WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo December 15, 2023

The Spirit of Mukim Blang Birah's Indigenous Forest (bahasa Indonesia)

Country:

a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

Indigenous people patrol the customary forest owned by Mukim Blang Birah, Peudada District, Bireuen Regency, Aceh Province, Wednesday (15/11/2023). Mukim Blang Birah obtained recognition of customary forest rights covering 2,422 hectares. Photo by Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


The struggle of the Mukim Blang Birah Indigenous community in Aceh paid off as the state recognized their rights to manage forests. The dense, untouched traditional forest, home to various species including elephants, remains a vital source of non-timber products for the community. Rattan, aloes, and other natural resources are crucial to their economy.

Fearing corporate takeover, the community fought for recognition, finally achieving it in 2023. With the customary forest decree in hand, 14 villages under Mukim Blang Birah have the right to manage the forest sustainably. The residents can collectively manage the land, ensuring the forest's conservation without hindering its function.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


The Mukim government system, revived after years, forms the backbone of forest governance. Equipped with regulations and knowledge, the Indigenous communities are entrusted to manage the forest wisely. The state's recognition marks a critical step, leaving the responsibility now in the hands of the community to maintain the forest's sustainability.

Semangat dari Hutan Adat Mukim Blang Birah

Pemerintahan adat mukim di Aceh tidak diakui selama masa Orde Baru. Namun, perjuangan panjang mereka kembali mendapat hak kelola hutan.


Perjuangan tanpa lelah masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh berbuah hasil. Akhirnya negara mengakui hak masyarakat adat setempat untuk mengelola hutan.

Hawa sejuk membekap tubuh saat berada di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Rabu (15/11/2023), jarum jam masih pukul 15.00, tetapi suasana di hutan adat mulai gelap. Sinar matahari tidak kuasa menembus tutupan hutan yang rapat.

”Hutan adat kami masih alami, belum dibuka menjadi perkebunan,” kata Yuraddin (44), salah seorang warga masyarakat adat Mukim Blang Birah.

Yuraddin, M Nur, dan Ramadhan mempercepat langkahnya. Dari jauh terdengar suara pohon yang tumbang.

Nyan buet gajah (Itu ditumbangkan gajah),” ujar Ramadhan.

Gajah merupakan satwa dilindungi yang terancam punah. Keberadaan gajah di kawasan itu salah satu indikator hutan masih terjaga. ”Ada satu ekor gajah yang selalu melintasi hutan ini. Saya khawatir dia berada di dekat kita,” lanjutnya.

Beberapa batang mercon disiagakan agar gajah menjauh. Di jalan setapak, kami menemukan beberapa tumpukan kotoran gajah dan jejak telapak kaki rusa.

Ketiga lelaki itu telah berusia di atas 40 tahun, tetapi mereka sangat gesit menerobos semak dan mendaki jalan menanjak yang licin.

Sepasang burung rangkong terbang di celah-celah pohon. Suara monyet, jangkrik, dan binatang lain tak ubahnya paduan suara alam. Lokasi ini cocok jadi tempat relaksasi alami.

Setelah berjalan 15 menit, mereka berhenti di depan sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi. Butuh 7-10 orang dewasa untuk merangkul pohon itu. Usianya diperkirakan lebih dari satu abad. Pohon itu sering menjadi tempat lebah menyimpan madu.


Pohon gaharu yang tumbuh di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, Rabu (15/11/2023). Hutan adat milik masyarakat hukum adat Mukim Blang Birah masih lestari hingga kini. Foto oleh Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

Bek na yang koh kayee nyoe (tidak ada yang boleh menebang),” kata Yuraddin sambil mengangkat parang sebagai isyarat dia akan melindungi hutan itu meski bertaruh nyawa.

Di antara pohon-pohon menjulang tinggi, terdapat rotan, jernang, dadap, hingga jelatang. Banyak warga mengandalkan hasil bukan kayu di hutan adat sebagai sumber ekonomi.

Tiba-tiba mereka berhenti di dekat pohon gaharu, ukurannya satu pelukan orang dewasa. Dengan menggunakan parang ditetak batang untuk diambil sedikit pecahan kayunya lalu dibakar. Aroma khas gaharu menguar. ”Gaharu biasa dipakai buat dupa, harganya sangat mahal. Dipakai juga buat parfum dan obat,” kata Yuraddin.

Pada beberapa pohon disemat pamflet berisi ajakan merawat hutan dan larangan menebang pohon. Hutan adat mukim itu merupakan sumber air untuk aktivitas pertanian warga di Kecamatan Peudada. Banyak sungai kecil berhulu dari hutan adat itu.

Yuraddin, Nur, Ramadhan, dan warga lain berkebun di lahan yang berbatasan dengan hutan adat. Wilayah perkebunan mereka kini diusulkan masuk skema perhutanan sosial, kelompok tani hutan (KTH). Mereka menanam kakao, pinang, jernang, dan hortikultura.

Bergerak cepat

Pengusulan hutan adat berangkat dari kegelisahan perangkat Mukim Blang Birah terhadap kemungkinan hutan itu akan menjadi konsesi perusahaan. Saat itu perusahaan sedang mengurus perizinan hak guna usaha (HGU).

Yuraddin termasuk orang yang terlibat sejak awal pengusulan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari tahun 2019 dan baru ditetapkan pada 2023.

Pengusulan didampingi oleh Yayasan Aceh Green Conservation (AGC). Pendampingan dilakukan sejak pemberkasan hingga pascapenetapan.

