An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
Sumantri, fondly known as Samon, at 5'3", has a robust physique and remarkable ability to devour food that make him an iconic figure. A revered tree climber at 49, Samon's role involves harvesting forest honey for his community. The Mului people view their customary forest as the life-giving mother, the source of sustenance for all villagers.
Samon's arduous task involves climbing the tallest trees along the riverbank to gather sizable beehives, ensuring fair distribution among the 38 families. Every drop of honey is equitably shared, akin to a mother's nurturing love for her children. Climbing trees for honey retrieval, a skillful yet risky task, demands specialized expertise and risk-taking courage, showcasing Samon's seniority and leadership among the youth who learn under his guidance.
Scaling trees without protective gear, relying only on ironwood blades for support, Samon braves the heights for hours. Nights are chosen for the harvest when the dark skies minimize bee stings, a tactic learned from years of experience. Armed with unique tools like the irus and kasor bark smoke, Samon collects honeycombs while singing protective songs. The abundant forest honey holds immense value for the Mului community, providing crucial sustenance and free sugar vital for their high-energy lifestyle and farming needs in their remote village.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund coverage of Indigenous issues and communities. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Samon: Pohon Kupanjat, Madu Kudapat
Samon menjadi pemanjat pohon andalan untuk memanen madu di kampungnya, Kampung Mului. Madu penting bagi warga di sana.
Tubuhnya kekar dengan pinggang yang ramping dan betis berotot. Tingginya hanya 160-an sentimeter. Ia kuat sekali melahap makanan, bisa tambah berpiring-piring nasi. Itulah Sumantri yang karib disapa Samon.
Pria 49 tahun itu adalah pemanjat pohon andalan untuk mengambil madu hutan bagi sukunya, suku Mului. Masyarakat hukum adat itu tinggal di Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Siang itu, sekitar pukul 10.00, Samon duduk di kursi kayu panjang di halaman rumah keluarganya. Matanya sedikit merah dan rambut berantakan. Di pipinya terlihat sisa-sisa tidur berupa garis-garis kerutan. Ia bangun lebih siang dari biasanya.
Maklum, katanya, ia baru pulang ke rumah subuh. Ia baru saja menunaikan tugas penting yang paling berat di kampungnya: memanjat pohon paling tinggi di tepi sungai. Di beberapa cabang pohon itu terdapat sarang lebah yang lumayan besar dan layak dipanen oleh warga kampung.
Samon-lah yang memanjat pohon itu sekaligus memanennya untuk dibagikan merata ke 38 keluarga yang ada di kampungnya. Masyarakat Mului, kata Samon, menganggap bahwa hutan adat adalah ibu, sumber kehidupan warga.
Untuk itu, setiap ada meto wani—istilah lokal untuk mencari madu—setiap keluarga mengirimkan perwakilannya ke hutan. Setelah madu dipanen, hasil madu dibagi merata ke seluruh keluarga kampung yang hadir, layaknya ibu yang adil memberi air susu dan kasih sayang kepada anaknya. ”Tadi malam setiap keluarga dapat satu liter,” kata Samon, Selasa (21/11/2023).
Samon adalah andalan warga kampung untuk mengambil madu hutan. Ia termasuk yang paling senior. Banyak pemuda kampung belajar memanjat dan mengambil madu kepadanya. Memanjat pohon untuk mengambil madu hutan memang pekerjaan penuh risiko dan butuh keterampilan khusus.
Untuk pohon terakhir yang Samon panjat, tingginya sekitar 30 meter. Tak ada pengaman apa pun yang ia kenakan. Ia hanya mengandalkan pansek atau bilah-bilah kayu ulin yang ditancapkan di batang pohon. Pansek itu berfungsi sebagai tangga dan penopang Samon untuk mencapai sarang lebah.
Pansek itu dipasang dan disiapkan oleh warga yang berangkat ke hutan sebelum gelap datang, sekitar pukul 17.30. Warga yang hadir adalah perwakilan dari 38 keluarga yang ada di Kampung Mului. Mereka membawa wadah masing-masing untuk menampung madu yang didapat.
Setelah semua pansek terpasang, mereka akan menunggu malam benar-benar gelap. Kondisi itu ditandai saat bulan tak lagi terlihat di langit. Pada 21 November lalu, langit benar-benar gelap sekitar pukul 02.00.
