WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo December 13, 2023

Bars and Lives Lost for Indigenous Forests in Central Kalimantan (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
a person collecting plants in the rainforest
English

Many Indigenous communities are trying to get their customary forest status recognized by the...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Hutan milik masyarakat Laman Kinipan yang dikeruk perusahaan perkebunan sawit yang hingga kini menimbulkan konflik antara warga, pemerintah, dan perusahaan perkebunan.
Forest owned by the Laman Kinipan community that was dredged by an oil palm plantation company, which has led to conflicts between residents, the government, and the plantation company. Image by Dionisius Reynaldo Triwibowo. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


In Central Kalimantan, indigenous communities like Laman Kinipan and Bangkal are struggling to secure recognition and protection for their customary forests. Despite following government procedures for years, they face conflicts and criminalization.

Effendi Buhing, representing Laman Kinipan, highlights their efforts since 2012, including land identification, which the government should have supported. Instead, their territory ended up in a palm oil plantation concession, leading to clashes and arrests, including Buhing's, though they were released as suspects due to community pressure.

Ferdi Kurnianto from the Central Kalimantan Indigenous Community Alliance (AMAN) stresses that indigenous communities often suffer in these struggles, facing criminalization and even fatal clashes.

The government's stance has been problematic. They've often favored investments over indigenous rights and failed to understand their responsibilities in recognizing customary forests and communities. However, recent regional regulations could signal progress in recognizing and protecting customary forests, offering hope for indigenous communities.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Jeruji hingga Nyawa Melayang demi Hutan Adat di Kalteng

Di Kalteng, masyarakat adat berhadapan dengan jeruji sampai nyawa melayang di ladang sawit karena konflik berkepanjangan.


PALANGKARAYA — Kian lama hutan adat tidak dilindungi dan diakui, konflik pun semakin panjang. Di Kalimantan Tengah, masyarakat adat berhadapan dengan aparat kepolisian di tengah upaya mereka memperjuangkan hak. Penjara dan nyawa yang melayang membayangi perjuangan mereka.

Salah satu wilayah yang belasan tahun berjuang untuk mendapatkan pengakuan di Kalimantan Tengah adalah Komunitas Adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau. Usulan hutan adat sudah diajukan ke pemerintah daerah sejak 2018. Persiapan yang mereka lakukan sudah mengikuti aturan dan kebijakan pemerintah sejak 2012 atau 11 tahun lalu, mulai dari membentuk komunitas adat hingga identifikasi wilayah.

Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengatakan, identifikasi lahan yang seharusnya merupakan kewajiban pemerintah justru dilakukan oleh masyarakat. Untungnya, masyarakat dibantu banyak lembaga nonpemerintah, salah satunya Badan Registrasi Wilayah Adat. "Kami ini seperti bola dilempar ke sana kemari, menunggu kelengkapan berkas, bukankah harusnya pemerintah yang dampingi langsung," kata Willem Hengki, Rabu (13/12/2023).

Bersama BRWA, kata Buhing, mereka telah mengidentifikasi lahan seluas 16.000 hektar. Seiring berjalannya waktu, wilayah adat itu masuk dalam konsesi perizinan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat pun bentrok dengan perusahaan. Ujungnya, Buhing ditangkap karena dituduh menjadi dalang aksi yang dinilai polisi saat itu merusak fasilitas perusahaan. Selain itu, lima orang lainnya yang salah satunya adalah perangkat desa juga ditangkap.

Mereka kemudian dibebaskan dengan status masih menjadi tersangka. Pembebasan dilakukan setelah polisi mendapatkan tekanan luar biasa dari masyarakat luas.

Kepala Desa Kinipan Willem Hengki juga pernah berurusan dengan hukum karena dituduh korupsi. Semua pihak menilai kasus itu terkesan dibuat-buat. Hengki dinyatakan tidak bersalah dalam persidangan dan bisa menghirup udara bebas setelah ditahan hampir selama proses hukum berjalan.

”Semua itu tidak menyurutkan niat kami mendapatkan hutan adat, mendapatkan pengakuan dan perlindungan,” ungkap Hengki.

Kepala Desa Kinipan Willem Hengki (memegang mikrofon) berbicara di hadapan massa di luar Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya usai divonis bebas dalam sidang putusan kasus dugaan korupsi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (15/6/2022).
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki (memegang mikrofon) berbicara di hadapan massa di luar Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya usai divonis bebas dalam sidang putusan kasus dugaan korupsi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (15/6/2022). Foto oleh Jumarto Yulianus. Indonesia, 2022.