AGC juga yang mendesak Pemkab Bireuen menyusun Qanun/Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun Nomor 5 Tahun 2017 tentang Hutan Adat Mukim. Qanun ini menjadi landasan pengajuan hutan adat ke pemerintah pusat.

”Kami berlomba dengan perusahaan yang menargetkan hutan ini sebagai HGU. Alhamdulillah, perjuangan kami berhasil,” kata Yuraddin.


Batang rotan tumbuh subur di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, Rabu (15/11/2023). Hasil bukan kayu menjadi sumber penghasilan masyarakat adat Mukim Blang Birah. Foto oleh Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

Pada Senin (18/9/2023), Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung surat keputusan penetapan hutan adat mukim di Aceh. Imum Mukim Blang Birah, Muntasir, mewakili masyarakat hukum adat mukim menerima salinan SK secara simbolis.

Aceh mendapatkan 22.549 hektar hutan adat yang tersebar di tiga kabupaten untuk delapan masyarakat adat mukim.

Khusus bagi Mukim Blang Birah, dari 3.334 hektar yang diusulkan, yang disetujui 2.422 hektar. Meski demikian, mereka menyambut bahagia. Keberadaan hutan adat bentuk pengakuan hak mukim atas hutan dan adanya harapan tempat mencari nafkah, serta menjaga ketahanan lingkungan.

Masyarakat hukum adat mukim merupakan kesatuan masyarakat terdiri dari beberapa desa. Mukim memiliki struktur pemerintahan dan perangkat hukum adat. Pemerintahan mukim merupakan warisan sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam.

Mukim dipimpin oleh seorang imum mukim dibantu perangkat adat, seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.

Hutan adat Mukim Blang Birah berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah. Dari jalan nasional Banda Aceh-Medan berjarak sekitar 30 kilometer, butuh waktu 1 jam untuk mencapai ke lokasi.

Ditemui secara terpisah, Imum Mukim Blang Birah Muntasir menuturkan, penetapan hutan adat ibarat sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Kini warga tidak perlu waswas sebab hutan itu telah sah sebagai milik ulayat atau bersama.

Sebagai hutan adat, warga di 14 desa di bawah Mukim Blang Birah berhak mengelola hutan adat, tanpa merusak fungsi hutan. Setiap kepala keluarga dapat mengelola maksimal 2 hektar.

”Yang mau buka lahan harus melapor kepada ketua seuneubok agar terdata,” kata Muntasir.

Muntasir mengatakan pengelolaan hutan adat mukim menganut asas keadilan. Meski hanya satu desa yang berbatasan langsung dengan hutan, semua warga desa lain tetap punya hak mengelola lahan.

Pascapenetapan, hutan itu belum disentuh. Pematokan tata batas juga belum dilakukan. Mereka tidak ingin buru-buru. Membiarkan hutan tumbuh alami juga bagian dari mengelola. ”Bulan depan kami gelar kenduri hutan dan musyawarah,” kata Muntasir.

Asisten II Pemkab Bireuen Dailami mengatakan, pemerintah percaya masyarakat adat mukim mampu menjaga dan mengelola hutan. Jauh sebelum penetapan, masyarakat adat telah dibekali pengetahuan yang cukup tentang tata cara pengelolaan dan regulasi yang harus dipatuhi.

”Silakan dikelola, asal tidak merusak fungsi hutan. Kalau menyalahi, ada kemungkinan untuk dicabut SK,” kata Dailami.


Jejak kaki rusa di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Foto direkam pada Rabu (15/11/2023). Foto oleh Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

Dailami mengatakan, hutan adat dapat dikelola dengan konsep agroforestri, yakni menanam tanaman bernilai ekonomi sekaligus berfungsi ekologis, seperti jengkol, kemiri, durian, dan alpukat.

Pembina Yayasan Aceh Green Conservation (AGC) Suhaimi Hamid menjelaskan, secara historis masyarakat adat mukim di Aceh memiliki wilayah hutan yang dikuasai. Hal ini diperkuat dengan masih lengkapnya struktur pemerintahan mukim. Di dalam pemerintahan mukim terdapat panglima hutan yang bertugas menjaga hutan dari perambahan atau penyalahgunaan.

Namun, pada masa rezim Orde Baru, di bawah Presiden Soeharto melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan, keberadaan pemerintahan mukim ditiadakan. Meski demikian, masyarakat Aceh tetap mendukung eksistensi mukim.

Pascaperdamaian Aceh, lahirlah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang di dalamnya kembali mengakui keberadaan pemerintahan mukim. UUPA menumbuhkan harapan kembali bagi mukim untuk menguasai hutan adatnya.

Suhaimi mengatakan, hutan adat banyak yang dirambah atau beralih fungsi menjadi perkebunan, konsesi, dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya konflik satwa dan potensi bencana alam meningkat. Karena itu pula AGC mendorong masyarakat adat mukim untuk mengusulkan hutan adat.


Masyarakat hukum adat Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, Rabu (15/11/2023), menuju ke kebun yang berbatasan dengan hutan adat. Foto oleh Zulkarnaini. Indonesia, 2023.

”Kita harus memberikan kepercayaan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan dengan kearifan lokal mereka,” kata Suhaimi.

Negara telah mengakui hak masyarakat adat mukim atas hutan. Kini tinggal masyarakat adat mukim yang harus membuktikan di tangan mereka hutan tetap lestari.