An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.
In East Kalimantan's Mului Village, Muliyadi and his family battle the climate crisis to farm their sloping land, vital for their livelihood. The long drought in 2023 delayed planting, impacting their rice yield. With weather anomalies challenging their traditional planting seasons, Mul worries about food shortages, planting months behind schedule.
Living far from city amenities, the Mului people's intimate connection with the forest sustains them, but weather changes have disrupted their way of life. Despite their simple lifestyle, they've started using solar power for electricity, yet they're affected by the wider world's impact on the climate. Without accusations or global conferences, they adapt while safeguarding their forest-surrounded home, aware of its global significance.
As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!
Krisis Iklim dan Orang Mului, Hutan adalah Air Susu Ibu
Masyarakat adat Mului di Kalimantan Timur dibayangi ancaman krisis iklim. Namun, mereka percaya hutan bak air susu ibu.
Sambil menyeka keringat, Muliyadi (29) bersungut-sungut di bawah terpal. Warga Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, di Kalimantan Timur itu berkacak pinggang sambil memandang ladang milik keluarganya. Krisis iklim membuat hari-hari dia dan warga Mului lainnya tidak tenang.
Tanah miring itu ada di antara perbukitan. Rumput liar tumbuh di atasnya. Ranting pohon berserakan membuat lahan itu terlihat tidak terurus.
Kondisi itu jelas pekerjaan berat bagi Muliyadi dan keluarganya. Rumput dan ranting yang tersebar di lahan nyaris 1 hektar itu mesti dibersihkan oleh lima orang.
Bermodalkan parang, cabang atau ranting pohon dipotong. Rumput dicabut satu per satu dan ditumpuk bersama ranting-ranting, kemudian dibakar.
Terlihat sederhana, tetapi bukan perkara mudah mengerjakannya. Siang itu matahari begitu terik. Suhu udara mencapai 33 derajat celsius.
Kondisi ladang yang jauh dari ideal itu ikut dipicu kemarau panjang sejak pertengahan tahun 2023. Setelah membuka ladang pada Juli 2023, biasanya hujan akan turun mulai Agustus di kampung Muliyadi. Air hujan membantu tanah yang kering menjadi lembap. Kondisi itu cocok untuk menanam padi gunung.
Akan tetapi, tahun ini hujan datang terlambat. Kemarau dan suhu panas membuat warga membiarkan lahan itu tiga bulan lebih. Gerimis memang sempat turun beberapa kali, tetapi tidak rutin dan dengan durasi kurang dari satu jam. Akibatnya, tanah ladang tetap keras dan tidak cocok untuk ditanami padi gunung.
”Hujan baru mulai turun beberapa kali bulan (November) ini. Jadi, kita manduk (membersihkan ladang). Kalau sudah bersih, baru menugal,” kata pria yang karib disapa Mul itu, Senin (20/11/2023).
Menugal merupakan cara menanam padi tradisional yang diterapkan Mul dan warga kampungnya. Caranya, tanah dilubangi dengan tongkat kayu. Di lubang itulah bibit padi gunung ditanam.
Dengan masa tanam yang bergeser akibat panas panjang tahun ini, Mul khawatir hasil panen di tahun sebelumnya tak mencukupi kebutuhan mereka sampai musim panen berikutnya.
Biasanya mereka menanam padi bulan September-Oktober dan panen pada Februari-Maret. Lantaran tahun ini baru menanam di bulan November 2023, mereka bakal panen padi gunung sekitar April-Mei. Molor dua bulan. Hal Itu bisa jadi petaka.
Terancam koyak
Mul adalah anggota masyarakat hukum adat Mului. Mereka tinggal di Kampung Mului, daerah terpencil di tengah hutan rapat Kaltim.
Untuk menuju ke sana jauh dari mudah. Mului berjarak sekitar 300 kilometer dari Kota Samarinda, pusat pemerintahan Kaltim.
Akses jalannya terjal, naik-turun bukit, dan melewati jalan berlumpur saat hujan turun. Paling aman menuju kampung itu menggunakan mobil bergardan ganda.
Jangan harap merasakan nikmatnya berselancar di dunia maya. Sinyal internet dan telepon tidak ada di sana.
Terasa menyiksa bagi orang kota, tetapi tidak bagi warga Mului. Dengan kondisi itu, mereka justru punya banyak waktu berinteraksi dengan hutan. Hubungan mereka erat, seperti keluarga.
”Janes tete ineh,” kata Kepala Adat Mului Jidan (61) dalam bahasa Mului. Artinya, hutan adalah air susu ibu.
Lebih dari sekadar kiasan, hubungan itu nyata. Jauh dari pasar dan perkampungan lain, warga menggantungkan kebutuhan makan selama setahun dari hasil berladang dan hutan.
Hasil hutan adalah segalanya. Namun, beberapa tahun terakhir, hubungan mesra itu terancam koyak. Anomali cuaca memicunya.
Anomali cuaca itu sebenarnya sudah mulai dirasakan sejumlah warga sejak beberapa tahun lalu. Hanya saja kadarnya berbeda.