Di Kabupaten Seruyan, kondisi Komunitas Adat Bangkal lebih buruk lagi. Puluhan tahun hutan adat tempat mereka melaksanakan ritual adat dan menjadi sumber kehidupan mereka dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Salah satu tokoh adat Bangkal, James Watt, mengungkapkan, sebelum perusahaan sawit masuk tahun 2005, pihaknya sudah melakukan penolakan. Namun, saat itu pemerintah datang menemui mereka sebagai perwakilan dari perusahaan dengan menjelaskan keuntungan jika perusahaan sawit masuk.

”Katanya kami dikasih kebun yang dikelola masyarakat sendiri, katanya kami juga diberi pekerjaan, semuanya itu bohong,” kata James.

James sendiri pernah dipenjara lebih kurang satu tahun karena berusaha mempertahankan kebunnya yang dirampas perusahaan. Saat itu, sebagai bentuk protes ia memanen buah sawit perusahaan yang ditanam di atas tanahnya di Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur. Ujungnya ia di bui bersama dua kerabatnya. Salah satu kerabatnya meninggal di dalam sel, diduga karena sakit.

”Kami akhirnya menuntut janji-janji itu, salah satunya kebun plasma,” ungkap James.

Akhirnya, di tengah perjuangan mendapatkan hak kebun plasma, salah satu anggota Komunitas Adat Bangkal, Gijik (35), tewas ditembak peluru tajam. Sampai saat ini, pelakunya belum diketahui. Saat itu mereka bentrok dengan aparat yang berjaga di kawasan perusahaan (Kompas, 11 Oktober 2023).

Ketua Pelaksana Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, komunitas adat selalu menjadi korban di dalam konflik yang terjadi dalam perjuangan mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Tak jarang mereka menghadapi kriminalisasi hingga bentrok yang menyebabkan nyawa melayang.

Aparat Polda Kalteng menjaga proses olah TKP di lokasi kejadian penembakan warga Seruyan hingga satu orang tewas tertembak. Olah TKP itu dilakukan di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Rabu (11/10/2023).
Aparat Polda Kalteng menjaga proses olah TKP di lokasi kejadian penembakan warga Seruyan hingga satu orang tewas tertembak. Olah TKP itu dilakukan di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Rabu (11/10/2023). Foto oleh Dionisius Reynaldo Triwibowo. Indonesia, 2023.

Menurut Ferdi, selama ini dalam pengelolaan hutan dan kawasan lainnya pemerintah lebih mudah mengizinkan investasi asing serta lokal masuk dibandingkan ikut memperjuangkan hak masyarakatnya sendiri, terutama masyarakat adat.

Lebih buruknya lagi, kata Ferdi, pemerintah daerah tidak memahami betul tugas dan tanggung jawab mereka dalam pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) apalagi hutan adat. Menurut Ferdi, selama ini pemerintah menjadikan ketiadaan peraturan daerah sebagai alasan mereka tidak mengakui MHA dan menetapkan hutan adat.

”Dari dulu masyarakat, kan, jadi bola dilempar ke sana kemari. Sekarang sudah ada perda ini artinya sudah satu langkah lebih maju untuk bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan MHA, juga hutan adat,” ungkap Ferdi.

Selama Kalteng berdiri, baru ada 16 hutan adat yang diakui pemerintah dengan total luas kawasan mencapai 68.326 hektar. Koordinator Seksi Hutan Adat Dinas Kehutanan Kalteng Agustinus Rianto menjelaskan, sejak penetapan hutan adat tersebut, banyak daerah berlomba-lomba mengusulkan hutan adat. Salah satunya Kabupaten Lamandau. Ia berharap semua komunitas adat bisa segera mendaftarkan atau mengusulkannya ke pemerintah daerah masing-masing.

”Sekarang ini kami juga didorong untuk membantu masyarakat, mendampingi sampai mereka bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan, khususnya hutan adatnya,” kata Rianto.

Rianto mengatakan, pemerintah saat ini mendorong masyarakat adat untuk segera mengusulkan hutan adat setelah terbitnya perda. Perda menjadi komponen penting untuk masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan.

”Pemerintah provinsi sudah punya perda, sekarang tinggal di kabupaten-kabupaten. Semoga bisa lebih cepat dan lebih baik,” ungkap Rianto.

Rianto mengaku jika hutan adat diberikan kepada masyarakat pasti terjaga. ”Intinya dalam skema perhutanan sosial, hutan adat dan skema lainnya diberikan ke masyarakat dengan tujuan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.