Untuk menanti langit gelap, mereka harus menunggu sekitar 7 jam. Mengisi waktu itu, mereka duduk bersama untuk mengobrol di tepi sungai, memancing, atau berburu. Samon bilang, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, langit yang benar-benar gelap akan memudahkan proses memanen madu hutan.
”Kalau gelap, tawon ndak bisa lihat. Yang gigit lebih sedikit waktu sarang madunya diambil,” kata Samon.
Saat memanjat, Samon mesti bertelanjang dada. Supaya lebih leluasa bergerak, katanya. Kala menunaikan tugas itu, di kedua bahunya tercantol tengkalang atau keranjang rajutan dari rotan. Rajutan berdiameter sekitar 40 sentimeter dan tinggi sekitar 50 sentimeter itu berisi segala kebutuhan Samon untuk mengambil madu.
Satu bahan yang mesti disiapkan adalah kulit kayu kasor yang sudah dijemur kering. Kulit kayu itu digulung dan diikat. Kemudian, kulit kayu kasor dibakar ujungnya, tetapi apinya tak dibiarkan berkobar: hanya bara api, layaknya membakar dupa yang mengeluarkan asap hasil pembakaran.
Asap dari pembakaran itu yang bakal mengusir lebah mendekat ke tubuh sehingga Samon terhindar dari sengatan lebah. Kayu kasor akan dipegang Samon selama mengambil madu di ketinggian pohon.
Untuk mengambil sarang madu yang tertempel di dahan pohon, Samon menggunakan alat yang disebut irus, alat potong yang terbuat dari bandir pohon menggeris (Koompassia excelsa). Sejenis akar pohon itu dibentuk menyerupai dayung dengan panjang satu meter.
Setelah itu, sarang madu yang sudah dipanen akan Samon letakkan dalam sebuah wadah yang disebut uyung. Alat itu berbentuk seperti ember kecil, terbuat dari kulit rusa yang dikeringkan. Wadah itu dikaitkan ke sebuah tali anyaman rotan yang disebut luyan.
”Saya ulur ke bawah. Nanti warga di bawah mengambil sarang tawon. Begitu terus sampai selesai,” kata Samon.
Proses itu berjalan satu sampai dua jam. Di sela-sela tugas itu, Samon kerap melantunkan lagu yang ia sebut sebagai nogu, semacam tembang yang dipercaya warga Mului untuk menghindari sengatan lebah. Jika pun tersengat, kata Samon, sakitnya akan cepat hilang.
Tahun ini, Samon melanjutkan, adalah tahun penuh berkah. Setelah enam tahun lamanya tak ada madu hutan di hutan adat mereka, tahun ini begitu melimpah. Dengan demikian, di sela-sela kesibukan berladang, Samon akan lebih sering naik-turun pohon untuk mengambil madu hutan dan dibagikan merata ke warga kampung.
Madu menjadi bagian penting masyarakat Mului. Sebab, aktivitas fisik warga sangat tinggi, mulai berladang, berburu, membuka lahan, mendulang emas di sungai, hingga patroli hutan adat. Warga butuh asupan gula cukup untuk menjaga stamina. Selain itu, madu mengandung kalori, nutrisi, asam organik, mineral, dan komponen kimia lain yang baik bagi tubuh manusia.
Madu hutan menjadi sumber gula gratis bagi warga. Ia digunakan untuk campuran teh atau kopi. Madu hutan juga menjadi bekal saat berladang untuk asupan energi. Madu yang gratis dari hutan adat menjadi begitu krusial ketimbang membeli gula.
Harga gula pasir di kampung Mului Rp 21.000 per kilogram. Harga bisa lebih murah, yakni Rp 18.000, jika membeli di pusat kecamatan. Namun, pusat kecamatan hanya bisa ditempuh sekitar tiga jam bersepeda motor. Jalan yang dilalui begitu terjal dengan jalan tanah yang begitu becek saat hujan.
Kampung Mului memang terpencil. Mereka hidup di tengah hutan yang lebat. Tak ada sinyal telepon di kampung. Dengan kondisi tersebut, Samon punya kemampuan dan peran penting bagi warga kampung untuk menaklukkan pohon-pohon tinggi, tempat lebah bersarang yang kaya madu.
”Selama saya sehat, saya akan terus panjat pohon untuk ambil madu buat warga kampung. Biar warga kampung tetap sehat dan kuat berladang,” kata Samon tertawa.
Sumantri alias Samon
Lahir: Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, 16 Maret 1974
Profesi: Petani, peladang, pemanjat pohon madu, dan masyarakat hukum adat Mului