami juga berkomitmen untuk menghormati dan mendukung deklarasi universal hak asasi manusia, hukum nasional, dan perjanjian internasional tentang HAM dan masyarakat adat,” kata Salomo dalam jawaban tertulisnya.
Salomo menyebut, mereka menghormati hak kepemilikan masyarakat adat dengan menerapkan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) pada lahan di mana masyarakat adat memegang hak hukum adat.
”Apabila ditemukan tumpang tindih lahan yang diklaim masyarakat di areal konsesi perusahaan, TPL berupaya mencari solusi dengan kerja sama kemitraan dalam bentuk Kelompok Tani Hutan (KTH),” kata Salomo.
Bupati Toba Poltak Sitorus menyatakan hingga saat ini belum mengeluarkan surat keputusan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Hal itu yang membuat Masyarakat Adat Janji Maria dan Simenak Henak tidak mendapat SK Hutan Adat definitif dari KLHK, tetapi hanya indikatif.
”Untuk menetapkan masyarakat hukum adat itu ada kriterianya. Satu poin saja tidak dipenuhi, nanti bisa jadi bumerang bagi kami,” kata Poltak.
Poltak menyebut, dia telah menurunkan tim verifikasi lapangan. Dari situ diketahui ada beberapa kriteria yang tidak dipenuhi dalam penetapan masyarakat hukum adat, yakni belum terbentuk sistem pemerintahan hukum adat. Hutan adat itu juga tidak dihuni dan diusahakan secara turun-temurun.