Setia menjaga hutan adat, ratusan juta rupiah setiap tahun mengucur bagi masyarakat Rantau Kermas di Jambi.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, pohon-pohon menjulang di perbukitan curam Rantau Kermas jadi penopang hidup masyarakat. Warga semula hanya mengerti manfaat hutan menyuplai oksigen dan air bersih serta menjaga dari ancaman longsor. Rupanya, pohon-pohon itu juga mendatangkan rupiah.
Karena setia menjaga hutan adatnya, ratusan juta rupiah setiap tahun mengucur bagi masyarakat Rantau Kermas di Kabupaten Merangin, Jambi. Dana berasal dari donasi publik atas komitmen menjaga hutan.
Sudah lebih dari 2.000 batang pohon dalam hutan adat mendapatkan donasi lewat program pohon asuh. Dana publik mengalir langsung ke rekening pengelola hutan adat. Macam-macam sumbernya. Ada dari artis Korea, dosen dan peneliti, aktivis LSM, hingga jurnalis.
Dananya dimanfaatkan untuk mencukupi berbagai kebutuhan di desa. Mulai dari menyuplai kebutuhan pokok bagi keluarga miskin, janda, dan yatim piatu, membiayai pendidikan anak tak mampu, membangun rumah ibadah, membangun jalur ekowisata hutan adat dan homestay, hingga memberi asupan honor bagi tim patrol hutan.
Program donasi bernilai rata-rata Rp 200.000 per pohon. Ada sejumlah pohon yang jenisnya langka, bernilai lebih tinggi. Pohon sisik trenggiling mendapatkan donasi Rp 800.000 per tahun. Pohon bawang Rp 350.000. ”Pohon sisik trenggiling paling langka di sini. Hanya ada satu batang. Kalau pohon bawang ada dua batang,” kata Agustami, Ketua Pengelola Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo di Desa Rantau Kermas, Merangin, Jambi, Minggu (26/11/2023).
Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!
Jadi, siapa bilang jaga hutan tak mendatangkan hasil ekonomis?
Kepala Desa Rantau Kermas Hadirin menyebut hutan adat seluas 130 hektar itu mencukupkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Mereka mengembangkan ekowisata berpetualang ke hutan adat.
Kebutuhan air dan listrik masyarakat juga terjamin. Mata air dari hutan mengalir langsung ke rumah-rumah. ”Airnya dingin dan jernih,” katanya. Adapun listrik dihasilkan lewat pemanfaatan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Listrik yang dihasilkan 41.000 watt. Sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan bagi 157 keluarga.
Menurut Ledia, warga setempat, listrik tersambung 24 jam sehari. Kalau ada pemutusan sementara, biasanya karena dilakukan pemeliharaan. ”Ketika hujan deras berjam-jam, banyak ranting kayu tersangkut. Petugas akan bersihkan dulu supaya produksi listrik lancar,” katanya.
Ada pula kawasan lubuk larangan. Lubuk dibuka hanya pada waktu tertentu. Itu mendatangkan hasil Rp 45 juta per tahun. Sementara dari hasil panen kopi di penyangga hutan adat, hasil yang didapat Rp 40 juta.
Kalau dihitung-hitung, keseluruhan pendapatan dari hasil menjaga hutan bernilai setengah miliar rupiah per tahun.
Karena hutan adat yang terjaga, desa itu diganjar hadiah dana Rp 50 juta lewat anugerah Kalpataru sebagai Penyelamat Lingkungan dari pemerintah pusat. Ada lagi dana afirmasi senilai RP 50 juta dari Pemprov Jambi.
”Hasil menjaga hutan adat sudah dirasakan oleh masyarakat. Mulai dari air bersih, listrik, udara segar, wisata, hingga uang donasi,” kata Agustami.
Turun-temurun
Selama turun-temurun, kehidupan di Rantau Kermas terjalin erat pada alam. Adat mengatur agar harmoni kehidupan tercipta di sana. ”Diasah tidak layu, Dianggo tidak mati,” ujar A Bahar, anggota Lembaga Adat Suro Rajo.
Seloko (seloka) itu memiliki arti bahwa adat tidak berubah. Masyarakat bertekad terus menjaganya.
Bagaimana hutan dan kehidupan masyarakat dijaga lewat hukum adat?
Masyarakat membangun sistem tata ruang adat Marga Serampas di Desa Rantau Kermas. Ada istilah tanah ulu aek yang merupakan kawasan perlindungan sebagai sumber mata air. Ada pula tanah arai, yakni tanah yang memiliki kelerengan curam.
Ada pula tanah ajun arah yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan permukiman. Sistem peruntukan tanah ini diatur oleh Depati yang merupakan sebagai pimpinan adat.
Sistem itu semula berbentuk tersirat sejak masa lampau. Diwariskan dari generasi ke generasi. Belakangan, aturan-aturan turunan dituliskan dan dilegalisasi dalam peraturan desa.
Jika menebang sebatang pohon saja dalam hutan adat, dikenai hukuman bayar 1 kambing, 20 gantang beras, serta uang Rp 500.000. Selain larangan menebang pohon di hutan adat, ada pula larangan kawin dengan orang-orang selatan yang diyakini sebagai kaum perambah hutan. Menahan laju masuknya pendatang cukup efektif menyelamatkan hutan adat seluas 130 hektar itu dari kehancuran.
Pernah terjadi tahun 2019, perambahan di bagian selatan hutan adat. Sewaktu pelakunya tertangkap, ternyata diketahui berasal dari wilayah itu. Pelaku menikah dengan warga lokal. ”Lembaga adat langsung menindaklanjuti. Pelaku kena hukuman,” ujar Hadirin.
Masyarakat Hutan Adat Depati Karo Jaya Tuo dibentuk pada 2013. Pembentukannya diikuti dengan terbitnya Surat Keputusan Bupati Tahun 2015 tentang Hutan Adat Rantau Kermas. Setahun kemudian, hutan itu dikukuhkan oleh pemerintah pusat.
"Geopark"
Kelestarian di hutan adat bagai tak henti-hentinya berbuah. Hutan adat itu diusulkan masuk dalam Warisan Dunia Geopark Merangin Jambi. Usulan masuknya Rantau Kermas mendapatkan apresiasi. Bahkan, Geopark Merangin Jambi meraih penghargaan dalam ”Best Practice Award 2023”.
General Manager Geopark Merangin Jambi Agus mengatakan, konservasi hutan serta pemanfaatan energi bersih dan berkelanjutan PLTMH di Rantau Kermas menjadi standar tertinggi yang diterapkan berskala dunia. Desa mandiri energi dan berkelanjutan sesuai dengan semangat geopark yang bertujuan memuliakan bumi untuk kesejahteraan.
Pengelolaan energi berkelanjutan membawa desa itu surplus energi listrik. Sisanya dimanfaatkan untuk mendukung operasional UMKM, di antaranya rumah-rumah produksi kopi.
Pernah satu kali desa itu dikunjungi pengelola geopark dari Thailand. ”Mereka bilang standar yang diterapkan masyarakat Rantau Kermas sangat tinggi. Sulit dapat diterapkan di Thailand,” katanya.
Hampir setiap hari desa itu kerap dikunjungi wisatawan hingga peneliti. Meski telah mendunia, tradisi dan adat tak meluntur. Menjelang masa menuai padi, dilangsungkan kenduri. Para tetua adat selalu mengingatkan kembali kepada generasi muda akan pentingnya harmoni adat dan alam.
”Lok dijago, lupo diingatkan. Artinya kalau tidur dibangunkan, kalau lupa diingatkan,” kata Bahar.