Tahun 2022, misalnya, Kampung Mului lebih sering diguyur hujan. Kondisi ladang jadi lebih lembab. Itu jadi petaka saat padi mulai berbuah. Hama walang sangit berkembang pesat lantas menyerang padi gunung.
Sri Edan (38), tetangga Mul, di tahun itu hanya menanam setengah hektar padi gunung. Itu untuk kebutuhan empat anggota keluarga setahun. Namun, karena walang sangit begitu banyak, hasil panen padi menurun karena banyak gabah yang kopong alias tak ada isinya.
”Ndak bisa kami usir itu walang sangit. Sekarang saja kami sudah beli beras buat jaga-jaga kalau beras dari ladang habis,” kata pria kekar itu.
Sekali belanja beras, Sri dan warga lain harus ke pusat kecamatan. Waktu tempuhnya sekitar tiga jam bersepeda motor melalui jalan terjal berbukit dan berlumpur.
Sekali belanja, Sri merogoh Rp 160.000 untuk beras 10 kilogram. Biaya itu belum termasuk 4 liter bensin Rp 68.000 untuk pergi-pulang. Di Kampung Mului hanya tersedia pertalite eceran Rp 17.000 per liter.
Dari pengalaman itu, warga di Kampung Mului bersiasat dengan cuaca yang tak terprediksi. Selain menanam padi gunung, mereka menanam singkong dan ubi di ladangnya.
Singkong dipanen nyaris berbarengan dengan panen padi, sekitar enam bulan setelah ditanam. Ubi lebih cepat, tiga bulan bisa dipanen.
Siang itu, warga Mului lain, Samon (49), sudah mulai menanam batang singkong di ladangnya. Beberapa ubi yang sudah ia panen juga ia sediakan di pondok ladang. Saat aktivitas fisik tinggi di ladang, ia tak selalu menambah empat atau lima centong nasi seperti kebiasaannya.
”Kalau sekarang, tiga centong nasi cukup. Nanti makan ubi kalau masih lapar. Irit beras,” katanya tertawa.
Penjaga hutan
Mul, Sri, Samon, dan Jidan adalah bagian dari masyarakat adat Mului yang sudah diakui pemerintah sejak 2018. Mereka juga mengelola hutan adat seluas 7.722 hektar yang sudah diakui pemerintah melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Aturan itu terbit pada 1 Oktober 2020.
Mereka punya aturan adat yang melarang penebangan pohon di hutan adat. Penebangan pohon hanya boleh dilakukan untuk kebutuhan bersama, misalnya untuk membangun rumah warga atau bikin jembatan.
Penebangan itu pun tak boleh lebih dari 10 pohon dalam setahun. Diameter pohon yang ditebang tak boleh kurang dari 60 sentimeter.
Mereka yakin, pengambilan pohon yang bijak dan terukur bakal menjaga hutan adat tetap lestari, memberi waktu bagi alam untuk meremajakan diri kembali. Hal itu mereka lakukan karena sadar betul bahwa hutan adalah sumber kehidupan.
Hutan adalah tempat mencari rotan, berburu, sumber air kampung, hingga tempat buah-buahan hutan tumbuh subur. Buah-buahan hutan kerap dijual untuk mendapatkan penghasilan atau dikonsumsi bersama.
Bahkan, mereka punya kawasan mori atau daerah larangan. Di sana tak boleh satu pohon pun ditebang. Jika dilanggar, mereka percaya petaka akan datang bagi kampung. Meski punya banyak rambu, tetap saja mereka belum mengerti penyebab cuaca berubah dan tak terprediksi di kampungnya.
Mengutip sejumlah ahli, aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan iklim―beberapa ahli menyebutnya sebagai krisis iklim. Beberapa penyebabnya akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas. Selain itu, akibat tingginya alih fungsi hutan.
Hanya saja, masyarakat Mului asing dengan istilah dan cara hidup itu. Mereka tak menggunakan kulkas atau mobil. Warga juga tidak menggunduli hutan untuk menambang batubara. Jumlah sepeda motor pun tak sampai 30 di kampung yang ditinggali 38 keluarga itu. Tidak ada juga listrik dari energi fosil.
Sebelumnya mereka hanya menggunakan listrik dari genset kampung yang tak setiap hari dinyalakan. Sejak Oktober 2023, mereka menggunakan pembangkit listrik tenaga surya untuk kebutuhan setrum, bantuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dengan laku hidup itu, mereka ternyata tetap ikut terdampak dari aktivitas manusia perkotaan yang bikin krisis iklim makin terasa: menggantungkan kendaraan pribadi ke mana saja, mengeruk hutan untuk diambil batu baranya, dan seterusnya.
Tanpa menyalahkan siapa pun atau bikin konferensi tingkat dunia, orang Mului beradaptasi dengan laku sekaligus menjaga tempat tinggalnya, kampung dikelilingi hutan yang manfaatnya turut dinikmati masyarakat dunia.